Reog, Kebaya, dan Kolintang Diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda
Indonesia memiliki khazanah kebudayaan yang begitu kaya, yang tersebar dari Pulau Sumatera hingga Papua. Setiap kebudayaan mengandung nilai-nilai penting yang turut membentuk peradaban Indonesia hingga saat ini. Untuk membantu melestarikan budaya dan mewariskannya ke generasi mendatang, pengakuan internasional telah dianggap sebagai suatu hal yang penting. Pada 4-5 Desember 2024, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) secara resmi mengakui Reog, Kebaya, dan Kolintang sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda.
Reog, Kebaya, dan Kolintang
Reog merupakan tarian tradisional yang berasal dari Ponorogo, Jawa Timur, yang biasanya digelar di tempat terbuka sebagai hiburan sekaligus untuk mempererat ikatan sosial masyarakat. Diyakini mengandung unsur magis, Reog memadukan tradisi dan sejarah dan biasanya dibawakan secara massal oleh 20 hingga 40 orang pada momen-momen tertentu seperti pesta pernikahan, hari raya, dan hari ulang tahun Ponorogo. Penari utama dalam Reog Ponorogo berkepala singa dengan hiasan bulu merak, yang diiringi oleh para penari bertopeng dan kuda lumping.
Sementara itu, Kebaya telah dikenal luas sebagai busana tradisional perempuan Indonesia yang umumnya berupa atasan dan sering dipadukan dengan kain batik, songket, atau kemben sebagai bawahan. Tidak hanya di Indonesia, kebaya juga telah banyak dikenakan oleh perempuan-perempuan di negara lain Asia Tenggara. Sebelum diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda, kebaya telah lama menjadi pakaian nasional Indonesia. Secara historis, kebaya telah digunakan oleh para perempuan Indonesia sejak masa pra-kemerdekaan.
Adapun Kolintang adalah alat musik yang berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara. Terbuat dari bilah-bilah kayu yang disusun berderet, Kolintang dimainkan dengan cara dipukul dengan tongkat kecil dengan ujung yang dibalut dengan kain atau benang, yang biasa disebut mallet. Kolintang dapat dimainkan secara solo maupun kelompok, dan biasanya digunakan untuk upacara adat, pertunjukan tari, dan pertunjukan musik.
Warisan Budaya Tak Benda
Baik Reog Ponorogo, Kebaya, maupun Kolintang telah dijaga kelestariannya secara turun temurun hingga saat ini sehingga masih relatif mudah untuk dijumpai, meskipun terdapat kekhawatiran akan ancaman kepunahan seperti pada kasus Reog yang lebih banyak dilakoni oleh orang-orang tua dan kurang diminati oleh anak-anak muda. Selain digunakan dan ditampilkan, upaya pelestarian tiga kebudayaan tersebut juga melibatkan kerja-kerja promosi, dokumentasi, transmisi, hingga penelitian, dengan partisipasi aktif masyarakat.
Kini, tiga kebudayaan Indonesia yang relatif terkenal itu telah dimasukkan ke dalam Daftar Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) UNESCO. Keputusan tersebut dicapai dalam sidang ke-19 Komite untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda pada 4 dan 5 Desember 2024 di Paraguay.
Berdasarkan urutan, Reog Ponorogo menjadi WBTB ke-14 yang berasal dari Indonesia. Sebelumnya sejak tahun 2008, UNESCO telah mengakui Keris, Teater Wayang, Batik, Pendidikan dan Pelatihan Batik, Angklung, Tari Saman, Noken, tiga genre tari tradisional Bali (genre sakral/wali, genre semi sakral/bebali, dan genre hiburan/bebalihan), Pinisi, Pencak Silat, Pantun, Gamelan, dan Jamu sebagai WBTB dari Indonesia.
Selanjutnya, Kebaya menjadi WBTB yang ke-15 setelah diusulkan secara bersama oleh lima negara yakni Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Hal ini menjadikan Kebaya sebagai inskripsi WBTB kedua Indonesia dalam kategori nominasi multinasional setelah Pantun pada tahun 2020, yang diajukan Indonesia bersama Malaysia.
Adapun Kolintang, yang memiliki kemiripan dengan alat musik Balafon dari Afrika Barat, menjadi WBTB yang ke-16. Pengakuan terhadap Kolintang tidak terlepas dari kerja keras komunitas Pelindung Persatuan Insan Kolintang Nasional (Pinkan) Indonesia, serta dukungan tiga negara Afrika yang dikenal sebagai negara asal Balafon, yakni Mali, Burkina Faso, dan Pantai Gading.
Meningkatkan Tanggung Jawab Pelestarian
Penetapan Reog, Kebaya, dan Kolintang sebagai WBTB ini adalah penegasan untuk memperkuat tanggung jawab dan komitmen pelestarian budaya Indonesia. Pemerintah, organisasi, pelaku budaya, dan masyarakat sipil secara luas harus bahu-membahu dalam upaya pelestarian dan menjadikan kebudayaan sebagai katalisator untuk mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, termasuk namun tidak terbatas pada penanggulangan masalah polusi sampah, mempromosikan inklusivitas, pemberdayaan perempuan, hingga pendidikan untuk masyarakat adat.
”Pengakuan ini tidak hanya menjadi sumber kebanggaan yang besar, tetapi juga pengingat tentang tanggung jawab kolektif untuk melestarikan kekayaan budaya ini bagi generasi mendatang,” kata Menteri Kebudayaan Fadli Zon.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.