Sejauh Mana Implementasi Sistem Peringatan Dini Multi-Bahaya secara Global?

Foto: Shefali Lincoln di Unsplash.
Bencana terus menghadirkan malapetaka dan memakan korban jiwa, dan perubahan iklim telah memperburuk keadaan. Ketahanan dunia sangat bergantung pada manajemen risiko bencana yang tepat. Sistem peringatan dini merupakan instrumen kunci dalam kesiapsiagaan bencana. Lantas, sejauh mana penerapannya secara global?
Peringatan Bencana
Dalam rentang tahun 1970 hingga 2021, Organisasi Meteorologi Dunia mencatat hampir 12.000 bencana akibat cuaca ekstrem, perubahan iklim, dan yang berkaitan dengan air. Bencana-bencana tersebut menyebabkan lebih dari 2 juta kematian dan kerugian materi sebesar USD 4,3 triliun. Sementara itu, bencana berskala besar seperti gempa bumi dan tsunami bisa lebih mematikan dan merusak.
Dalam hal ini, sistem peringatan dini berperan besar dalam mengurangi korban jiwa dan kerugian materi. Sistem peringatan dini adalah sistem terpadu yang terdiri dari pemantauan, perkiraan dan prediksi bahaya, penilaian risiko bencana, serta aktivitas komunikasi dan kesiapsiagaan yang memungkinkan tindakan tepat waktu untuk mengurangi risiko bencana.
Selangkah lebih maju, ada juga sistem peringatan dini multi-bahaya (multi-hazard early warning system/MHEWS), yang dimaksudkan untuk mengatasi berbagai potensi bahaya yang saling terkait yang mungkin terjadi secara bersamaan, berjenjang, atau kumulatif dari waktu ke waktu. Misalnya, letusan gunung berapi yang dapat menimbulkan gempa bumi dan tsunami.
Sistem Peringatan Dini Multi-Bahaya
PBB telah mengadopsi Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana 2015–2030, yang menguraikan target dan prioritas untuk mencegah risiko bencana baru dan mengurangi risiko bencana yang sudah ada. Kerangka kerja ini mengakui urgensi dan manfaat dari sistem peringatan dini multi-bahaya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pendekatan risiko bencana, yang salah satu tujuannya adalah “meningkatkan secara signifikan ketersediaan dan akses terhadap sistem peringatan dini multi-bahaya serta informasi dan penilaian risiko bencana kepada masyarakat pada tahun 2030.”
Ada empat komponen sistem peringatan dini multi-bahaya dengan beberapa poin daftar pertanyaan yang harus diperiksa dan dipastikan:
- Pengetahuan risiko bencana: Apakah bahaya-bahaya kunci dan ancaman-ancaman terkait telah teridentifikasi? Apakah paparan, kerentanan, kapasitas, dan risiko dinilai? Apakah peran dan tanggung jawab pemangku kepentingan sudah teridentifikasi? Apakah informasi risiko dikonsolidasikan?
- Deteksi, pemantauan, analisis, dan perkiraan bahaya serta konsekuensi yang mungkin terjadi: Apakah ada sistem pemantauan yang tersedia? Apakah ada layanan prakiraan dan peringatan? Apakah terdapat mekanisme kelembagaan?
- Sosialisasi dan komunikasi peringatan: Apakah proses organisasi dan pengambilan keputusan sudah tersedia dan berjalan? Apakah sistem dan peralatan komunikasi sudah tersedia dan beroperasi? Apakah peringatan dini berbasis dampak dikomunikasikan secara efektif untuk mendorong tindakan kelompok sasaran?
- Kemampuan kesiapsiagaan dan tanggap: Apakah langkah-langkah kesiapsiagaan bencana, termasuk rencana tanggap, telah dikembangkan dan dijalankan? Apakah kampanye kesadaran dan pendidikan masyarakat dilakukan? Apakah kesadaran dan respons masyarakat diuji dan dievaluasi?
Implementasinya secara Global
Kerangka MHEWS telah diterapkan oleh negara-negara di seluruh dunia, meskipun dengan tingkat kesigapan dan kelengkapan yang berbeda-beda. Berdasarkan laporan UNDRR mengenai implementasi MHEWS global, terdapat 108 negara yang dilaporkan telah memiliki MHEWS dalam tata kelola mereka pada Maret 2024, 55% lebih tinggi dibandingkan tahun 2015.
Memang ada kemajuan, meskipun lambat. Namun, laporan tersebut mencatat beberapa tantangan dalam implementasi kerangka kerja ini, termasuk kesenjangan dalam pengetahuan risiko bencana, kurangnya sistem operasional dan infrastruktur, dan lemahnya sistem berbagi data. Misalnya saja, hanya 38% negara yang memiliki sistem pemantauan dan prakiraan multi-bahaya.
Tata kelola yang baik merupakan hal mendasar untuk memastikan implementasi yang kuat. Hal ini dapat mendorong peran dan tanggung jawab yang jelas, serta mendukung keberlanjutan dan pendanaan kerangka kerja tersebut. Selain itu, kolaborasi dan pendekatan menyeluruh yang dapat menjangkau setiap lapisan masyarakat juga penting. Seluruh aktor di masyarakat, mulai dari masyarakat lokal hingga dunia usaha, harus dapat berpartisipasi dalam memajukan sistem peringatan dini, terutama dalam menghadapi krisis iklim.
Editor: Nazalea Kusuma
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia
Madina adalah Asisten Manajer Program & Kemitraan di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Program Studi Sastra Inggris dari Universitas Indonesia. Madina memiliki 3 tahun pengalaman profesional dalam publikasi digital internasional, program, dan kemitraan GNA, khususnya dalam isu-isu sosial dan budaya.