Ketimpangan, Pengangguran, hingga Korupsi yang Merajalela: 6 Isu Sosial yang Mendesak untuk Diatasi

Foto: Yousef Salhamoud di Unsplash.
Indonesia berkomitmen untuk mencapai agenda SDGs 2030. Hingga tahun 2024, pemerintah mengklaim bahwa capaian SDGs Indonesia telah mencapai 62,5% (139 indikator dari total target). Namun, terlepas dari capaian tersebut, kenyataan di lapangan masih menunjukkan hal-hal yang bertolak belakang: kurangnya akses pendidikan berkualitas, layanan kesehatan yang tidak merata, hingga jurang ketimpangan sosial-ekonomi yang semakin menganga—termasuk antara para pejabat publik dan rakyat. Pada saat yang sama, korupsi terus merajalela di berbagai bidang, sementara banyak kebijakan yang dikeluarkan cenderung tidak memenuhi aspirasi masyarakat.
Semua itu menyebabkan ketidakadilan sosial-ekonomi, menggumpalkan amarah, dan menciptakan api dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat berkobar. Demonstrasi besar-besaran yang berlangsung pada Agustus-September 2025 di berbagai daerah di Indonesia, yang menelan tidak sedikit korban jiwa, adalah salah satu contoh.
Demi menciptakan keadilan sosial-ekonomi dan menjaga agar tujuan pembangunan berkelanjutan tetap berada di jalur yang benar, beberapa isu ini mendesak untuk diatasi.
Ketimpangan Sosial-Ekonomi
Sebuah laporan mengungkap fakta-fakta yang menunjukkan betapa parahnya ketimpangan yang terjadi di Indonesia. Salah satunya adalah bahwa kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta orang Indonesia. Yang menyedihkan, ketimpangan tersebut kian mencolok di antara pejabat publik dengan jutaan rakyat Indonesia yang hidup dalam kemiskinan.
Dalam kurun waktu 2019-2023, misalnya, rata-rata kekayaan menteri mencapai Rp478,17 miliar per orang, dan 17% di antaranya bahkan memiliki kekayaan di atas Rp1 triliun. Pada saat yang sama, rata-rata upah di Indonesia secara nasional hanya meningkat 2,4%, sementara biaya hidup—termasuk biaya kebutuhan paling dasar seperti makanan dan perumahan—terus meroket.
Oleh karena itu, perlu langkah-langkah radikal dalam kebijakan ekonomi, termasuk kebijakan fiskal yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat. Layanan pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial harus diselenggarakan dengan optimal dan merata. Selain itu, tata kelola sumber daya publik harus ditingkatkan dengan memperkuat transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat.
Pengangguran Kaum Muda yang Terus Merebak
Orang-orang membutuhkan pekerjaan untuk melangsungkan hidup. Namun, semakin ke sini, memperoleh pekerjaan di Indonesia semakin sulit. Jutaan orang menganggur atau tidak memiliki pekerjaan, tidak menempuh pendidikan, maupun tidak menjalani pelatihan (NEET), termasuk anak-anak muda.
Mengatasi pengangguran kaum muda dan menyediakan pekerjaan yang layak untuk semua merupakan hal fundamental dalam mewujudkan masyarakat yang sehat dan sejahtera. Tingginya angka pengangguran di kalangan generasi muda, termasuk lulusan pendidikan tinggi, dapat memundurkan langkah dalam menghapus kemiskinan dan ketimpangan. Pengangguran akan membuat kaum muda, terutama dari kelompok masyarakat miskin dan rentan miskin, semakin sulit untuk merasakan kehidupan yang layak, mengganggu kesehatan mereka, dan pada akhirnya membuat tujuan pembangunan berkelanjutan gagal tercapai.
Sebuah laporan dari ILO menyoroti lima aspek kebijakan yang memerlukan perbaikan untuk mengatasi masalah pengangguran kaum muda: kebijakan terkait ketenagakerjaan dan ekonomi untuk meningkatkan penciptaan lapangan kerja dan akses terhadap keuangan; pendidikan dan pelatihan untuk memudahkan transisi dari sekolah ke dunia kerja dan mencegah ketidaksesuaian keterampilan; kebijakan pasar tenaga kerja yang menargetkan lapangan kerja bagi kaum muda yang kurang beruntung; kebijakan kewirausahaan untuk membantu kaum muda potensial untuk menjadi pengusaha; dan pemenuhan hak-hak buruh yang didasarkan pada standar-standar ketenagakerjaan internasional untuk memastikan kaum muda menerima perlakuan yang adil dan mendapatkan hak-hak mereka di tempat kerja.
PHK yang Meluas
Saat pengangguran terus meningkat, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) juga menggulung ribuan pekerja di banyak tempat. Sepanjang Januari hingga Juni 2025 saja, jumlah pekerja yang kehilangan pekerjaan mencapai 42.385 ribu orang.
Badai PHK menimbulkan dampak yang meluas. Selain menyulitkan kehidupan pekerja yang kehilangan pekerjaan, PHK massal juga menyebabkan efek domino terhadap perekonomian, di antaranya banyak usaha mirko dan kecil di sekitar perusahaan yang kehilangan pelanggan, menurunnya daya beli masyarakat, hingga meningkatnya angka kemiskinan.
Dalam hal ini, jaring pengaman yang kuat bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan menjadi salah satu kebutuhan penting. Meski demikian, perlindungan sosial juga mesti dibarengi dengan upaya perbaikan sistem perekonomian secara komprehensif, terutama perluasan lapangan pekerjaan yang disertai dengan peningkatan program-program upskilling, reskilling, dan newskilling.
Sistem Perpajakan yang Tidak Adil
Sistem perpajakan yang tidak dirancang secara adil dan terukur dapat memperparah ketimpangan serta menghambat penerimaan negara. Sebuah laporan menyoroti permasalahan struktural, termasuk insentif pajak yang selama ini dianggap lebih menguntungkan kelas atas, sebagai faktor penyebab hilangnya penerimaan negara akibat stagnasi penerimaan pajak. Laporan tersebut menyatakan bahwa permasalahan utama dalam sistem perpajakan Indonesia bukan terletak pada kelembagaan, tetapi pada lemahnya cakupan dan integrasi data kekayaan, ketidaktegasan penegakan hukum terhadap praktik pengemplangan pajak, dan politik fiskal yang kompromistis.
Oleh karena itu, alih-alih meningkatkan besaran pajak regresif yang lebih banyak menyasar masyarakat kelas menengah dan bawah seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pemerintah perlu mengalihkan fokus ke sumber-sumber pajak progresif untuk menciptakan keadilan pajak dan mendukung kesejahteraan bersama. Beberapa di antaranya adalah pajak kekayaan, pajak kepemilikan rumah ketiga, pajak produksi batu bara, dan pajak penghilangan keanekaragaman hayati.
Misalnya, sebagai gambaran, dengan memungut pajak kekayaan sebesar 2% dari aset 50 orang terkaya, negara bisa memperoleh Rp81,6 triliun per tahun. Selain itu, dengan menghapus insentif pajak yang selama ini menguntungkan konglomerat, negara bisa mengumpulkan penerimaan sebesar Rp137,4 triliun per tahun.
Penyalahgunaan Wewenang dan Pelanggaran HAM
Dalam beberapa tahun terakhir, ada rentetan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh pejabat negara dan aparat keamanan. Dua yang paling mencolok adalah revisi UU Pemilu terkait syarat pencalonan presiden dan wakil presiden menjelang Pemilu 2024 dan berbagai kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan. Hal ini diperparah oleh berbagai kebijakan yang gagal memenuhi aspirasi masyarakat, minimnya transparansi dan akuntabilitas pemerintah terkait kerja-kerja mereka, serta berbagai bentuk pelanggaran HAM—termasuk dalam proyek-proyek ambisius pemerintah di berbagai daerah.
Selain itu, pelanggaran HAM juga mencakup isu kekerasan terhadap jurnalis, termasuk saat meliput demonstrasi. Menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI), terdapat setidaknya 60 kekerasan terhadap jurnalis dan media sepanjang Januari hingga Agustus 2025, dengan sebagian besar pelaku diduga berasal dari kalangan aparat keamanan.
Demi demokrasi yang sehat, yang merupakan fondasi dari pembangunan berkelanjutan, masalah ini harus segera diakhiri.
Korupsi yang Merajalela
Korupsi adalah masalah klasik yang terus eksis sampai hari ini, dan terus merajalela di Indonesia. Korupsi bahkan bergulir di sektor-sektor esensial seperti kesehatan, ketenagakerjaan, dan pendidikan. Di sektor pendidikan, misalnya, tercatat setidaknya 57 kasus korupsi terkait program bantuan pendidikan atau sarana dan prasarana sekolah yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp132 miliar pada tahun 2023.
Korupsi membawa dampak yang sangat merusak bagi rakyat maupun negara. Selain menggerogoti anggaran publik, korupsi juga meningkatkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap negara, memicu ketidakstabilan sosial-ekonomi, dan menghambat kemajuan dalam mencapai SDGs. Setiap rupiah yang dikorupsi berarti berkurangnya dana untuk pendidikan, kesehatan, serta layanan dasar esensial lainnya yang semestinya diperuntukkan bagi masyarakat. Dalam jangka panjang, korupsi yang berlangsung secara sistemik akan memperlebar jurang ketimpangan, dan membuat kebijakan publik rentan ditentukan oleh kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Pada akhirnya, di samping enam isu di atas, ada banyak pekerjaan rumah lain yang juga harus diatasi oleh Indonesia untuk mencapai keberlanjutan. Menghapus kemiskinan multidimensi, mengatasi kerawanan pangan dan malnutrisi, menghapus ketimpangan gender, dan banyak isu lainnya–semua tak kalah pentingnya. Komitmen dan kerja sama seluruh elemen masyarakat adalah kunci untuk mengatasi ini semua.

Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan Langganan GNA Indonesia.
Jika konten ini bermanfaat, harap pertimbangkan Langganan GNA Indonesia untuk mendapatkan akses digital ke wawasan interdisipliner dan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Pilih Paket Langganan AndaAmar adalah Manajer Publikasi Digital Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah alumnus Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor untuk beberapa media tingkat nasional di Indonesia. Ia juga adalah penulis, editor, dan penerjemah, dengan minat khusus pada isu-isu sosial-ekonomi dan lingkungan.