Kemenkes-WHO Luncurkan Strategi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba
Secara umum, orang-orang akan mengonsumsi obat ketika sedang sakit. Namun, penggunaan obat-obatan–baik berupa antimikroba, antibiotik, dan lain sebagainya–seringkali tidak dapat menyembuhkan penyakit; dan sebaliknya membuat kondisi semakin memburuk. Situasi ini dalam dunia medis dikenal sebagai resistensi antimikroba (Antimicrobial Resistance/AMR). Resistensi antimikroba nyatanya merupakan persoalan serius bagi kesehatan dan telah membunuh jutaan orang di seluruh dunia setiap tahunnya, termasuk di Indonesia.
Untuk mencegah lebih banyak kematian, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan World Health Organization (WHO) meluncurkan Strategi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba 2025-2029 pada 19 Agustus 2024. Strategi nasional ini juga bertujuan untuk mengurangi dan memperlambat perkembangan AMR di Indonesia.
Apa itu Resistensi Antimikroba?
Resisten antimikroba (AMR) merupakan kondisi ketika mikroba seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit secara bertahap bermutasi dan menjadi resisten terhadap obat-obatan. Artinya, obat yang sebelumnya dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroba tidak lagi bekerja dengan baik atau bahkan tidak efektif sama sekali. Kondisi ini mengakibatkan infeksi menjadi lebih sulit diobati dan meningkatkan risiko penyebaran penyakit yang lebih parah dan fatal.
AMR dapat terjadi akibat penggunaan obat berlebih atau tidak tepat pada sektor kesehatan manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan. Infeksi yang tidak diobati—atau diobati namun dengan obat yang tidak efektif—dapat menyebarkan mikroba resisten ke orang lain. Selain itu, praktik kesehatan yang tidak higienis, seperti kurangnya kebersihan dan kontrol infeksi di fasilitas kesehatan, juga dapat meningkatkan risiko penyebaran mikroba resisten.
Kematian Akibat AMR
Resistensi antimikroba merupakan salah satu ancaman utama kesehatan masyarakat dan pembangunan. Menurut data WHO, terdapat 1,27 juta kematian yang disebabkan oleh AMR pada tahun 2019. Angka tersebut diproyeksi akan terus meningkat hingga menyebabkan 10 juta kematian pada tahun 2050.
WHO menggarisbawahi kemiskinan dan ketimpangan sebagai faktor pendorong utama penyebaran AMR, dan negara-negara berpendapatan rendah dan menengah merupakan tempat dimana AMR paling banyak ditemukan. Di Indonesia sendiri, angka kematian pada sepsis (infeksi berat) yang disebabkan oleh AMR lebih tinggi dibandingkan kematian akibat virus COVID-19.
Selain kematian, AMR juga menyebabkan dampak signifikan terhadap ekonomi. Bank Dunia memperkirakan bahwa AMR dapat mengakibatkan tambahan biaya layanan kesehatan sebesar 1 triliun dolar AS pada tahun 2050, dan menurunkan produk domestik bruto (PDB) sebesar 1 hingga 3,4 triliun dolar AS per tahun pada tahun 2030.
Strategi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba
Strategi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba 2025-2029 memiliki tiga landasan, dengan empat pilar dan 14 intervensi yang akan dilakukan. Tiga landasan tersebut adalah Tata kelola, peningkatan kesadaran, dan edukasi yang efektif; Pengumpulan informasi strategis melalui surveilans dan penelitian; dan Sistem evaluasi eksternal. Sedangkan empat pilar strategi nasional ini yaitu Pencegahan penyakit infeksi; Akses terhadap layanan kesehatan esensial; Diagnosis tepat waktu dan akurat; dan Pengobatan yang tepat dan terjamin kualitasnya.
Adapun 14 intervensi yang akan dilakukan untuk mencegah kematian akibat AMR adalah:
1. Advokasi AMR, tata kelola, dan akuntabilitas di sektor kesehatan, bekerja sama dengan sektor-sektor lain.
2. Peningkatan kesadaran terhadap AMR, edukasi, dan perubahan perilaku tenaga kesehatan dan masyarakat.
3. Jejaring surveilans AMR nasional untuk menghasilkan data berkualitas sebagai dasar kebijakan tata laksana pasien dan pengendalian AMR.
4. Surveilans konsumsi dan penggunaan antimikroba sebagai dasar kebijakan tata laksana pasien dan pengendalian AMR.
5. Riset dan inovasi AMR termasuk riset perilaku dan riset implementasi.
6. Sistem evaluasi eksternal untuk mendorong implementasi program pengendalian resistensi antimikroba di fasilitas layanan kesehatan.
7. Akses universal ke air, sanitasi, dan kebersihan (WASH) serta pengelolaan limbah untuk mengurangi resistensi antimikroba.
8. Implementasi komponen inti PPI untuk memitigasi AMR.
9. Akses ke vaksin dan imunisasi yang diperluas untuk mengendalikan AMR.
10. Layanan kesehatan untuk pencegahan, diagnosis, dan tata laksana sindrom penyakit infeksi yang terjangkau untuk semua orang.
11. Pasokan produk kesehatan esensial untuk pencegahan, diagnosis, dan pengendalian sindrom penyakit infeksi yang terjamin ketersediaan dan kualitasnya.
12. Sistem laboratorium dan penatalaksanaan diagnostik yang berkualitas.
13. Pedoman pengobatan berbasis bukti terkini dan program penatagunaan antimikroba.
14. Penerapan peraturan untuk membatasi penjualan antimikroba yang dapat diperoleh tanpa resep.
“Stranas Pengendalian Resistensi Antimikroba ini didasarkan pada pendekatan yang berorientasi pada manusia WHO. Pendekatan ini akan menjawab langsung hambatan-hambatan yang dihadapi orang-orang saat mengakses layanan kesehatan untuk mencegah, mendiagnosis, dan mengobati infeksi, termasuk infeksi yang resisten terhadap obat,” kata Roderick Salenga, Plt Team Lead untuk Sistem Kesehatan WHO.
Agar dapat berjalan efektif dan berdampak bagi semua orang, implementasi strategi nasional ini mesti dijalankan dengan memperhatikan keberagaman, kesetaraan, dan inklusi. Selain itu, mengingat kompleksnya masalah AMR dan seringkali melibatkan hubungan antara manusia, hewan, dan alam; pendekatan One Health untuk mengatasinya menjadi sangat krusial. WHO menekankan pentingnya mengatasi AMR dengan mencakup pencegahan semua infeksi yang dapat mengakibatkan penggunaan antimikroba yang tidak tepat; memastikan akses universal terhadap diagnosis berkualitas dan pengobatan infeksi yang tepat; dan informasi dan inovasi strategis seperti pengawasan konsumsi/penggunaan antimikroba, serta penelitian dan pengembangan vaksin, diagnosa, dan obat-obatan baru.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.