Kasim Arifin dan 15 Tahun Pengabdian Seorang Mahasiswa KKN
Muhammad Kasim Arifin lahir di Langsa, Aceh, pada 1938. Dari kisah hidupnya yang inspiratif, kita bisa belajar mengenai pentingnya mempraktikkan pengetahuan yang kita miliki untuk memberikan manfaat bagi sesama dan bumi kita yang tercinta. Kisah tersebut berawal dari keputusannya untuk mendaftar kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Sebagaimana kampus lain di Indonesia, IPB juga melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah prinsip tanggung jawab perguruan tinggi untuk menerapkan keseimbangan antara kewajiban dalam aspek pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Sebagian besar mahasiswa harus melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat dengan mengikuti KKN, yaitu terjun langsung melayani masyarakat di daerah-daerah yang kekurangan di antero Nusantara. KKN biasanya selesai dalam tiga bulan saja. Akan tetapi, Kasim Arifin terus menetap dan melayani masyarakat selama 15 tahun.
Kasim dan mahasiswa IPB lainnya dikerahkan ke Desa Tunggakjati dan Desa Tanjungpura di Karawang untuk memperkenalkan dan melaksanakan Program Panca Usaha Tani pada 1964. Karena proyek rintisan tersebut berhasil, IPB mengirim beberapa mahasiswa untuk menyebarluaskan konsep pertanian tersebut ke seluruh pelosok tanah air. Kasim dan teman-teman tiba di Desa Gemba, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku pada 1965.
Sesuai dengan rencana awal, teman-teman Kasim kembali ke Bogor untuk melanjutkan kuliah setelah tiga bulan KKN. Akan tetapi, Kasim Arifin memutuskan tetap tinggal di Gemba karena merasa tugasnya belum selesai. Orang tua, teman-teman, bahkan Dekannya di IPB saat itu, Profesor Andi Hakim Nasution, memintanya untuk kembali dan menyelesaikan kuliah hingga lulus. Kasim kukuh dengan keputusannya.
Saleh Widodo, teman dekat Kasim, diutus ke Desa Gemba (yang sudah berubah nama menjadi Waimital) pada 1979 untuk membujuknya pulang. Kasim akhirnya mengalah. Dengan bantuan teman-temannya, Kasim menuangkan kisahnya di Gemba ke dalam lembaran-lembaran skripsi sebagai syarat kelulusan. Kasim akhirnya memperoleh gelar sarjana dari IPB pada 1979.
Selama 15 tahun mengabdi, Kasim dan warga Gemba bekerja sama dalam berbagai kegiatan. Mereka membuat akses jalan, membangun saluran irigasi, dan membuka lahan pertanian secara mandiri, tanpa bantuan dana dari pemerintah. Mereka membangun bendungan dan saluran irigasi puluhan kilometer secara manual. Saat ini, sistem irigasi tersebut memasok air untuk ratusan hektar sawah.
Namun demikian, kontribusi paling menonjol yang diberikan oleh Kasim Arifin adalah keberhasilannya dalam menghidupkan semangat gotong royong di tengah masyarakat Desa Gemba. Selama menetap di sana, Kasim bahkan sempat membentuk grup musik tradisional yang masih aktif hingga sekarang.
Gemba kini menjadi desa paling maju dan makmur di Kabupaten Seram Bagian Barat. Sebagai pengingat akan jasa dan pengabdian Kasim, sebuah ruas jalan di Gemba dinamai menurut namanya. Masyarakat di sana memanggilnya Antua, sapaan bagi tokoh yang dihormati di Maluku.
Setelah meninggalkan Gemba, semangat pengabdiannya tidak padam. Kasim menjadi dosen di Universitas Syiah Kuala, Aceh, pada 1994. Pada usia 66 tahun, ia menjadi bagian dari tim yang ditugaskan pemerintah untuk mempelajari pembangunan jalan Ladia Galaska (Lautan Hindia-Gayo-Alas-Selat Malaka) yang kontroversial.
Dedikasi Kasim Arifin mendapat pengakuan dari beragam kalangan. Taufiq Ismail, sastrawan besar Indonesia yang juga alumnus IPB, menulis puisi tentang kepulangan Kasim ke almamater mereka. Pada 1982, Kasim Arifin dianugerahi Kalpataru, sebuah apresiasi pemerintah bagi para pelopor perubahan dalam pelestarian lingkungan. Kisah hidupnya juga muncul dalam sebuah buku yang ditulis Hanna Rambe. Buku yang diterbitkan pada 1983 tersebut membandingkan antara slogan pembangunan dan realitasnya.
Kasim Arifin wafat pada Juli 2006, meninggalkan seorang istri dan tiga anak.
Pada Februari 2021, Ikatan Alumni IPB membangun rumah bagi keluarga Kasim Arifin di Gampong Rumpet, Aceh, untuk mengapresiasi jasa-jasanya. Sampai saat ini, kiprah Kasim Arifin terus menginspirasi para pelajar dan generasi muda untuk mempraktikkan ilmu yang mereka peroleh dengan terjun langsung ke tengah masyarakat dan melayani mereka yang membutuhkan.
Penerjemah dan Editor: Mahardhika dan Kezia Indira @Pustakezia
Sumber: YouTube Himpunan Alumni IPB, Website Hutan Tersisa
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Naz adalah Manajer Editorial Internasional di Green Network Asia. Ia pernah belajar Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota dan tinggal di beberapa kota di Asia Tenggara. Pengalaman pribadi ini memperkaya persepektifnya akan masyarakat dan budaya yang beragam. Naz memiliki sekitar satu dekade pengalaman profesional sebagai penulis, editor, penerjemah, dan desainer kreatif.