Dampak Ekologis dan Sosial dari Perluasan Tambang di Pulau Jawa

Bentang Alam Karst Gunung Sewu, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. | Foto: WALHI Yogyakarta.
Perluasan tambang seringkali mengorbankan bentang alam yang menjadi tumpuan hidup masyarakat. Pulau Jawa, dengan kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia dan mengemban peran strategis sebagai pusat perekonomian, menghadapi tekanan eksploitasi yang membatasi ruang hidup masyarakat, salah satunya akibat ekspansi pertambangan. Laporan CELIOS mencoba menunjukkan bagaimana dampak ekologis dan sosial akibat tambang di Pulau Jawa serta memberikan rekomendasi strategis untuk meredam dan mencegah krisis.
Ancaman Tambang di Jawa
Meski luasnya hanya sekitar 7% dari total wilayah Indonesia, Pulau Jawa menampung jumlah penduduk terbesar dan menjadi pusat perekonomian nasional. Namun, pulau ini juga dibebani oleh ratusan Izin Usaha Pertambangan, yang tersebar di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Bahkan banyak pertambangan yang beroperasi di kawasan yang dekat dengan pemukiman padat penduduk, daerah aliran sungai, dan wilayah pesisir yang rentan.
Keberadaan tambang dalam jumlah besar telah mengancam kawasan hutan lindung dan keanekaragaman hayati, serta merusak daerah aliran sungai. Sebagai contoh, dampak nyata pertambangan terlihat jelas, di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dimana penambangan pasir di kawasan lereng Gunung Merapi telah menyebabkan perubahan pola aliran sungai sehingga mengancam sumber mata air warga, dan memperparah risiko longsor yang membahayakan wilayah pemukiman. Ancaman juga datang dari rencana tambang batu gamping di kawasan karst Wonogiri, Jawa Tengah, yang berpotensi merusak bentang alam Gunung Sewu, penyimpan air alami dan habitat unik berbagai spesies.
Krisis Ekologis dan Sosial Akibat Tambang
Laporan CELIOS menunjukkan bahwa aktivitas tambang di berbagai wilayah di Jawa tidak hanya menimbulkan kerusakan lingkungan secara lokal, tetapi juga memicu krisis ekologis dan sosial yang meluas. Dampak ini mencakup penurunan indeks kualitas tutupan lahan, berkurangnya kapasitas penyimpanan air di wilayah tambang, serta meningkatnya risiko bencana seperti banjir dan longsor.
Sektor industri semen menjadi salah satu sorotan utama. Sebagian besar bahan baku semen di Jawa berasal dari penambangan batu gamping di kawasan karst yang memiliki fungsi sebagai penyimpan air bawah tanah, penyangga ekosistem, dan habitat spesies lokal. Analisis kerugian ekonomi pada kasus tambang semen di Rembang, Jawa Tengah, misalnya, menunjukkan total kerugian mencapai Rp3,27 triliun per tahun dengan akumulasi kerugian kontan sampai dengan 2025 mencapai Rp35,9 triliun. Kerugian ini terdiri dari kerusakan lingkungan, biaya kesehatan akibat polusi udara dan air, serta hilangnya potensi serapan karbon akibat berkurangnya vegetasi di area tambang.
Selain industri semen, penambangan pasir juga menjadi masalah serius di Jawa. Di DIY, aktivitas penambangan pasir banyak berlangsung di wilayah DAS Progo, DAS Opak, Perbukitan Menoreh, dan Pegunungan Selatan. Beberapa lokasi tambang bahkan berada hanya sekitar 500 meter dari jembatan, yang berpotensi membahayakan keselamatan warga. Dalam periode 2019–2024, tercatat lebih dari 60 temuan pelanggaran oleh perusahaan tambang terhadap aturan yang berlaku, termasuk tidak dilakukannya identifikasi bahaya dan penilaian risiko sebagaimana mestinya.
Beralih ke Ekonomi Restoratif
CELIOS merekomendasikan penerapan moratorium izin tambang di Pulau Jawa sebagai langkah awal untuk menghentikan laju kerusakan lingkungan dan memberi ruang bagi perbaikan tata kelola sumber daya alam. Moratorium ini harus dibarengi dengan seruan untuk menghentikan praktik ekonomi ekstraktif yang selama ini menguras cadangan alam tanpa mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Sebagai gantinya, laporan tersebut menekankan pentingnya peralihan menuju ekonomi restoratif, suatu model pembangunan yang memulihkan ekosistem, menjaga keseimbangan alam, dan mengutamakan keberlanjutan jangka panjang. Pendekatan ini menitikberatkan pada perlindungan fungsi ekologis wilayah, seperti ketersediaan air, kualitas tanah, dan keanekaragaman hayati, sekaligus membuka peluang ekonomi baru berbasis pemanfaatan sumber daya alam yang lestari.
Editor: Abul Muamar