Mengarusutamakan Solusi Berbasis Alam untuk Reformasi Manajemen Risiko Bencana
Foto: Badan Nasional Penanggulangan Bencana di Wikimedia Commons.
Kehidupan manusia sangat bergantung pada kesehatan dan keseimbangan ekosistem alam. Hutan, gunung, lahan basah, laut, dan lainnya, semuanya berperan dalam menopang kehidupan di Bumi. Namun ironisnya, berbagai aktivitas manusia yang tidak bertanggung jawab telah menyebabkan kerusakan lingkungan dalam skala yang mengerikan sehingga berkontribusi terhadap siklus bencana yang berulang, dan hal ini turut diperparah oleh kurangnya manajemen risiko bencana yang memadai. Mengingat besarnya ketergantungan kita pada ekosistem alam yang sehat dan seimbang, mengarusutamakan solusi berbasis alam (Nature-based Solutions/NbS) menjadi semakin relevan dan mendesak untuk mereformasi pengelolaan risiko bencana yang lebih menekankan pada aspek pencegahan.
Kerusakan Lingkungan yang Membuka Jalan Bagi Bencana
Menjelang penghujung November, Pulau Sumatera diterjang rangkaian bencana besar. Hujan lebat yang turun selama beberapa hari memicu banjir bandang dan tanah longsor di beberapa daerah di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Bencana tersebut mengungkapkan fakta yang selama ini sering kali diabaikan. Faktor alam seperti hujan ekstrem dan Siklon Senyar memang menjadi pemicu, tetapi bukan merupakan faktor tunggal. Bencana yang telah merenggut lebih dari 750 nyawa dan memaksa jutaan orang mengungsi tersebut merupakan akumulasi dari kerentanan ekologis akibat deforestasi yang merajalela, alih fungsi lahan yang masif, tata ruang yang lemah, dan pengelolaan lingkungan yang tidak memadai. Sialnya, kerusakan dan kerentanan ekologis ini tidak hanya terjadi di Sumatera.
Kerusakan ekologis di berbagai daerah di Indonesia bukan fenomena baru, dan akumulasinya kini telah mencapai titik kritis. Deforestasi masif, yang didorong oleh ekspansi perkebunan industri dan kegiatan pertambangan, telah menghilangkan hutan yang berfungsi menahan air dan menjaga kestabilan tanah. Banyak kawasan di berbagai daerah yang secara ilmiah seharusnya menjadi zona lindung justru berubah menjadi konsesi industri. Izin pembangunan dan pembukaan lahan seringkali tak mempertimbangkan kapasitas lingkungan, sehingga bentang alam kehilangan kemampuan alaminya untuk meredam bencana. Sungai-sungai menyempit akibat sedimentasi, tebing menjadi rapuh, dan ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) kehilangan integritasnya.
Di beberapa wilayah, seperti di Kalimantan Tengah dan Riau, berbagai aktivitas perkebunan monokultur melibatkan alih fungsi lahan hutan dan gambut yang semestinya dapat menghalau air masuk ke wilayah pemukiman warga. Ketika hujan lebat tumpah dari langit, air yang seharusnya ditahan oleh gambut mengalir lebih cepat ke permukiman. Sementara itu, aktivitas pertambangan terbuka telah merusak lereng, meningkatkan potensi longsor, serta mempercepat erosi tanah. Kombinasi dari semua faktor ini menciptakan lanskap yang sangat rentan.
Ketika Bencana Memperdalam Kerentanan Sosial
Bencana selalu berdampak terhadap kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Lahan pertanian dan kebun rakyat, misalnya, yang merupakan sumber penghidupan utama masyarakat lokal, banyak yang mengalami kerusakan berat. Akibatnya, banyak keluarga yang kehilangan pemasukan dan terperosok lebih dalam ke lubang kemiskinan struktural.
Banyak warga tinggal di bantaran sungai atau pinggiran lereng karena keterbatasan ekonomi. Ketika bencana terjadi, mereka adalah pihak pertama yang terdampak dan yang paling lama bangkit kembali. Siklus ini terus berulang dan menciptakan ketidakadilan ekologis. Mereka yang paling sedikit berkontribusi pada kerusakan justru menanggung beban terbesar.
Di banyak wilayah perkotaan, meskipun mungkin tak sampai menimbulkan korban jiwa, bencana tetap akan menimbulkan sengsara. Selama masa-masa banjir, banyak warga kota yang terpaksa mengungsi, merelakan rumahnya terendam air berhari-hari, dan berjibaku dengan mobilitas yang tersendat karena jalanan yang terendam, yang semuanya berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan mereka.
Semua dampak bencana ini pada gilirannya akan meluas lintas generasi. Anak-anak kehilangan akses ke pendidikan karena sekolah rusak atau akses terputus. Gangguan kesehatan meningkat akibat genangan dan sanitasi buruk. Ribuan orang terpaksa mengungsi atau pindah secara permanen, meninggalkan kampung halaman yang sudah tak lagi aman. Sementara itu, negara harus menanggung biaya pemulihan yang besar, sementara akar persoalannya tetap tak teratasi.
Reformasi Manajemen Risiko Bencana dengan Solusi Berbasis Alam
Tragedi di Sumatera, serta berbagai kejadian bencana di berbagai daerah pada tahun-tahun yang lampau, mengingatkan kita bahwa Indonesia tidak bisa lagi bergantung pada pola lama dalam mengelola risiko bencana. Selama ini, manajemen risiko bencana di Indonesia cenderung bersifat responsif: pemerintah bergerak ketika banjir telah merendam wilayah, ketika longsor telah menutup jalan, atau ketika bencana telah menelan banyak korban. Respons darurat memang penting, tetapi pola seperti itu tidak mengatasi akar persoalan, yang berakibat pada bencana serupa yang datang berulang. Untuk negara yang berada di salah satu kawasan paling rawan bencana di dunia, pendekatan seperti ini jelas tidak cukup. Reformasi mendasar diperlukan dalam pengelolaan risiko bencana, termasuk dengan beralih ke pendekatan yang menekankan pada pencegahan jangka panjang yang kuat, terukur, dan berbasis pada sains serta kapasitas alami lingkungan.
Dalam kerangka inilah Solusi Berbasis Alam (Nature-based Solutions/NbS) menjadi pendekatan yang penting dan strategis. NbS adalah cara mengembalikan fungsi ekosistem sehingga lingkungan mampu meredam risiko bencana secara alami, sekaligus meningkatkan kesejahteraan komunitas. Pendekatan ini menuntut restorasi yang sensitif terhadap proses ekologis: mengembalikan aliran air, memperbaiki struktur tanah, memulihkan tutupan vegetasi, serta menata ruang supaya selaras dengan kemampuan lingkungan menanggung beban pembangunan. NbS juga menuntut tata kelola yang inklusif, memastikan masyarakat yang hidup paling dekat dengan ekosistem menjadi bagian dari pengambilan keputusan dan mendapatkan manfaatnya.
Contoh penerapan NbS dapat dilihat pada berbagai komunitas di Indonesia yang memilih untuk tidak menyerah pada ancaman bencana. Salah satunya adalah kelompok masyarakat di pesisir Semarang yang membangun inisiatif restorasi mangrove sebagai upaya bertahan hidup dari terjangan banjir rob dan abrasi. Mereka membuktikan bahwa mangrove bukan hanya tumbuhan pesisir, tetapi benteng alami yang memecah gelombang, memperlambat banjir, menjaga kualitas air, dan kembali menghidupkan mata pencaharian perikanan rakyat.
Potensi penerapan NbS di Indonesia sesungguhnya sangat besar. Pemulihan lahan gambut, misalnya, dapat mengembalikan kemampuannya menyimpan air dalam skala masif sehingga banjir musiman dapat ditekan. Rehabilitasi DAS yang melibatkan masyarakat dapat mengurangi erosi, menurunkan sedimentasi sungai, dan memperbaiki kualitas air. Konservasi hutan di lereng curam dapat menahan tanah agar tidak longsor. Bahkan di kawasan perkotaan, ruang terbuka hijau, taman banjir, hingga lahan basah buatan dapat membantu mengatur limpasan air, mengurangi risiko genangan ekstrem, dan melengkapi sistem drainase yang selama ini sering kalah oleh intensitas hujan.
Agar integrasi NbS dalam reformasi manajemen risiko bencana dapat benar-benar terlaksana, Indonesia membutuhkan sejumlah key enablers yang sesuai dengan panduan yang dirumuskan oleh United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNDRR) berdasarkan Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030. Beberapa prasyarat tersebut adalah:
- Kebijakan, peraturan, dan subsidi yang mendorong penggunaan NbS.
- Konsultasi dan partisipasi pemangku kepentingan untuk kepentingan dan dukungan lokal.
- Dasar pengetahuan dan bukti yang kuat terhadap kapasitas NbS.
- Kemitraan lintas sektor publik dan swasta untuk keluar dari pola business as usual dan menyelaraskan teknik, ekologi, dan ilmu sosial.
- Ketersediaan standar dan panduan yang jelas untuk desain dan implementasi NbS.
- Integrasi NbS ke dalam kurikulum dan pelatihan bagi para profesional di bidang teknik dan ilmu lingkungan.
- Pemanfaatan dan pengarusutamaan NbS sebagai bagian dari infrastruktur pengendalian bencana.
Namun, reformasi ini tidak akan berjalan jika fondasi ekonomi masih mengandalkan model ekstraktif yang kerap mengeksploitasi alam. Model ekonomi yang seperti ini menciptakan wilayah yang rapuh. Karena itu, transformasi menuju ekonomi regeneratif menjadi syarat utama. Ini bukan sekadar mengurangi dampak negatif, tetapi memastikan setiap aktivitas ekonomi mampu memperbaiki kondisi ekosistem, mengembalikan daya dukungnya, dan memperkuat ketahanan sosial masyarakat.
Editor: Abul Muamar
Join Membership Green Network Asia – Indonesia
Jika Anda menilai konten ini bermanfaat, dukung gerakan Green Network Asia untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia. Dapatkan manfaat khusus untuk pengembangan pribadi dan profesional.
Jadi Member Sekarang
Mengupayakan Sirkularitas Pusat Data melalui Pemulihan Panas Buangan
Mengakui Peran Komunitas Lokal dalam Pelestarian Keanekaragaman Hayati
Memanfaatkan Seni dan Pengetahuan Adat sebagai Instrumen Pengurangan Risiko Bencana
Merawat Harmoni di Tengah Keberagaman: Cerita Kehidupan dan Dinamika Sosial Masyarakat Desa Kandangan, Lumajang
Memperkuat Ketahanan Masyarakat di Era Disrupsi
Memperkuat Tata Kelola Mitigasi Risiko Bencana: Pelajaran dari Bencana Hidrometeorologi di Sumatera