Skip to content
  • Tentang
  • Bermitra dengan Kami
  • Beriklan
  • GNA Internasional
  • Jadi Member
  • Log In
Primary Menu
  • Terbaru
  • GNA Knowledge Hub
  • Topik
  • Wilayah
    • Dunia
    • Jawa
    • Kalimantan
    • Maluku
    • Nusa Tenggara
    • Papua
    • Sulawesi
    • Sumatera
  • Kabar
  • Ikhtisar
  • Infografik
  • Video
  • Opini
  • Akar Rumput
  • Muda
  • Siaran Pers
  • Corporate Sustainability
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Mengatasi Tantangan yang Dihadapi Anak dengan Disabilitas

Diperlukan lebih dari sekadar kebijakan dan program untuk mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi oleh anak-anak dengan disabilitas demi mewujudkan masyarakat yang inklusif.
Oleh Niken Pusparani Permata Progresia
15 Oktober 2025
Kursi roda anak berukuran kecil di samping deretan kursi kayu, dengan latar belakang papan tulis hitam dan lantai berkarpet berwarna cerah.

Foto: National Cancer Institute di Unsplash.

Setiap anak memiliki potensi dan latar belakang yang unik. Namun, bagi anak-anak dengan disabilitas, jalan menuju tumbuh dan berkembang secara setara sering kali tidak mudah. Mereka menghadapi hambatan yang tidak hanya datang dari keterbatasan fisik, tetapi juga dari lingkungan sosial dan sistem yang belum inklusif dan cenderung diskriminatif.

Realitas Anak dengan Disabilitas di Indonesia

Anak dengan disabilitas seringkali dipahami secara sempit, hanya sebatas keterbatasan fisik yang tampak. Padahal, disabilitas meliputi kondisi yang jauh lebih luas. United Nations Convention on the Rights of Persons with Disabilities (UNCRPD) mendefinisikan disabilitas sebagai hasil interaksi antara individu dengan hambatan lingkungan dan sikap masyarakat. Definisi ini menekankan pentingnya menghapus hambatan sosial agar penyandang disabilitas dapat berpartisipasi setara dalam masyarakat. Terminologi dan model yang digunakan sangat mempengaruhi sikap, kebijakan, serta kepercayaan diri penyandang disabilitas.

Di Indonesia, terminologi dan definisi disabilitas masih belum konsisten di berbagai peraturan dan kementerian, meskipun Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 telah mengadopsi pendekatan sosial sesuai UNCRPD. Istilah lama seperti “cacat” dan “berkebutuhan khusus” masih banyak digunakan, termasuk dalam kebijakan pendidikan dan peraturan lainnya. Perbedaan definisi antarinstansi tidak hanya menimbulkan kebingungan, tetapi juga menyulitkan pengumpulan data yang akurat dan komparatif, sehingga menghambat perencanaan serta implementasi kebijakan yang inklusif.

Data Survei Kesejahteraan Indonesia (SKI) tahun 2024 yang dikutip oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan bahwa sekitar 1 juta anak, atau setara dengan 1,2 persen dari total populasi anak di Indonesia, adalah penyandang disabilitas. Namun, angka ini kemungkinan masih jauh dari realitas sebenarnya. Banyak anak dengan disabilitas yang tidak terdata karena belum memiliki dokumen kependudukan atau masih “disembunyikan” oleh keluarga akibat stigma sosial.

Masalah pendataan ini berdampak besar. Tanpa data yang akurat, sulit memastikan mereka mendapat layanan kesehatan, pendidikan, maupun bantuan sosial yang sesuai kebutuhan. Sistem pendataan nasional pun masih terfragmentasi. Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Pendidikan memiliki basis data masing-masing dengan definisi yang berbeda. Akibatnya, banyak anak dengan disabilitas luput dari perhatian kebijakan publik.

Ketika Sistem Belum Sepenuhnya Inklusif

Berbagai kebijakan telah disusun untuk menjamin hak-hak anak dengan disabilitas di Indonesia. Namun, di lapangan, sistem yang mendukung mereka masih jauh dari inklusif. Hambatan muncul mulai dari tahap paling dasar, seperti pendidikan, kesehatan, hingga perlindungan sosial.

Dalam bidang pendidikan, ketimpangan akses masih mencolok. Statistik Pendidikan 2024 mencatat bahwa 17,85 persen penyandang disabilitas berusia di atas lima tahun belum pernah mengenyam pendidikan formal, sementara pada kelompok non-disabilitas hanya 5,04 persen. Hampir setengah penyandang disabilitas hanya menamatkan pendidikan di tingkat SD atau lebih rendah, menunjukkan masih rendahnya akses ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Keterbatasan fasilitas dan tenaga pendidik turut memperparah keadaan. Berdasarkan Data Pokok Pendidikan (DAPODIK) Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Semester Ganjil Tahun Ajaran 2025/2026, Indonesia memiliki 2.418 Sekolah Luar Biasa (SLB), namun distribusinya masih sangat tidak merata. Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah menjadi provinsi dengan jumlah SLB terbanyak, sementara wilayah seperti Papua Pegunungan dan Kalimantan Utara memiliki kurang dari 10 SLB. Ketimpangan ini memperlihatkan bahwa anak penyandang disabilitas di luar Jawa masih menghadapi hambatan geografis dan infrastruktur yang signifikan untuk mengakses pendidikan yang layak.

Kondisi serupa terlihat di sektor kesehatan. Sebagian besar fasilitas kesehatan belum sepenuhnya ramah disabilitas, baik dari sisi infrastruktur maupun kompetensi tenaga medis. Penelitian aksesibilitas pada penyandang disabilitas rungu menemukan bahwa sekitar 64,7 persen responden merasakan bahwa layanan kesehatan kurang mudah diakses. Selain itu, meskipun banyak penyandang disabilitas mengakses puskesmas atau rumah sakit umum, mereka melaporkan hambatan seperti transportasi, fasilitas pendukung yang minim, dan ketidaktersediaan pendamping. Akibatnya, keterlambatan diagnosis masih sering terjadi karena minimnya deteksi dini dan kurangnya pelatihan bagi tenaga kesehatan. Intervensi dan terapi yang seharusnya diberikan sejak dini sering tertunda, menghambat tumbuh kembang anak dalam jangka panjang.

Dalam perlindungan sosial, masalahnya tidak kalah kompleks. Banyak keluarga penyandang disabilitas kesulitan mendaftarkan anaknya untuk mendapatkan bantuan karena stigma, proses administrasi yang rumit, dan kurangnya informasi. Di sisi lain, sistem data penerima bantuan sosial belum sepenuhnya terintegrasi dengan data disabilitas nasional, menyebabkan penyaluran bantuan sering tidak tepat sasaran. Akibatnya, program yang seharusnya mendukung justru seringkali luput menjangkau mereka yang paling membutuhkan.

Hambatan-hambatan ini memperlihatkan bahwa inklusi di Indonesia belum merata. Akses anak penyandang disabilitas terhadap layanan publik masih sangat ditentukan oleh tempat tinggal, kondisi ekonomi keluarga, dan sejauh mana lingkungan sekitar memahami kebutuhan mereka.

Lingkaran Stigma dan Diskriminasi

Di luar keterbatasan sistem, anak dengan disabilitas juga menghadapi hambatan sosial yang tak kalah menekan berupa stigma dan diskriminasi. Banyak masyarakat masih memandang disabilitas sebagai beban keluarga yang memalukan. Stigma ini membentuk lingkungan yang tidak ramah bagi anak untuk tumbuh dan berpartisipasi secara setara.

Stigma tersebut kerap bermula di lingkungan terdekat. Sejumlah penelitian sosial menunjukkan bahwa sebagian keluarga memilih untuk tidak mendaftarkan anaknya ke sekolah karena takut menghadapi cibiran masyarakat. Dalam konteks yang lebih luas, sikap penolakan lembaga pendidikan terhadap anak disabilitas, baik karena keterbatasan fasilitas maupun pemahaman, semakin memperparah keterasingan mereka.

Dampak diskriminasi tidak berhenti di sana. Menurut laporan WHO, penyandang disabilitas memiliki risiko dua hingga empat kali lebih tinggi untuk mengalami kekerasan seksual. Bentuk kekerasan yang mereka alami sering tidak dilaporkan, karena korban sulit dipercaya atau tidak memiliki akses terhadap mekanisme pelaporan yang aman.

Paparan diskriminasi yang terus-menerus dapat memunculkan efek psikologis jangka panjang. Banyak anak tumbuh dengan perasaan tidak berdaya dan kehilangan motivasi untuk berpartisipasi. Kondisi ini dikenal sebagai learned helplessness.

Membangun Sistem yang Lebih Inklusif

Mewujudkan inklusi bagi anak penyandang disabilitas bukan hanya soal memperbaiki layanan, tetapi juga membangun sistem yang berkeadilan dan responsif terhadap kebutuhan mereka. Sejumlah langkah strategis perlu diperkuat untuk memastikan inklusi bagi anak penyandang disabilitas, di antaranya:

  • Memperkuat koordinasi lintas kementerian dan lembaga dalam isu disabilitas agar kebijakan dan program tidak berjalan terpisah.
  • Penyamaan terminologi dan definisi disabilitas di seluruh sektor dengan berbasis pendekatan hak asasi manusia untuk mencegah bias dalam kebijakan dan pendataan.
  • Pengembangan sistem data dan pemantauan terpadu dengan menggunakan instrumen seperti Child Functioning Module dari UNICEF, agar profil anak disabilitas dapat terpetakan secara akurat.
  • Integrasi pelayanan gizi, kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial dalam satu kerangka program yang inklusif, termasuk pelatihan bagi tenaga kesehatan dan guru untuk deteksi dini dan pendampingan yang sesuai.
  • Memastikan akses terhadap lingkungan dan fasilitas publik yang aman dan ramah disabilitas, terutama pada sektor pendidikan dan WASH (air, sanitasi, dan kebersihan).
  • Membangun sistem perlindungan anak yang inklusif dan berkeadilan, mencakup pencegahan kekerasan, dukungan hukum, serta penguatan pengasuhan berbasis keluarga agar anak tidak terpisah dari lingkungan alaminya.
  • Mendorong akses terhadap teknologi bantu dan sarana adaptif agar anak dapat belajar, berkomunikasi, dan berpartisipasi secara mandiri.
  • Promosi perubahan sosial dan perilaku untuk menghapus stigma melalui kampanye publik, pendidikan masyarakat, dan keterlibatan media.
  • Melibatkan anak penyandang disabilitas secara langsung dalam proses riset, kebijakan, serta perencanaan program yang menyangkut diri mereka.
  • Memastikan kesiapsiagaan bencana dan penanganan darurat yang inklusif dan aksesibel, agar anak dengan disabilitas tidak tertinggal dalam situasi krisis.

Langkah-langkah tersebut menegaskan bahwa inklusi sejati hanya dapat tercipta jika seluruh pemangku kepentingan berkomitmen untuk mewujudkan sistem yang adil dan berkelanjutkan. Pada akhirnya, inklusivitas bukan sekadar tentang meniadakan perbedaan, melainkan tentang memberi ruang yang setara bagi setiap anak untuk tumbuh dengan baik.

Editor: Abul Muamar

Join Green Network Asia – Ekosistem Nilai Bersama untuk Pembangunan Berkelanjutan.

Belajar, berbagi, berjejaring, dan terlibat dalam gerakan kami untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.

Jadi Member Sekarang

Continue Reading

Sebelumnya: Bagaimana Ongi River Movement di Mongolia Melindungi Manusia dan Lingkungan

Lihat Konten GNA Lainnya

orang-orang menunggang kuda menyusuri aliran sungai Bagaimana Ongi River Movement di Mongolia Melindungi Manusia dan Lingkungan
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Bagaimana Ongi River Movement di Mongolia Melindungi Manusia dan Lingkungan

Oleh Dinda Rahmania
15 Oktober 2025
dua buah kakao berwarna kuning di batang pohon Bagaimana Kerja Sama Indonesia-Prancis dalam Memperkuat Industri Kakao
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Bagaimana Kerja Sama Indonesia-Prancis dalam Memperkuat Industri Kakao

Oleh Abul Muamar
14 Oktober 2025
Beberapa orang berada di dalam air untuk memasang kerangka jaring persegi berwarna hijau, sementara lainnya berdiri di pematang tambak dengan pagar bambu sederhana di bagian belakang. Rehabilitasi Mangrove Berbasis Komunitas dengan Silvofishery
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Rehabilitasi Mangrove Berbasis Komunitas dengan Silvofishery

Oleh Niken Pusparani Permata Progresia
13 Oktober 2025
Dua perempuan menampilkan tarian Bali di hadapan penonton. Menghidupkan Kembali Warisan Budaya Bersama di Asia Tenggara
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Menghidupkan Kembali Warisan Budaya Bersama di Asia Tenggara

Oleh Attiatul Noor
13 Oktober 2025
perempuan yang duduk di batang pohon besar, laki-laki berdiri di sampingnya dan dikelilingi rerumputan; keduanya mengenakan pakaian tradisional Papua Deklarasi Sira: Memperjuangkan Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Deklarasi Sira: Memperjuangkan Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat

Oleh Seftyana Khairunisa
10 Oktober 2025
stasiun pengisian daya dengan mobil listrik yang diparkir di sebelahnya. Proyeksi Pengembangan dan Peluang Transportasi Energi Terbarukan
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Proyeksi Pengembangan dan Peluang Transportasi Energi Terbarukan

Oleh Kresentia Madina
10 Oktober 2025

Tentang Kami

  • Surat CEO GNA
  • Tim In-House GNA
  • Jaringan Penasihat GNA
  • Jaringan Author GNA
  • Panduan Artikel Opini GNA
  • Panduan Laporan Akar Rumput GNA
  • Layanan Penempatan Siaran Pers GNA
  • Program Magang GNA
  • Ketentuan Layanan
  • Kebijakan Privasi
© 2021-2025 Green Network Asia