Pentingnya Penguatan Tata Kelola Hilirisasi Tembaga dan Bauksit

Lubang tambang grasberg PT Freeport Indonesia di Papua | Photo Wikimedia Commons.
Hilirisasi sumber daya alam telah menjadi langkah yang sering ditempuh di banyak negara untuk meningkatkan nilai tambah. Di Indonesia, hilirisasi nikel termasuk salah satu yang paling menonjol dan menyita perhatian. Setelah nikel, pemerintah kemudian merambah mineral lainnya, termasuk tembaga dan bauksit. Namun, tanpa tata kelola yang memadai, hilirisasi komoditas tambang berisiko meningkatkan permasalahan lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat lokal, seperti yang terjadi pada hilirisasi nikel.
Tantangan Hilirisasi Tembaga dan Bauksit
Ada banyak tantangan yang muncul dalam perjalanan hilirisasi tembaga dan bauksit di Indonesia. Menurut laporan CELIOS, tantangan tersebut mencakup proyek smelter yang mangkrak, ketergantungan pada pasokan energi dari PLTU batubara, konflik lahan yang melibatkan masyarakat lokal, hingga eksploitasi pekerja. Tantangan-tantangan ini bukan hal baru. Pola serupa telah terlihat dalam pengelolaan komoditas tambang lain seperti nikel, batu bara, dan timah.
Di wilayah-wilayah penghasil mineral tembaga dan bauksit seperti Papua dan Kalimantan Barat, sejumlah smelter yang dibangun dengan harapan akan menjadi pusat pengolahan mineral pada kenyataannya berakhir mangkrak. Dari 12 smelter bauksit yang direncanakan, hanya empat yang dapat beroperasi, selebihnya masih dalam tahap konstruksi yang masih terkendala penyelesaiannya. Di sisi lain, pembangunan smelter tembaga seperti proyek PT Freeport Indonesia di Gresik mengalami insiden serius. Pada 14 Oktober 2024, smelter tersebut mengalami kebakaran di unit pabrik asam sulfat yang baru beroperasi kurang dari sebulan.
Selain itu, smelter-smelter yang dibangun mayoritas masih mengandalkan energi batu bara, seperti pada proyek smelter tembaga Gresik dan di Sulawesi. Ketergantungan ini turut memperbesar emisi karbon sekaligus berpotensi menghambat ekspor produk hilirisasi Indonesia ke pasar global yang telah menerapkan regulasi bebas-karbon, seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) di Uni Eropa. Meskipun Uni Eropa saat ini belum secara langsung mengenakan CBAM terhadap tembaga dan bauksit, mereka berencana memperluas cakupan kebijakan ini secara bertahap.
Konflik dengan masyarakat lokal juga kerap mewarnai proyek hilirisasi. Di Ketapang, Kalimantan Barat, misalnya, perusahaan mengancam mempidanakan warga yang menuntut ganti rugi atas lahan mereka yang digunakan untuk tambang bauksit. Sementara itu, di Marok Tua, Kepulauan Riau, wilayah tambang milik sebuah perusahaan disegel oleh warga karena tidak memenuhi janji kompensasi selama lebih dari satu dekade beroperasi.
Perlunya Penguatan Tata Kelola
Keberlanjutan lingkungan dan manfaat terhadap masyarakat lokal merupakan aspek penting yang harus dipertimbangkan dalam proyek hilirisasi. Dalam hal ini, dibutuhkan kerangka kerja dan tata kelola yang memadai agar proyek hilirisasi benar-benar mendatangkan nilai tambah yang bermakna sekaligus tetap menjaga keberlanjutan lingkungan. Laporan CELIOS memberikan beberapa rekomendasi untuk memperkuat tata kelola hilirisasi tembaga dan bauksit:
- Memperbaiki regulasi dan kebijakan, termasuk memastikan arah kebijakan hilirisasi tambang konsisten dan bersifat jangka panjang.
- Memperluas pembangunan infrastruktur energi terbarukan, dengan melibatkan PLN dalam pemenuhan listrik di kawasan industri dan memperbaiki jaringan transportasi.
- Meningkatkan kapasitas teknologi dan sumber daya manusia, termasuk dengan mewajibkan transfer teknologi dari investor asing ke tenaga kerja dan perusahaan lokal.
- Memperkuat kerja sama dengan investor untuk membangun smelter berteknologi tinggi.
- Menetapkan standar lingkungan yang ketat dan mewajibkan rehabilitasi lahan bekas tambang kepada perusahaan untuk mendukung keberlanjutan lingkungan.
- Memperkuat tata kelola dan pengawasan untuk mencegah eksploitasi berlebihan dan korupsi.
- Diversifikasi produk hilir dan ekspansi pasar untuk menghindari ketergantungan pada pasar domestik.
- Mengintegrasikan proyek hilirisasi dengan pengembangan ekonomi lokal.
Editor: Abul Muamar