Impor Sampah Plastik dan Dampaknya terhadap Lingkungan dan Sosial
Pencemaran sampah plastik telah menjadi ancaman serius bagi lingkungan dan kesehatan manusia di seluruh dunia. Penumpukan sampah plastik yang tidak terkendali mengakibatkan kerusakan ekosistem, baik di darat maupun di laut. Aktivitas pengiriman sampah plastik lintas negara semakin memperparah masalah ini secara global. Praktik ekspor dan impor sampah plastik berpotensi menciptakan ketidakadilan lingkungan dan menyebabkan negara-negara penerima menanggung dampak lingkungan yang tidak proporsional.
Di Indonesia, impor sampah plastik menjadi sorotan di tengah persoalan pengelolaan sampah domestik yang masih membutuhkan perbaikan.
Pengiriman Sampah Plastik Lintas Negara
Pengiriman sampah plastik dari satu negara ke negara lain merupakan praktik bisnis yang telah berlangsung cukup lama, setidaknya sejak tahun 1970-an. Praktik pengiriman sampah plastik ke luar negeri banyak dilakukan oleh negara-negara kaya karena kurangnya tempat pembuangan akhir (TPA) serta biayanya yang lebih murah dibandingkan harus mengelolanya di dalam negeri.
Sementara itu, negara berkembang pada umumnya menerima kiriman sampah plastik dalam jumlah besar untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku di berbagai industri. Namun, sebagian negara berkembang yang menjadi penerima sampah plastik tidak memiliki infrastruktur dan fasilitas yang memadai untuk mengelola dan mendaur ulang limbah plastik dengan aman dan efektif. Beberapa negara penerima sampah plastik akhirnya memilih memulangkan sampah plastik kiriman negara kaya, seperti yang dilakukan Filipina.
Seiring meningkatnya produksi plastik global dan keterbatasan infrastruktur daur ulang di beberapa negara, pengiriman sampah plastik lintas negara telah meningkat secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Meskipun pada awalnya dianggap sebagai solusi untuk mengelola sampah plastik, praktik ini telah menimbulkan banyak kontroversi dan masalah lingkungan.
Dampak Lingkungan dan Sosial Impor Sampah Plastik
Negara-negara penerima sampah plastik menghadapi berbagai risiko dan dampak negatif yang serius, di antaranya:
- Pencemaran lingkungan. Sampah plastik impor yang tidak terkelola dengan baik dapat mencemari lingkungan alami negara penerima, termasuk sungai dan lautan.
- Ancaman terhadap kesehatan. Sampah plastik yang terurai dapat melepaskan zat kimia berbahaya ke dalam air dan tanah, yang pada gilirannya dapat masuk ke dalam rantai makanan dan berpotensi meracuni manusia. Selain itu, pembakaran sampah plastik yang tidak terkendali menghasilkan polusi udara yang dapat menyebabkan masalah pernapasan dan kesehatan lainnya.
- Kerusakan ekonomi. Sampah plastik impor seringkali tidak memberikan manfaat ekonomi yang seimbang atau lebih tinggi dibanding dampak lingkungan yang ditimbulkan. Negara-negara penerima dapat menghabiskan sumber daya yang besar untuk mengelola dan membuang sampah plastik tersebut dengan aman, sementara manfaat dari daur ulang atau penggunaan kembali sampah plastik tersebut sering kali tidak cukup signifikan untuk mengimbangi biaya tersebut.
- Ketidakadilan sosial. Praktik impor sampah plastik juga dapat menciptakan ketidakadilan sosial di antara penduduk lokal. Para pekerja di industri pengelolaan limbah dapat terpapar risiko kesehatan yang tinggi, sementara penduduk yang tinggal di sekitar fasilitas pengelolaan limbah mungkin menghadapi dampak lingkungan dan kesehatan yang lebih besar tanpa memiliki kontrol atas situasi yang ada.
Impor Sampah Plastik di Indonesia
Di Indonesia, impor sampah plastik telah menjadi sebuah isu penting dalam beberapa tahun terakhir, terutama terkait dampaknya terhadap lingkungan. Pada tahun 2022, impor sampah plastik di Indonesia mencapai lebih dari 194 ribu ton. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu pengimpor terbesar sampah plastik di dunia.
Pada awal April 2024, sejumlah aktivis lingkungan di Indonesia melakukan unjuk rasa menuntut penghentian pengiriman sampah plastik ke Indonesia oleh Jepang. “Pengiriman sampah plastik ke negara-negara berkembang seperti Indonesia tidak hanya merupakan tindakan tidak etis, tetapi juga menciptakan dampak serius bagi ekosistem sungai dan kesehatan,” kata Alaika Rahmatullah, koordinator aksi, dalam siaran persnya.
Idealnya, negara pengimpor sampah plastik dapat memperoleh keuntungan finansial sekaligus tetap menjaga kelestarian lingkungan apabila mampu mengelola dan memanfaatkan dengan baik sampah plastik kiriman dari negara pengekspor. Namun, kenyataannya, banyak sampah plastik yang dikirim ke Indonesia tidak dapat digunakan, antara lain karena kondisinya yang tidak layak (terkontaminasi, terdegradasi/terurai, dan sebagainya) dan fasilitas pengelolaan yang kurang memadai. Penelitian Ecoton dan Nexus3 menemukan bahwa antara 25-50% sampah plastik yang diimpor oleh perusahaan daur ulang plastik dan kertas di Indonesia tidak dikelola dengan baik.
Sampah plastik impor pada akhirnya mendatangkan dampak negatif terhadap lingkungan, seperti yang terjadi di Desa Tropodo, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo dan di Desa Bangun, Kecamatan Pungging, Kabupaten Mojokerto—dua wilayah yang menjadi penampung limbah plastik impor bersamaan dengan impor limbah kertas. Sebuah penelitian mengungkap bahwa kandungan dioksin dalam telur ayam di dua desa tersebut sangat tinggi, yakni mencapai 200 pikogram per gram lemak, jauh melampaui standar aman yang ditetapkan Badan POM (0,5 pikogram per gram lemak). Di Makassar, 55% sampel ikan yang dijual di pasar tradisional mengandung puing-puing plastik beracun.
Memperkuat Pengelolaan dan Regulasi
Menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 tahun 2016, impor dan ekspor limbah diizinkan sepanjang limbah tersebut tidak berbahaya dan tidak beracun (non-limbah B3). Limbah yang dikategorikan sebagai B3 adalah limbah yang mengandung unsur/senyawa yang mudah meledak, mudah terbakar, reaktif, infeksi, korosif, dan beracun. Namun, meskipun tidak dianggap sebagai berbahaya, impor limbah plastik tetap membutuhkan pengawasan yang ketat karena potensinya untuk terurai menjadi mikroplastik yang dapat mencemari ekosistem dan dapat membahayakan kesehatan.
Indonesia sendiri menghasilkan 12,87 juta ton sampah plastik setiap tahunnya, dan sebagian sampah tersebut tidak terkelola. Kondisi ini dapat menjadi semakin parah dengan masuknya sampah plastik dari luar negeri dan menjadi penghambat Indonesia dalam mencapai target bebas sampah plastik pada tahun 2030.
Mengingat dampaknya terhadap lingkungan dan sosial, diperlukan langkah-langkah komprehensif dan berkelanjutan untuk mengatasi masalah terkait impor sampah plastik di Indonesia. Pemerintah perlu memperkuat regulasi terkait impor sampah plastik dengan menetapkan batasan yang jelas serta memperkuat penegakan hukum terhadap berbagai bentuk pelanggaran. Di samping itu, investasi dalam pengembangan infrastruktur daur ulang yang lebih efisien dan teknologi pengelolaan limbah yang ramah lingkungan perlu diprioritaskan untuk meningkatkan kemampuan dalam pengelolaan limbah plastik secara mandiri.
Pemerintah juga perlu memperkuat kebijakan mengenai pemilahan sampah sejak dari rumah tangga, meningkatkan daur ulang domestik, dan mengembangkan bahan baku alternatif yang lebih ramah lingkungan untuk mendukung kebutuhan industri. Yang tidak kalah penting, kesadaran masyarakat tentang bahaya sampah plastik perlu ditingkatkan dan mendorong pengurangan penggunaan plastik sekali pakai melalui kampanye pendidikan dan insentif untuk praktik ramah lingkungan. Kolaborasi antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil sangat penting dalam upaya mencapai tujuan pengelolaan sampah plastik yang berkelanjutan dan menjaga kelestarian lingkungan serta kesejahteraan sosial di Indonesia.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.