Mewujudkan Komitmen Industri Ritel FMCG dalam Mengurangi Sampah Plastik

Foto oleh Nick Fewings di Unsplash.
Industri ritel FMCG menjadi salah satu sektor penyumbang sampah plastik terbesar di planet Bumi. Empat perusahaan pemasok ritel FMCG ternama di dunia–Coca-Cola, Mars, Nestle, dan Danone– bertanggung jawab atas 6 juta metrik ton sampah plastik setiap tahun, menurut angka yang diberikan perusahaan dalam laporan Ellen MacArthur Foundation.
Sampah ini berasal dari penggunaan kemasan produk-produk yang dijual ke konsumen akhir. Berdasarkan data Statista, pada 2018 sampah kemasan menyumbang 46 persen dari produksi sampah plastik global. Ironisnya, hanya 20 perusahaan yang bertanggung jawab atas produksi sampah plastik tersebut. Plastik sekali pakai, seperti botol, tas kresek, dan kemasan makanan, adalah jenis plastik yang paling sering dibuang.
Plastik sekali pakai dibuat dari bahan baku energi fosil dalam bentuk petrokimia. Sampah plastik sering kali menumpuk di tempat pembuangan sampah atau dibuang ke sungai dan laut, menyebabkan pencemaran lingkungan yang serius.
Bahaya Sampah Plastik
Sampah plastik yang tidak dikelola dengan baik dapat merusak lingkungan dan menimbulkan berbagai masalah sosial-ekonomi, antara lain mengubah habitat, mengurangi kemampuan ekosistem untuk beradaptasi dengan perubahan iklim, degradasi dan penurunan produktivitas lahan, dan merusak sumber mata pencaharian.
Penggunaan jangka panjang dan paparan plastik pada suhu tinggi dapat mencemari makanan, minuman, dan air akibat pelepasan zat kimia beracun. Membakar plastik secara sembarangan juga dapat menyebabkan pelepasan bahan kimia beracun yang berbahaya bagi kesehatan.
Pentingnya Komitmen Keberlanjutan Industri Ritel FMCG
Industri ritel FMCG perlu menetapkan target keberlanjutan secara lebih intensif mengingat sektor bisnis ini diperkirakan akan tumbuh di tahun-tahun mendatang seiring tumbuhnya populasi dunia. Saat ini, dunia bisnis telah memiliki apa yang disebut sebagai Greenhouse Gas Protocol atau GHG Protocol, yang menjadi ‘penuntun’ bagi industri dalam mengurangi emisi karbon mereka. Protokol ini terbagi ke dalam tiga scope (cakupan) yang digunakan untuk mengukur emisi dan telah menjadi konsensus bersama oleh perusahaan utama global:
- Scope 1 mengatur tentang emisi langsung dari sumber yang dimiliki atau dikendalikan oleh perusahaan, seperti pembakaran bahan bakar kendaraan armada perusahaan, pembakaran bahan bakar proses produksi, emisi metana dari tambang batu bara, dan produksi listrik dari pembakaran batu bara.
- Scope 2 mengatur tentang emisi yang dilepaskan ke atmosfer dari penggunaan energi perusahaan yang dibeli–disebut “emisi tidak langsung”.
- Scope 3 mengatur tentang pengukuran emisi tidak langsung lainnya yang terjadi di seluruh rantai pasok (supply chain) dan berada di luar kendali langsung perusahaan.
Tantangannya adalah sebagian besar emisi industri ritel pada umumnya termasuk dalam Scope 3, yaitu terjadi di seluruh rantai pasok perusahaan meliputi pengadaan dari pemasok hingga konsumsi produk oleh konsumen akhir. Untuk itu, penting bagi perusahaan di industri ritel FMCG untuk melakukan upaya dekarbonisasi dengan meningkatkan pendidikan dan advokasi kepada publik dan komunitas multi-stakeholder dalam rantai pasok mereka akan pentingnya “produksi dan konsumsi berkelanjutan”.
Beberapa Upaya yang Sudah Dilakukan
Beberapa perusahaan pemasok ritel FMCG mulai menetapkan komitmen dalam mengurangi emisi karbon mereka dengan pengelolaan limbah sampah plastik yang lebih bertanggung jawab. Coca-cola, Nestlé, Danone, Mars, Pepsi, dan Unilever termasuk di antara 250 lebih perusahaan yang telah menandatangani perjanjian untuk mengatasi polusi plastik melalui gerakan Break Free From Plastic (BFFP).
ALDI, jaringan supermarket terbesar Australia, berkomitmen untuk mengurangi 25% kemasan plastik di toko mereka. Pada tahun 2025, kemasan produk mereka akan 100% dapat didaur ulang, dapat digunakan kembali, atau dibuat kompos.
Pentingnya Akuntabilitas Perusahaan
Brand Audit Report 2021 mengungkap bahwa pengurangan sampah plastik pada level korporasi dapat dimulai dengan mempublikasikan data sampah plastik yang dihasilkan. Perusahaan juga dapat mengurangi produksi plastik dengan mengakhiri ketergantungan pada kemasan sekali pakai dan mendesain ulang setiap kemasan dan proses distribusi produk dengan lebih memperhatikan aspek keberlanjutan.
Untuk mendorong hal itu, pemerintah perlu membuat dan menerapkan peraturan yang jelas untuk pengurangan sampah plastik. Sebagai contoh, pemerintah Australia mengeluarkan National Plastics Plan yang mencakup pengaturan legislasi, investasi, penetapan target industri, upaya penelitian dan pengembangan, serta pendidikan masyarakat.
Sampah plastik adalah masalah jahat (wicked problem) yang penanganannya membutuhkan komitmen dan kolaborasi seluruh pemangku kepentingan di kapasitas masing-masing. Industri dan sektor bisnis mesti menunjukkan tanggung jawab perusahaan, sedangkan pemerintah dan masyarakat sipil mesti mengawal dengan regulasi yang jelas dan gerakan sosial yang berkelanjutan untuk memastikan akuntabilitas.
Editor: Abul Muamar dan Marlis Afridah
Jika Anda melihat artikel ini bermanfaat, berlangganan Newsletter Mingguan kami untuk mengikuti kabar dan cerita seputar pembangunan berkelanjutan dari komunitas multistakeholder di Indonesia dan dunia.
Maulina adalah Reporter & Peneliti untuk Green Network Asia - Indonesia. Dia meliput Indonesia bagian barat, tengah, dan timur.