Penghapusan Rafaksi dan Dampaknya terhadap Tata Kelola Beras

Foto: Rahmad Himawan di Pexels.
Manusia membutuhkan akses terhadap pangan yang cukup, terjangkau, dan berkualitas untuk menjalani kehidupan yang lebih layak. Di Indonesia, beras menjadi salah satu komoditas utama yang perannya tidak hanya penting dalam konsumsi rumah tangga, tetapi juga dalam menjaga stabilitas sosial dan ekonomi. Pada periode tertentu, Indonesia bisa mencatat surplus produksi beras yang cukup besar; namun pada saat yang sama, harga beras di tingkat konsumen tetap tinggi dan inflasi komponen pangan meningkat. Laporan terbaru INDEF mencoba menjelaskan mengapa kondisi ini terjadi, dengan menyoroti kebijakan penghapusan rafaksi beras dan dampaknya terhadap petani, mutu beras, serta konsumen.
Paradoks Surplus Beras
Pada semester pertama 2025, Indonesia mengalami surplus beras sebesar 3,33 juta ton, lebih dari dua kali lipat dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Namun, harga beras medium di pasar tetap tinggi, yaitu sekitar Rp14.172 per kilogram pada pertengahan 2025, jauh melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) sebesar Rp9.950 per kilogram. Kenaikan ini turut mendorong inflasi komponen pangan bergejolak (volatile food) menjadi 3,82 persen.
Di hulu, harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani hanya sekitar Rp.6.757 per kilogram, jauh lebih rendah dibandingkan harga di tingkat penggilingan yang mencapai Rp.12.932 per kilogram. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa nilai tambah dalam rantai pasok tidak terdistribusi secara merata yang mengakibatkan petani memperoleh margin paling kecil dan konsumen harus menanggung lonjakan harga. Atas kondisi tersebut, pemerintah kemudian menetapkan kebijakan penghapusan rafaksi beras dengan tujuan menyerap lebih banyak gabah dari petani. Rafaksi merupakan pemotongan harga berdasarkan mutu suatu barang.
Dengan dihapuskannya rafaksi beras, gabah dengan kualitas apa pun tetap dibeli, sehingga diharapkan tidak ada lagi hasil panen petani yang ditolak karena tidak memenuhi standar tertentu. Namun, kebijakan ini juga menimbulkan kekhawatiran akan penurunan kualitas gabah yang diserap serta meningkatnya beban logistik dalam pengelolaan cadangan beras.
Dampak Penghapusan Rafaksi Beras
Laporan yang diterbitkan INDEF menunjukkan bagaimana kebijakan tersebut menimbulkan sejumlah konsekuensi pada kesejahteraan petani, kualitas dan efisiensi stok Bulog, serta efektivitas intervensi pasar dalam menjaga stabilitas harga beras.
Dari sisi petani, penghapusan rafaksi memberikan kepastian harga bagi gabah hasil panen tanpa pembedaan berdasarkan mutu, meningkatkan posisi tawar petani kecil, dan mendorong stabilisasi harga gabah di musim panen. Namun dalam jangka panjang, tidak adanya insentif berbasis mutu dapat menurunkan motivasi petani untuk menjaga kualitas gabah. Kondisi ini berpotensi menurunkan kualitas gabah ke depannya, dan dalam jangka panjang dapat berbalik merugikan petani ketika Bulog mengalami kesulitan dalam menyalurkan beras bermutu rendah.
Dari sisi pemerintah, serapan gabah dalam jumlah besar dapat memperkuat kuantitas cadangan beras. Namun, tidak diseleksinya kualitas beras dalam proses pembelian menciptakan tantangan baru dalam distribusi stok. Bulog juga menghadapi risiko penurunan mutu selama penyimpanan, meningkatnya biaya logistik, dan keterbatasan ruang simpan. Laporan ini menyebut bahwa dari hampir 4 juta ton stok beras Bulog, hanya sebagian kecil yang berhasil didistribusikan ke pasar dan program sosial. Ketimpangan antara volume serapan dan realisasi distribusi menandakan inefisiensi dalam intervensi pasar.
Laporan INDEF juga menunjukkan bahwa cadangan beras yang besar belum dapat menekan harga di tingkat konsumen. Harga beras medium masih tetap tinggi di pasaran, mencapai Rp.14.172 per kilogram, meningkat 4,2 persen secara tahunan. Pada saat yang sama, inflasi komponen bergejolak (volatile food) meningkat ke 3,82 persen, menjadi pendorong utama inflasi secara keseluruhan. Pada Maret 2025, BPS mencatat bahwa lonjakan harga beras berkontribusi langsung terhadap garis kemiskinan di perkotaan, mencapai 21,06 persen, yang berarti kenaikan signifikan harga beras akan membuat kelompok miskin makin terdorong ke bawah garis kemiskinan karena kemampuan konsumsinya anjlok.
Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan temuan-temuan tersebut, INDEF menawarkan sejumlah rekomendasi untuk menjembatani kebutuhan akan perlindungan ekonomi terhadap petani dengan keberlanjutan pengelolaan cadangan beras nasional yang efektif dan efisien:
- Memberlakukan rafaksi terbatas dalam situasi tertentu. Misalnya, untuk musim panen raya atau di wilayah produksi yang mengalami surplus, Bulog dapat menerapkan rafaksi ringan dengan pendekatan harga bertingkat guna memberikan insentif bagi petani yang memproduksi gabah kualitas tinggi, sehingga disiplin mutu di lapangan tidak turun.
- Memperkuat investasi pascapanen di tingkat petani dan penggilingan, termasuk penyediaan alat pengering gabah, perontok modern, peningkatan kapasitas penggilingan padi skala kecil, dan kemitraan antara Bulog dengan penggilingan lokal.
- Penerapan standar kualitas gabah yang lebih fleksibel dan situasional berdasarkan musim dan wilayah. Dalam musim hujan atau di daerah dengan infrastruktur pengeringan minim, toleransi kadar air dapat dinaikkan, sementara wilayah dengan kondisi cuaca baik tetap diwajibkan memenuhi standar nasional.
- Penerapan skema penyerapan bersyarat, dengan Bulog tetap membeli gabah di bawah standar mutu pada harga yang berlaku, tetapi disertai pembinaan mutu. Gabah dengan kadar air tinggi, misalnya, hanya dibeli jika petani atau penggilingan bersedia melakukan pengeringan atau pencampuran tertentu.
Menuju Pengelolaan Pangan yang Adil dan Efektif
Kebijakan pengadaan dan distribusi beras dan berbagai bahan pangan pokok lainnya mesti memperhatikan harga yang sesuai di tingkat petani sekaligus memelihara kualitas dan keterjangkauan pangan bagi konsumen. Tantangan terkait bahan pangan bukan hanya soal ketersediaan, melainkan juga pada efektivitas distribusi dan keberlanjutan insentif mutu. Peningkatan koordinasi antarlembaga pemerintah dan peran aktif kelembagaan lokal perlu terus dilakukan guna menjamin pengelolaan pangan nasional yang adil dan efektif. Pada akhirnya, ini semua harus terintegrasi dengan–dan bermuara pada–upaya mewujudkan pertanian yang berkelanjutan serta pemenuhan nutrisi yang layak untuk semua.
Editor: Abul Muamar

Ata adalah Intern Researcher dan Reporter di Green Network Asia. Ia adalah alumnus Ilmu Pemerintahan dari Universitas Hasanuddin. Ia memiliki ketertarikan pada bidang penelitian, jurnalisme, serta isu seputar pemberdayaan dan ekonomi politik.