Perlu Lebih dari Sekadar Kebijakan untuk Mengarusutamakan Cuti Haid
Pekerja perempuan memiliki tantangan yang lebih berat terkait sistem reproduksinya. Setiap bulan, perempuan yang sedang menjalani siklus menstruasi akan merasakan sakit yang melemahkan. Jika dipaksakan bekerja, kondisi ini akan berdampak pada kesehatan reproduksi perempuan dan juga terhadap perusahaan. Saat ini, kesadaran mengenai pentingnya menyediakan cuti haid bagi pekerja perempuan semakin meningkat. Lantas, bagaimana perkembangannya dan bagaimana hal ini menjadi kontroversi?
Perihal Cuti Haid
Perempuan yang menjalani siklus haid akan mengalami nyeri dengan tingkat dan durasi yang berbeda-beda. Beberapa perempuan mungkin merasakan gejala ringan berupa mual dan kram yang berlangsung selama beberapa hari. Namun, banyak perempuan yang mengalami kram yang intens dan melemahkan hingga menyebabkan muntah-muntah dan pingsan. Gejalanya bahkan bisa dimulai sejak seminggu sebelumnya. Selain itu, kondisi kesehatan juga menentukan seberapa parah nyeri yang akan ditanggung perempuan yang sedang haid.
Nyeri haid dapat menyebabkan ketidaknyamanan dan mempengaruhi kehidupan sehari-hari perempuan, termasuk di tempat kerja. Oleh karena itu, kebijakan cuti haid sangat penting untuk mengakomodir kebutuhan pekerja perempuan untuk beristirahat selama beberapa hari saat haid. Hal ini umumnya merupakan bagian dari tanggung jawab perusahaan atau pemberi kerja dalam mendukung kesehatan dan hak-hak perempuan di tempat kerja.
Implementasi Cuti Haid di Berbagai Belahan Dunia
Dilansir NDTV, banyak negara Asia yang telah menerapkan kebijakan ini meskipun tingkat penerapannya berbeda-beda. Jepang, misalnya, menetapkan undang-undang yang menyatakan bahwa perusahaan harus setuju untuk memberikan cuti haid tidak berbayar bagi perempuan selama mereka membutuhkannya. Survei Kementerian Tenaga Kerja Jepang pada tahun 2020 mengungkapkan bahwa hanya sekitar 30% perusahaan yang menawarkan gaji penuh atau sebagian.
Sementara itu, perempuan di Korea Selatan berhak mendapat satu hari libur tak berbayar setiap bulannya untuk cuti haid. Di Taiwan, pembayaran sebagian ditawarkan untuk cuti haid selama tiga hari berdasarkan Undang-Undang Kesetaraan Gender dalam Ketenagakerjaan di negara itu.
Sementara itu, di Indonesia, sejak tahun 2003 terdapat peraturan yang memberikan perempuan hak cuti haid berbayar selama dua hari per bulan tanpa pemberitahuan sebelumnya. Undang-undang serupa juga disahkan di Zambia pada tahun 2015. Pekerja perempuan di Zambia dapat menelepon untuk mendapatkan ‘Hari Ibu’, yakni hari libur untuk cuti haid tanpa pengaturan sebelumnya.
Di belahan dunia lain, Spanyol mengadopsi undang-undang mengenai cuti haid berbayar pada Februari 2023, dan menjadi negara Eropa pertama yang menerapkannya. Berdasarkan UU tersebut, pekerja berhak mengambil cuti haid berbayar selama tiga hari untuk nyeri haid dengan surat keterangan dokter.
Selain peraturan nasional, kebijakan cuti haid juga ada di tingkat provinsi dan kota. Di negara-negara yang tidak memiliki undang-undang cuti haid, sektor swasta mengambil alih tanggung jawab tersebut. Beberapa perusahaan memiliki kebijakan cuti haid sendiri sebagai bagian dari kerangka kerja mereka.
Kontroversi
Penerapan kebijakan cuti haid sepintas merupakan solusi yang tepat untuk menyeimbangkan produktivitas dan kesehatan. Namun kenyataannya, kebijakan tersebut menimbulkan perdebatan dan reaksi beragam, terutama dari pekerja perempuan.
Salah satu isu yang mencuat adalah mengenai stigma dan masalah privasi. Mengambil cuti haid berarti memberi tahu orang-orang kalau Anda sedang haid. Meskipun haid merupakan siklus alami dalam tubuh, banyak budaya yang masih menganggap topik tersebut tabu.
“Haid bukan hal yang ingin Anda sampaikan kepada rekan kerja laki-laki, dan ini bisa mengarah pada pelecehan seksual,” kata seorang pekerja perempuan berusia 30-an di Jepang kepada Guardian. Kekhawatiran akan dianggap sebagai beban dan memanfaatkan ‘hak istimewa perempuan’ juga dialami oleh sebagian besar pekerja perempuan.
Sementara itu, perusahaan yang memiliki kebijakan cuti haid jarang sekali mendorong pekerjanya untuk memanfaatkannya. Menurut Guardian, beberapa pekerja perempuan di Jepang mengaku tidak mengetahui adanya kebijakan tersebut, sementara sebagian lainnya tidak pernah terpikir untuk mengambilnya. Salah seorang dari mereka mengatakan, “Hal itu disebutkan dalam dokumen kebijakan perusahaan yang saya terima ketika saya mulai bekerja di sana, namun saya tidak membacanya secara menyeluruh.”
Permasalahan lainnya adalah budaya patriarki yang sangat kapitalistik di tempat kerja saat ini. Dalam laporan mengenai kesehatan perempuan di tempat kerja, Deloitte menemukan bahwa budaya kerja di perusahaan menjadi salah satu tantangan bagi pekerja perempuan untuk mendiskusikan topik seputar menstruasi secara terbuka.
Dalam komentarnya di Global Times, Yang Lan, seorang perempuan dari Shanghai, menekankan bahwa banyak karyawan di China yang dibayar, dievaluasi, dan dipromosikan berdasarkan berapa jam mereka bekerja. Dia mengatakan bahwa perempuan yang meminta cuti haid bisa terkena sanksi finansial dan profesional jika hukum tidak ditegakkan sepenuhnya.
“Ya, kebijakan soal nyeri haid yang dipublikasikan secara luas di Anhui adalah sebuah langkah baik menuju kesetaraan gender… Namun faktanya yang ‘berdarah’ adalah bahwa menerima cuti berbayar setiap kali seorang perempuan mengalami kram pada akhirnya akan lebih merugikan alih-alih menguntungkan kita sebagai perempuan, karena hal itu melemahkan kita dalam hal apa pun di tempat kerja,” tulisnya.
Perlu Lebih dari Sekadar Kebijakan
Mengadopsi undang-undang cuti haid merupakan langkah yang responsif gender untuk mewujudkan pekerjaan yang layak untuk semua. Namun, kebijakan saja tidak cukup. Paling tidak, penting untuk meningkatkan kesadaran di kalangan pekerja bahwa undang-undang tersebut ada sebagai pilihan bagi mereka yang membutuhkannya. Memiliki garis besar yang jelas—termasuk parameter dan hukuman—juga penting untuk penegakan hukum yang kuat dan luas.
Selain itu, pergeseran budaya juga perlu didorong. Dalam hal ini, penting untuk menghilangkan ‘malu’ atau ‘tabu’ di masyarakat terkait siklus menstruasi meskipun ini merupakan hal yang bersifat pribadi. Diskusi mengenai menstruasi yang dibingkai dengan cara yang menormalkan atau menetralisir dapat menghilangkan stigma terhadap perbincangan di sekitarnya, termasuk topik cuti haid.
Setiap budaya memiliki titik tolak tersendiri dalam pembahasan cuti haid. Namun secara umum, benang merah dalam konteks ini adalah bahwa menstruasi telah digunakan untuk melanggengkan seksisme di tempat kerja melalui objektifikasi dan esensialisme gender. Ke depan, pembahasan mengenai cuti haid harus lebih dari sekadar kebijakan, melainkan harus melibatkan suara perempuan dari seluruh lapisan masyarakat, bersifat interseksional, dan menantang budaya heteropatriarkal, ableis, dan sangat kapitalistik di tempat kerja.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.