Dampak Stereotip Gender terhadap Masa Depan Anak

Foto: Freepik.
Impian anak-anak idealnya tumbuh dari minat mereka sendiri, bukan dari batasan yang ditentukan oleh norma gender tradisional. Sayangnya, di berbagai belahan dunia, stereotip gender terus mempengaruhi cara anak-anak melihat diri sendiri serta hal apa saja yang dapat mereka capai. Akibatnya, anak-anak merasa terbatas dalam mengeksplorasi minat dan pilihan karier mereka di masa depan.
Memahami Stereotip Gender pada Anak-anak
Stereotip gender adalah pandangan yang terlalu disederhanakan tentang peran dan sifat laki-laki maupun perempuan. Pandangan ini dapat membatasi kebebasan seseorang untuk mengejar tujuan dan mengembangkan potensi secara maksimal. Bagi anak-anak, stereotip semacam ini mempengaruhi cara mereka melihat kemampuan diri, yang pada akhirnya mempersempit impian mereka di masa depan.
Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak mulai mengenali peran gender sejak usia dua hingga tiga tahun. Bahkan, saat menginjak usia empat atau lima tahun, banyak dari mereka sudah memiliki pandangan yang kuat tentang apa yang dianggap “sesuai” untuk jenis kelamin mereka. Misalnya, anak laki-laki diajarkan untuk menjadi berani dan suka bertualang, sedangkan anak perempuan diajarkan untuk lebih memperhatikan penampilan dan mengutamakan peran sebagai pengasuh.
Stereotip gender pada masa kanak-kanak kerap terbentuk dari norma sosial, tradisi budaya, dan pengaruh media. Contohnya, banyak perusahaan mainan yang masih membedakan produk berdasarkan jenis kelamin. Anak laki-laki didorong untuk bermain dengan mainan aksi sementara anak perempuan dengan mainan bertema pengasuhan atau kecantikan.
Di sekolah, para guru tanpa sadar juga memperlakukan anak laki-laki dan perempuan secara berbeda. Anak laki-laki cenderung dipuji karena sikap tegas sementara anak perempuan diharapkan untuk bersifat patuh. Pola ini diperkuat di rumah, ketika orang tua membimbing aktivitas anak berdasarkan norma gender tradisional, tanpa menyadari bahwa hal tersebut dapat berdampak jangka panjang pada perkembangan diri anak-anak mereka.
Pembatasan terhadap Aspirasi Anak
Stereotip gender memiliki pengaruh besar terhadap pilihan karier dan minat anak. Misalnya, pada bidang STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika), anak perempuan masih kurang terwakili karena adanya anggapan bahwa bidang tersebut lebih cocok untuk laki-laki. Menurut UNESCO, mayoritas lulusan perempuan pada bidang STEM hanya 9 dari 122 negara, meskipun beberapa negara Arab menunjukkan representasi yang cukup signifikan.
Demikian pula, anak laki-laki sering kali tidak didorong untuk melakukan peran-peran pengasuhan atau bidang yang dianggap “feminin”. Misalnya, perawat secara tradisional diasosiasikan dengan pekerjaan perempuan. Tidak mengherankan apabila representasi laki-laki dalam profesi keperawatan sangat rendah, semisal hanya sekitar 8,5% di Selandia Baru, dan tak sampai 11% di Amerika Serikat, Australia, dan Chili.
Mengakhiri Siklus Stereotip Gender
Untuk mengakhiri siklus stereotip gender, para orang tua, guru, pembuat kebijakan, dan media memiliki tanggung jawab bersama dalam menciptakan lingkungan yang menyuarakan kesetaraan gender.
Orang tua dapat mendorong anak untuk mengeksplorasi berbagai minat tanpa terikat pada stereotip gender, termasuk dalam menyediakan mainan dan materi belajar. Di sisi lain, guru dan sekolah dapat membantu dengan menggunakan bahasa yang netral gender, memastikan semua siswa memiliki kesempatan yang setara untuk berpartisipasi, serta memberikan contoh panutan dari latar belakang yang beragam, seperti ilmuwan perempuan atau pengasuh laki-laki.
Selain itu, perubahan sistemik yang lebih luas membutuhkan kebijakan yang jelas. Fawcett Society, sebuah organisasi yang memperjuangkan kesetaraan gender, menekankan pentingnya pelatihan, sumber daya, dan pendanaan bagi pendidik anak usia dini untuk mendukung praktik pengajaran yang inklusif gender sejak dini. Di sektor komersial, kampanye Let Toys Be Toys mendorong produsen dan penerbit untuk menghentikan pemasaran produk berdasarkan gender untuk membantu menghapus stereotip.
Dan yang terpenting adalah setiap orang perlu merefleksikan dan menantang bias bawah sadar sendiri, karena perubahan yang langgeng berawal dari tindakan sehari-hari kita di dalam masyarakat yang mendorong inklusi dan kesetaraan bagi semua anak serta masa depan mereka.
Penerjemah: Kesya Arla
Editor: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia

Terima kasih telah membaca!
Berlangganan Green Network Asia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua kabar dan cerita yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan keberlanjutan (sustainability) di Indonesia dan dunia. Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional dengan pembaruan seputar kebijakan publik & regulasi, ringkasan hasil temuan riset & laporan yang mudah dipahami, dan cerita dampak dari berbagai organisasi di pemerintahan, bisnis, dan masyarakat sipil.