Langkah Indonesia Menuju Ekonomi Hijau dan Inklusif

Sumber: Asian Development Bank
Sebagaimana dunia terus menumbuhkan kesadaran akan perubahan iklim beserta dampaknya, perubahan menuju ekonomi hijau juga terus bergulir di berbagai belahan dunia. Mulai dari sektor energi di India, Rencana Hijau Singapura, Olimpiade Tokyo, hingga industri kecantikan, semuanya menampilkan wajah baru sejalan dengan tren keberlanjutan yang juga menjadi kebutuhan dewasa ini.
Ekonomi hijau adalah sistem ekonomi yang menghubungkan alam, masyarakat, dan perekonomi secara erat. Secara teori, konsep ini tidak asing di Indonesia, karena kemiripannya dengan konsep ekonomi dalam Pancasila, yang menjadi ideologi bangsa.
Perubahan menuju ekonomi yang lebih hijau dan inklusif tidak hanya dihadirkan untuk mencegah bencana lingkungan yang dahsyat, tetapi juga untuk menawarkan peluang investasi yang penting dan membuka kemungkinan lapangan kerja baru. Sebuah laporan mengenai Peningkatan Risiko Alam atau Nature Risk Rising oleh World Economic Forum dan PwC menyatakan bahwa sebuah transisi ekonomi yang masif dan sistemik dapat membuka peluang potensi bisnis senilai US$10,19 milyar (setara Rp155 triliun) dan mempekerjakan 395 juta orang pada 2030.
Akan tetapi, laporan yang sama juga mengungkapkan bahwa sektor-sektor utama dan ekstraktif masih mendominasi ekspor Indonesia. Indonesia, sebanding dengan India, menghasilkan sepertiga produk domestik bruto dari industri yang sangat bergantung pada alam.
Lebih jauh lagi, perekonomian Indonesia juga masih bergantung pada sektor ekstraktif. Sebuah laporan studi dari Maret 2021 oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) dan Greenpeace menunjukkan inkonsistensi dalam jajaran pemerintah yang bisa jadi menjadi akar kendala negara ini. Membenturkan kebijakan dengan undang-undang adalah salah satu buktinya, ditambah dengan penerapan yang berubah-ubah.
Sebagai contoh, Indonesia mengalokasikan 8% stimulus pemulihan COVID-19 untuk inisiatif-inisiatif hijau. Namun, pemerintah masih memberikan jumlah subsidi yang signifikan untuk BUMN pada sektor ekstraktif yang menjadi penghasil emisi karbon dalam jumlah masif, seperti PLN dan PT. Pertamina.
Perubahan yang sukses menuju ekonomi hijau dan inklusif masih sangat memungkinkan. Di bawah ini adalah aksi-aksi yang dianjurkan dalam laporan INDEF dan Greenpeace:
- Dalam upaya menarik investasi global, pemerintah musti mengubah arah fokus dari kuantitas ke kualitas. Investor global skala masif biasanya menaruh perhatian pada badan usaha dan bisnis dengan aspek dan konsentrasi terhadap ESG (Environmental, Social, and Governance — Lingkungan, Sosial, dan Pemerintahan), meninggalkan model ekonomi neo-klasik. Indonesia perlu mengubah peraturan-peraturan yang bersifat eksploitatif.
- Pemerintah harus berhenti memberikan insentif pada sektor-sektor eksploitatif dan ekstraktif. Meningkatkan insentif untuk sektor hijau saja tidaklah cukup untuk transformasi menuju energi terbarukan agar dapat berjalan tepat waktu.
- Produk ekspor Indonesia harus diubah dari komoditas primer menjadi komoditas dengan nilai tambah. Komoditas bernilai tambah akan memungkinkan pelaksanaan konservasi alam yang lebih baik dengan keuntungan jangka panjang yang lebih tinggi.
- Pemerintah harus konsisten dalam membuat kebijakan dan perundangan. Saat ini, terdapat kebijakan kontradiktif seperti yang tertuju untuk energi bersih, mineral, dan batu bara. Biaya lingkungan dan sosial mestinya dipertimbangkan dalam pembuatan keputusan.
- Prioritas harus diberikan pada pemilik usaha mikro, menengah, dan makro, serta masyarakat adat. Pemerintah harus mengutamakan kelompok-kelompok itu agar dapat menciptakan perubahan nyata pada ekonomi hijau dan inklusif.
Editor: Marlis Afridah
Penerjemah: Inez Kriya
Untuk membaca versi asli tulisan ini dalam bahasa Inggris, klik di sini.
Jika Anda melihat artikel ini bermanfaat, berlangganan Newsletter Mingguan Green Network Asia untuk mengikuti kabar dan cerita seputar pembangunan berkelanjutan dari komunitas multistakeholder di Indonesia dan dunia.
Naz adalah Manajer Editorial di Green Network Asia.