Menghentikan Eksploitasi Perdagangan Sirip Hiu

Foto: Alex Rose di Unsplash.
Hiu merupakan hewan penting bagi keseimbangan ekosistem laut. Sayangnya, mereka termasuk kelompok vertebrata yang paling terancam kedua di dunia. Hal ini terutama disebabkan oleh perburuan sirip hiu untuk dijadikan sup—makanan yang melambangkan kemewahan. Atas kondisi tersebut, para konservasionis di seluruh dunia saat ini tengah berusaha menghentikan perdagangan sirip hiu yang eksploitatif dan tidak berkelanjutan.
Perdagangan Sirip Hiu
Bagi banyak masyarakat Asia, sirip hiu dianggap sebagai makanan lezat. Mirisnya, para pemburu sirip hiu sering kali hanya memotong bagian siripnya, dan membiarkan hiu yang masih hidup kembali ke laut. Meski telah banyak ditentang karena alasan ekologis dan etis, tindakan ini tetap saja berlangsung hingga kini.
Perdagangan sirip hiu adalah industri yang mahal. Harga satu kilogram sirip hiu bisa mencapai $1.000 (sekitar Rp14,7 juta) di Asia Timur, setara dengan sekitar $500 juta per tahun. Diperkirakan, 73 juta hiu dalam satu tahun dipotong siripnya untuk memenuhi permintaan pasar. Jumlah yang sebenarnya kemungkinan besar lebih tinggi, karena sebagian besar industri sirip hiu beroperasi secara ilegal.
Studi menemukan bahwa 37% hiu, pari, dan chimera saat ini terancam punah karena penangkapan berlebihan dan perdagangan yang tidak diatur. Menurut Daftar Merah International Union for Conservation of Nature (IUCN), hampir 70% familia hiu requiem terancam punah. Diego Jiménez, direktur kebijakan konservasi di SeaLegacy, mengatakan, “Hiu requiem adalah spesies yang paling banyak diperdagangkan, namun paling tidak dilindungi.”
Aturan Baru
Pada November 2022, Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Flora dan Fauna Liar yang Terancam Punah (CITES) memutuskan untuk membatasi atau mengatur perdagangan komersial hiu requiem, hiu martil, dan pari ikan gitar. Ini menambah 97 spesies ke dalam daftar yang diatur, menempatkan hampir semua spesies dalam perdagangan sirip hiu di bawah pengawasan CITES.
Panama, negara tuan rumah Conference of the Parties (CoP) ke-19 CITES, mengajukan proposal ini. Jepang dan Peru meminta agar beberapa spesies dikeluarkan dari daftar, tetapi proposal awal tetap tidak berubah. Aturan baru ini mengharuskan negara-negara untuk memastikan legalitas dan keberlanjutan – dengan izin atau sertifikat CITES yang benar – sebelum mengesahkan setiap ekspor sirip hiu.
Hal yang Meragukan
Beberapa ahli biologi kelautan skeptis terhadap perkembangan ini. Mereka mewanti-wanti bahwa hal itu dapat meningkatkan harga dalam perdagangan sirip hiu ilegal yang tersembunyi. Misalnya, penelitian oleh Oceana Peru menunjukkan bahwa impor sirip hiu dari Ekuador ke Peru pada tahun 2021 meningkat dua kali lipat dari jumlah sebelum pandemi, dengan lebih dari setengahnya merupakan spesies yang terdaftar di CITES.
Sementara itu, beberapa negara dan kawasan lebih memilih larangan total. Uni Eropa melarang perburuan sirip hiu sejak tahun 2003, meskipun efektivitasnya masih dipertanyakan. Pada Desember 2022, AS mengeluarkan undang-undang yang melarang perdagangan sirip hiu sepenuhnya, melarang siapa pun untuk memiliki, membeli, menjual, atau mengangkut sirip hiu atau produk apa pun yang mengandung sirip hiu, kecuali sirip spesies dogfish tertentu.
Persoalan belum berakhir di sini. Namun secara keseluruhan, disepakati bahwa kita harus menghentikan praktik buruk dalam perdagangan sirip hiu. Kesepakatan ini mengharuskan konsumen, nelayan, bisnis, dan pemerintah untuk bekerja sama dan melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistem laut kita.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli dari artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Jika Anda melihat artikel ini bermanfaat, berlangganan Newsletter Mingguan Green Network Asia untuk mengikuti kabar dan cerita seputar pembangunan berkelanjutan dari komunitas multistakeholder di Indonesia dan dunia.
Naz adalah Manajer Editorial di Green Network Asia.