Mengulik KDRT dan Kekerasan dalam Hubungan Intim dengan Korban Laki-laki

Foto: Andrik Langfield di Unsplash.
Kekerasan dalam rumah tangga masih menjadi masalah yang sering terjadi di tengah masyarakat. Perempuan dan anak-anak sering menjadi korban dan sangat rentan terhadap perilaku kasar karena ketidakseimbangan kekuatan struktural dan sosial akibat ketimpangan gender. Namun, laki-laki juga tidak kebal terhadap kekerasan. Bukti menunjukkan bahwa laki-laki korban kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan dalam hubungan intim sering menemui hambatan yang menghalangi mereka mencari bantuan.
KDRT dan Kekerasan dalam Hubungan Intim
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) mengacu pada kekerasan fisik, seksual, psikologis, atau ekonomi yang dilakukan pelaku untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan dan kendali atas anggota rumah tangga, termasuk pasangan dan anak-anak. Sementara itu, kekerasan dalam hubungan intim (intimate partner violence/IPV) adalah kekerasan yang terjadi antara pasangan intim, termasuk dalam pernikahan dan hubungan pacaran.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa perempuan menanggung beban kekerasan dalam hubungan intim yang sangat besar di seluruh dunia, dengan laki-laki sering menjadi pelakunya. Namun, KDRT dan kekerasan dalam hubungan intim dapat terjadi pada siapa saja tanpa memandang jenis kelamin, usia, dan status. Laki-laki yang menjadi korban kekerasan sering mengalami tantangan karena norma-norma masyarakat yang berakar pada patriarki dan kurangnya akses layanan bantuan.
Kerap Terabaikan
Sebuah studi mengungkap bahwa satu dari tujuh laki-laki mengalami KDRT selama hidup mereka. Namun, laki-laki yang menjadi korban KDRT dan kekerasan dalam hubungan intim cenderung terabaikan dalam wacana publik. Studi lain menggarisbawahi bahwa pria lebih sering mengalami kekerasan psikologis ketimbang kekerasan fisik, seperti tekanan emosional, pengucilan sosial, dan bahkan kekerasan finansial oleh pasangannya.
Di Asia, norma gender yang kaku dan tabu budaya memperumit situasi. Misalnya, norma gender tradisional di Indonesia mengharuskan laki-laki agar kuat dan secara umum mampu menahan luka. Faktor ini adalah alasan utama kurangnya laporan mengenai kekerasan terhadap korban laki-laki. Sebuah survei oleh Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) menyatakan bahwa hanya 6,6% laki-laki yang melaporkan KDRT yang mereka alami, namun para ahli memperkirakan bahwa jumlah sebenarnya jauh lebih tinggi.
Demikian pula, sebuah studi pada tahun 2024 oleh Jichi Medical University mengungkapkan bahwa “hanya” sekitar 12% laki-laki di Asia yang melaporkan KDRT dan kekerasan dalam hubungan intim yang mereka alami. Di Jepang, persentase korban KDRT laki-laki mencapai 26,9% pada tahun 2022, namun hanya 2,9% yang mencari bantuan karena malu atau takut diejek.
Kurangnya data di tingkat regional semakin menegaskan masalah ini. Laporan nasional di negara-negara seperti India dan Malaysia sering kali mengecualikan korban laki-laki. Kurangnya pelaporan ini memperkuat gagasan sesat bahwa laki-laki tidak dapat menjadi korban dan menghalangi korban untuk mendapatkan akses layanan kesehatan, bantuan hukum, dan konseling.
Tantangan dan Langkah yang Diperlukan
Korban KDRT dan kekerasan dalam hubungan intim dapat mengalami dampak jangka panjang berupa trauma fisik dan psikologis. Hal ini dapat menyebabkan masalah kesehatan mental yang serius seperti PTSD, depresi, dan kecemasan. Secara khusus, korban laki-laki mungkin merasa direndahkan dan bingung untuk memahami pengalaman mereka, yang mungkin bertolak belakang dari anggapan masyarakat tradisional yang bercorak maskulin.
Bagaimanapun, setiap orang berhak untuk hidup bebas dari kekerasan dan paksaan. Mendukung korban laki-laki dari pelecehan memerlukan peningkatan kesadaran publik untuk menghilangkan stigma, membangun layanan dukungan dan profesional yang relevan, aman, dan dapat diakses, serta meningkatkan pengumpulan data dan informasi untuk mendorong intervensi yang efektif.
Editor: Nazalea Kusuma & Kresentia Madina
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia

Konten Publik GNA berupaya menginspirasi perubahan sosial skala besar dengan menyediakan pendidikan dan advokasi keberlanjutan yang dapat diakses oleh semua orang tanpa biaya. Jika Anda melihat Konten Publik kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan GNA Indonesia. Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional sekaligus mendukung keberlanjutan finansial GNA untuk terus memproduksi konten-konten yang tersedia untuk umum ini.