Penelitian Waste4Change Ungkap Pentingnya Pengelolaan Sampah Plastik Fleksibel

Foto oleh Antoine GIRET di Unsplash
Hampir semua produk yang kita pakai hari ini dikemas dengan plastik. Kemasan plastik banyak digunakan karena memberi banyak kemudahan, seperti penyimpanan, mencegah kontaminasi, hingga memudahkan untuk melampirkan informasi yang diperlukan.
Seiring waktu, komposisi kemasan plastik semakin kompleks. Produsen mulai memakai berbagai lapisan untuk membuat kemasan yang lebih baik dengan menambahkan beberapa material lain seperti polimer, aditif, dan perekat.
Hasil inovasi dan penggabungan beberapa material tersebut salah satunya adalah kemasan plastik fleksibel, seperti yang biasa dipakai untuk mengemas makanan ringan, sabun, bumbu dapur, minuman, dan lain-lain. Namun, seperti plastik pada umumnya, kemasan plastik fleksibel juga menyebabkan berbagai dampak lingkungan yang serius karena materialnya sulit terurai secara alami.
Tingginya Persentase Sampah Plastik Kemasan
Data persampahan domestik Indonesia mengungkap bahwa sampah plastik menduduki peringkat kedua yakni sebesar 5,4 juta ton per tahun atau 14% dari total produksi sampah, dengan sumbangsih terbesar berasal dari kemasan plastik. Di DKI Jakarta, dari 165 ton sampah yang dikumpulkan dari sungai, 25% di antaranya merupakan plastik. Hal ini terjadi karena Jakarta belum memiliki sistem pengumpulan sampah plastik yang memadai, target daur ulang yang sesuai, dan regulasi yang ketat untuk mengurangi konsumsi plastik. Sampah plastik fleksibel mendominasi sebesar 76% dari sampah plastik yang bocor ke lingkungan Indonesia.
Berangkat dari data tersebut, Waste4Change melakukan penelitian mengenai alur pengelolaan sampah plastik fleksibel di DKI Jakarta pada Maret-Juni 2021.
244,72 Ton Menumpuk di Landfill
Hasil penelitian dengan metode sampling yang dilakukan di 10 TPS di DKI Jakarta menunjukkan sampah plastik fleksibel menyumbang sekitar 3,31% dari total sampah yang masuk ke TPS setiap harinya. Dari persentase ini, total timbulan sampah plastik fleksibel dari seluruh sampah di DKI adalah sebesar 279,63 ton/hari.
Penelitian Waste4Change menemukan bahwa muara pengelolaan sampah plastik fleksibel di DKI Jakarta paling banyak menumpuk di landfill dan tidak terkelola:
- Menumpuk di landfill: 244,72 ton/hari atau 87,52%
- Tidak terkelola: 24,37 ton/hari atau 8,72%
- Daur ulang: 8,35 ton/hari atau 2,99%
- Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa): 2,18 ton/hari atau 0,78%
Tantangan
Penelitian tersebut juga mencatat beberapa faktor yang menghambat pengembangan sistem daur ulang sampah plastik fleksibel yang dihadapi oleh petugas sampah, pemulung, bank sampah, lapak, bandar, maupun Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta.
- Material yang sulit didaur ulang, khususnya untuk material yang bersifat multilayer. Teknologi yang tersedia untuk mengelola sampah plastik fleksibel jenis ini masih sangat terbatas.
- Minimnya pemilahan di sumber sampah menyulitkan pemulihan dan pendataan sampah plastik fleksibel.
- Sampah rumah tangga di DKI Jakarta umumnya dikumpulkan dalam kondisi tercampur, mengakibatkan kualitas bahan daur ulang menjadi menurun, khususnya untuk sampah yang ukurannya relatif kecil, tipis, dan ringan.
“Tantangan ke depannya adalah bagaimana memperbaiki desain kemasan produk yang lebih ramah daur ulang. Selain itu, riset mengenai sampah plastik fleksibel yang ada masih minim menyebabkan informasi dan data yang ada masih kurang, sehingga investor menjadi enggan untuk mengembangkan teknologi dan berinvestasi ,” kata Anissa Ratna Putri, Consulting Manager dan Team Leader FLW Study Waste4Change.
Pemanfaatan Sampah Plastik Fleksibel
Penelitian Waste4Change memberikan masukan mengenai hal-hal yang dapat mendukung pengembangan teknologi pengolahan sampah plastik fleksibel:
- Kerjasama pemerintah dan lembaga riset untuk mengembangkan teknologi pengolahan sampah plastik fleksibel.
- Insentif dan investasi untuk bisnis yang mengolah sampah plastik fleksibel agar dapat mengembangkan usahanya.
- Mengupayakan pemanfaatan sampah plastik fleksibel yang tidak diterima di pasar daur ulang untuk produk kerajinan tangan dan untuk berbagai alternatif metode pengolahan waste to energy (WTE) seperti PLTSa, Refuse Derived Fuel (RDF), dll.
Selain itu, untuk mengoptimalisasi inisiatif kerajinan berbahan sampah plastik fleksibel, Waste4Change merekomendasikan:
- Menegakkan hukum terkait pemilahan sampah di sumber untuk dapat meningkatkan ketersediaan bahan untuk kerajinan.
- Pemerintah, NGO, atau institusi terkait memberikan pelatihan untuk setiap pengelola bank sampah agar dapat membuat kerajinan dari sampah plastik fleksibel.
- Memberikan arahan mengenai strategi pemasaran produk, misalnya dengan memberikan edukasi mengenai penjualan melalui e-commerce maupun dengan menghubungkan pihak pengrajin dengan konsumen potensial terdekat, seperti ibu-ibu PKK setempat, sekolah, juga kampus di sekitar lokasi.
Publikasi penelitian Waste4Change selengkapnya dapat dibaca di sini.
Jika Anda melihat artikel ini bermanfaat, berlangganan Newsletter Mingguan Green Network Asia untuk mengikuti kabar dan cerita seputar pembangunan berkelanjutan dari komunitas multistakeholder di Indonesia dan dunia.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia.