Demokratisasi Data Bawah Permukaan untuk Pengurangan Risiko Bencana

Ilustrasi: Irhan Prabasukma.
Lokasi dimana kita berada sangat memengaruhi cara hidup kita. Oleh karena itu, memegang informasi sebanyak mungkin tentang tanah tempat kita tinggal merupakan hal yang sangat penting. Sebagai negara kepulauan yang terletak di Cincin Api, Indonesia sangat rentan terhadap bencana alam, seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, dan tsunami. Pengelolaan bahaya geologi yang efektif memerlukan pemanfaatan data bawah permukaan, namun mengakses data tersebut masih menjadi tantangan.
Bahaya Geologis di Bawah Laut
Pada tahun 2018, letusan dan keruntuhan sebagian lereng pulau vulkanik kecil Anak Krakatau memicu tsunami dahsyat di Selat Sunda, yang secara tragis mengonfirmasi apa yang telah lama diperingatkan para ilmuwan.
Dalam sebuah studi tahun 2012, para peneliti memperingatkan bahwa longsor bawah laut sebesar 0,28 kilometer kubik (km³) dapat menghasilkan tsunami yang mencapai pantai indah Anyer dan Carita dalam waktu 35–45 menit. Peristiwa yang sesungguhnya bahkan lebih dahsyat. Longsor bawah laut yang lebih kecil (~0,1 km³) menghasilkan tsunami yang lebih besar dan lebih cepat daripada yang dimodelkan sebelumnya.
Kemudian, penelitian di Selat Makassar menggunakan data refleksi seismik—sejenis data bawah permukaan yang berfungsi seperti sinar-X Bumi—telah mengungkap adanya longsor besar bawah laut sekitar 600 km³, 2.500 kali lebih besar dari longsor di Anak Krakatau.
Jika longsor bawah laut serupa terjadi lagi, hal itu dapat menimbulkan tsunami yang akan menghantam pantai timur Kalimantan, termasuk Ibu Kota Nusantara (IKN) yang saat ini sedang dibangun.
Oleh karena itu, urgensi untuk mempelajari dan mengurangi risiko tersebut di seluruh Indonesia—sebagai negara maritim dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia—tidak dapat ditawar-tawar.
Pentingnya Data Bawah Permukaan
Data bawah permukaan telah banyak digunakan oleh industri minyak dan gas selama beberapa dekade. Sederhananya, data bawah permukaan mengacu pada informasi tentang dan yang dikumpulkan dari bawah permukaan Bumi. Data ini terutama diperoleh oleh perusahaan minyak untuk eksplorasi dan produksi minyak bumi. Namun, akses ke data semacam ini telah lama menjadi hal yang eksklusif—sulit untuk diperoleh.
Selain minyak bumi, data bawah permukaan memungkinkan pengambilan keputusan yang tepat untuk keberlanjutan dan ketahanan. Data bawah permukaan antara lain dapat membantu mengidentifikasi bahaya geologis dan menilai lokasi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) hingga mendukung strategi konservasi laut dan adaptasi iklim.
Namun, penelitian nonkomersial—seperti studi bahaya geologi—seringkali kekurangan dana, sebagian besar bergantung pada hibah terbatas dan dukungan pemerintah. Hal ini pada akhirnya mempersulit perencanaan dan pengurangan risiko bencana. Padahal, data bawah permukaan dapat memainkan peran penting.
Perkembangan di Indonesia dan Pelajaran dari Dunia
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah mencapai perkembangan dalam meningkatkan aksesibilitas data bawah permukaan melalui pembentukan Migas Data Repository (MDR). Meskipun merupakan langkah signifikan dalam menciptakan transparansi dan aksesibilitas, sistem yang ada masih memiliki banyak hambatan–berbasis langganan dan cenderung sulit digunakan. Selain itu, prosedur untuk akses penelitian nonkomersial juga masih rumit.
Selain itu, masih banyak pula yang perlu dipelajari. Konsep data bawah permukaan dengan akses terbuka bukanlah hal baru. Banyak negara, seperti Australia dengan NOPIMS (Sistem Manajemen Informasi Perminyakan Lepas Pantai Nasional) dan Norwegia dengan Repositori Data Nasional Diskos, telah menerapkan kebijakan yang membuat kumpulan data bawah permukaan tersedia secara luas untuk dipakai dalam penelitian dan industri.
Sistem ini tidak hanya menyediakan akses terbuka ke data tetapi juga memiliki antarmuka yang ramah pengguna, sehingga mudah digunakan layaknya lokapasar. Dengan menerapkan pendekatan serupa, Indonesia dapat memperluas jangkauan dan dampak data bawah permukaan secara signifikan.
Data Bawah Permukaan: Dari Sains ke Kebijakan
Pembangunan berkelanjutan sangat bergantung pada sains, terutama dalam mengubah penelitian menjadi kebijakan yang efektif. Memahami longsor bawah laut di masa lalu sama pentingnya dengan memprediksi longsor di masa mendatang—seperti tsunami yang dipicu oleh Anak Krakatau.
Misalnya, pada tahun 1969, tsunami melanda pantai barat Sulawesi, menewaskan sedikitnya 600 orang dan meratakan rumah-rumah penduduk. Tsunami tersebut dikaitkan dengan gempa bumi berkekuatan 7,0 skala Richter, tetapi penelitian terbaru menunjukkan bahwa gempa itu sendiri tidak dapat menjelaskan skala kerusakan. Longsor bawah laut di dekatnya—yang dikenal sebagai Longsor Haya, yang diidentifikasi melalui data refleksi seismik—kemungkinan besar memainkan merupakan faktornya.
Contoh ini menunjukkan bagaimana bahaya tersembunyi di bawah dasar laut dapat memperparah bencana secara diam-diam. Tanpa tindakan tepat waktu, masyarakat pesisir yang rentan akan tetap berada dalam risiko yang lebih buruk daripada yang seharusnya.
Dengan menggabungkan wawasan dari data bawah permukaan ke dalam model bahaya geologis, pemerintah dapat memberikan penilaian risiko yang lebih akurat, merancang rencana tanggap darurat yang lebih baik, dan membentuk kebijakan penggunaan lahan yang lebih cerdas—terutama di zona pesisir berisiko tinggi.
Demokratisasi Akses Data Bawah Permukaan
Untuk memanfaatkan sepenuhnya nilai data bawah permukaan, Indonesia harus memprioritaskan demokratisasi kumpulan data terkait minyak bumi dengan tetap menghormati kepemilikan data. Negara-negara seperti Australia dan Norwegia telah menunjukkan bahwa memperluas akses ke data bawah permukaan tanpa mengganggu kerahasiaan komersial adalah suatu hal yang sangat mungkin.
Kebijakan yang memberikan akses terhadap data bawah permukaan yang yang mudah digunakan dan tanpa hambatan untuk universitas, peneliti nirlaba, dan pemangku kepentingan lainnya dapat membuka inovasi baru dalam mitigasi bencana, adaptasi iklim, dan pengelolaan sumber daya. Merampingkan proses dengan menyederhanakan birokrasi adalah kuncinya.
Tidak hanya itu, mengintegrasikan data bawah permukaan ke dalam perencanaan nasional dapat membentuk ulang cara negara menghadapi tantangan keberlanjutan. Memperluas akses terhadap kumpulan data yang sering tersembunyi ini dapat mendorong pengambilan keputusan yang lebih cerdas dan berbasis bukti. Ketika peneliti, pembuat kebijakan, dan masyarakat dapat mengeksplorasi dan menggunakan wawasan bawah permukaan, negara memperoleh alat yang ampuh untuk mengelola bencana alam dan sumber daya secara lebih efektif. Kolaborasi yang lebih besar antara pemerintah, akademisi, dan industri sangat penting.
Pada akhirnya, demokratisasi akses data geologi akan membantu Indonesia mengembangkan solusi yang disesuaikan dengan kondisi geografisnya yang unik—memperkuat ketahanan, meningkatkan keselamatan, dan mendukung masa depan yang lebih berkelanjutan untuk semua.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia

Terima kasih telah membaca!
Berlangganan Green Network Asia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua kabar dan cerita yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan keberlanjutan (sustainability) di Indonesia dan dunia. Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional dengan pembaruan seputar kebijakan publik & regulasi, ringkasan hasil temuan riset & laporan yang mudah dipahami, dan cerita dampak dari berbagai organisasi di pemerintahan, bisnis, dan masyarakat sipil.