Berakhirnya Era Keemasan Beras Indonesia
Aspek Historis
Beras memiliki sejarah panjang di Indonesia. Pada masa kerajaan, beras adalah makanan kaum bangsawan yang disajikan untuk raja, brahmana, dan saudagar ternama. Pada masa penjajahan Belanda, beras dijadikan sebagai alat politik dan bisa dinikmati rakyat jelata.
Sekitar tahun 1861-1871, penjajah Belanda mencatat bahwa budidaya padi di Indonesia tidak menguntungkan. Hasil pengamatan tersebut dituangkan dalam buku “Budidaya Padi di Jawa” (1986) yang ditulis oleh Sajogyo & William L Collier. Disebutkan bahwa total kerugian atas beras yang ditanam di 21 kota mencapai 5.775 ton emas. Kerugian ini terjadi tidak hanya karena petani memamah lebih dari yang bisa mereka kunyah, tetapi juga karena rendahnya produktivitas.
Kini, beras telah menjadi bagian dari budaya Indonesia sebagai makanan pokok, dan produksinya menjadi landasan upaya ambisius setiap rezim presiden dalam hal ketahanan pangan. Setiap tahun, pemerintah menganggarkan subsidi bernilai triliunan rupiah untuk pupuk, benih, dan infrastruktur pertanian seperti irigasi dan pengering.
Dampak negatif
Dari segi lingkungan, beras termasuk biji-bijian yang paling mencemari, mengeluarkan gas berbahaya dua kali lebih banyak dibanding gandum. Selama ribuan tahun, petani padi di Indonesia bergantung pada praktik membanjiri sawah untuk menghentikan pertumbuhan gulma. Faktanya, menanam padi dalam kondisi banjir menghasilkan hingga 12% emisi metana global, gas yang menyebabkan sekitar seperempat pemanasan global yang disebabkan oleh manusia.
Analisis Environmental Defense Fund tahun 2018 mengungkapkan bahwa pertanian padi memiliki efek merusak jangka pendek yang sama terhadap pemanasan global layaknya 1.200 pembangkit listrik tenaga batu bara. Angka tersebut setara dengan emisi karbon tahunan jangka panjang dari bahan bakar fosil di Jerman, Italia, Spanyol, dan Inggris jika digabungkan.
Sementara itu, konsumen yang sadar kesehatan mulai meninggalkan nasi demi karbohidrat yang “lebih sehat” dengan indeks glikemik (IG) yang lebih rendah untuk mencegah diabetes.
Menurut LMC International, di Indonesia, porsi kalori karbohidrat dari nasi menurun hingga 10% setiap tahun seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita dari tahun 1961 hingga 2013. Bisa jadi, semakin kaya orang cenderung mengonsumsi lebih banyak karbohidrat alternatif selain nasi.
Saatnya beralih
Ada konsensus bahwa konsumsi beras per kapita akan turun dari waktu ke waktu pada tataran global. Kontribusi Asia terhadap permintaan beras dunia akan turun menjadi 13%, sedangkan Afrika akan berlipat ganda dari 6% menjadi 15%.
Saatnya telah tiba. Kita mestinya tidak lagi terobsesi dengan gagasan bahwa nasi adalah makanan pokok kita. Mengingat bahwa konsumsi beras secara umum menurun seiring dengan meningkatnya pendapatan dan produksi beras merusak lingkungan, memfokuskan kebijakan ketahanan pangan kita pada produksi beras tampaknya tidak lagi relevan.
Indonesia memiliki berbagai sumber pangan berbasis darat dan laut. Dalam hal ini, diversifikasi pangan sangat memungkinkan sekaligus diminati.
Apa yang mesti dilakukan
Pemerintah mesti memberikan lebih banyak perhatian dan sumber daya untuk memproduksi tanaman pangan dan hortikultura lainnya. Ada empat poin utama untuk mencapai kesuksesan ketahanan pangan: ketersediaan, akses, pemanfaatan, dan keberlanjutan.
Dalam bidang diversifikasi pangan, Pemerintah Indonesia harus memulai dari tahap yang paling mendasar: kebijakan diversifikasi pemanfaatan lahan untuk mentransformasi petani atau agribisnis dari pendekatan monosektoral menjadi pertanian pangan yang beragam. Contohnya dapat dilihat dalam rencana Uzbekistan 2020 dalam mengurangi produksi gandum dan meningkatkan produksi pangan alternatif lainnya.
Tahap selanjutnya di tingkat petani. Kita masih kekurangan benih berkualitas tinggi untuk sumber pangan alternatif. Program litbang diversifikasi benih harus dilakukan secara masif.
Untuk mempercepat upaya ini, pemerintah dapat membuka Kemitraan Pemerintah-Swasta (Public-Private Partnership/PPP) untuk meningkatkan hasil dan program benih bersubsidi yang terjangkau. Program ini harus dipromosikan berdasarkan kearifan lokal, preferensi pangan, dan sumber daya pangan lokal yang ada di setiap daerah.
Hal penting lainnya adalah membuat produk panen terjangkau dan mudah diakses. Fungsi pendukung, utamanya logistik, harus menjadi perhatian serius. Data dari Laporan Asosiasi Rantai Pendingin Indonesia (ARPI) tahun 2019 menunjukkan bahwa rantai pendingin Indonesia masih tertinggal. Sayuran dan buah-buahan adalah kunci utama food loss (hilangnya makanan karena kualitas jelek/menurun) maupun lonjakan harga di seluruh rantai pasokan.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah dapat membuat proyek infrastruktur rantai pendingin dan logistik pertanian yang bermanfaat bagi semua pemangku kepentingan di sepanjang rantai nilai. Salah satu proposalnya adalah menciptakan pasar grosir dan pusat logistik yang holistik untuk melayani kebutuhan lokal dan eksternal. Dengan berkurangnya kerugian pasca-panen, infrastruktur ini akan mendorong produksi tanaman hortikultura dan produk perikanan.
Terakhir, fokusnya harus ditujukan kepada masyarakat umum. Kita membutuhkan program dan kampanye nasional yang kokoh dan berkelanjutan untuk menghilangkan “cuci otak” sosial budaya mengenai beras yang sudah berlangsung selama ratusan tahun.
Kita bisa memulainya dari tingkatan rumah tangga dengan mempromosikan lagi kampanye “revolusi meja makan” pada pedoman diet publik yang baru. Pedoman baru ini bisa ditempelkan di berbagai fasilitas kesehatan, tempat, bahkan kafetaria pabrik.
Ini sejatinya memang tugas Hercules. Karenanya, mari kita mulai dari yang kecil!
Penerjemah & Editor: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa inggris di Green Network Asia.
Publikasikan thought leadership dan wawasan Anda bersama Green Network Asia, pelajari Panduan Artikel Opini kami
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Dewa adalah Pendiri Indonesia Food Security Review & Setara Agritech. Dia juga seorang analis Riset di Carbonesia.