Kerangka ESG Nasional Mauritius sebagai Panduan Masa Depan TIK Hijau

Ilustrasi: Irhan Prabasukma.
Di tengah dinamika global yang semakin cepat, kemampuan beradaptasi menjadi kunci utama untuk bertahan dan tumbuh. Hal ini berlaku bukan hanya bagi individu atau organisasi, tetapi juga bagi negara—termasuk Mauritius. Negara kepulauan ini mencatat pertumbuhan ekonomi yang mengesankan dibandingkan banyak negara Afrika lainnya berkat strategi transformatif menuju digitalisasi. Namun, sebagai Negara Berkembang Pulau Kecil (Small Island Developing State/SIDS), Mauritius menghadapi kerentanan iklim yang tinggi, khususnya terhadap kenaikan permukaan laut yang mengancam ekosistem pesisir, infrastruktur, dan masa depan ekonominya yang kini berbasis teknologi. Lantas, bagaimana kerangka ESG nasional Mauritius dapat membuka jalan menuju transisi hijau?
Transformasi Digital Mauritius
Perekonomian Mauritius dulunya bertumpu pada sektor pertanian, khususnya industri tebu. Namun, ketika kontribusi sektor ini terhadap PDB merosot tajam, dari 5,5% pada tahun 1976 menjadi hanya 0,8% di tahun 2000 akibat berkurangnya preferensi dagang, naiknya harga minyak, dan ketatnya persaingan global, negara ini dipaksa untuk berbenah.
Mauritius pun menunjukkan daya adaptasinya dengan melakukan perubahan strategis: dari ketergantungan pada pertanian ke sektor teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Saat ini, sektor TIK berkembang pesat dan selaras dengan ambisi Mauritius untuk menjadi penghubung strategis antara Afrika, Asia, dan Eropa. Salah satu simbol keberhasilannya adalah Ebene Cybercity, kawasan teknologi yang dibangun pada awal tahun 2000-an dan kerap dijuluki “Silicon Valley-nya Mauritius”. Kawasan ini menjadi rumah bagi berbagai perusahaan IT besar dan rintisan (startup), menciptakan ribuan lapangan kerja dan mendorong lahirnya wirausahawan teknologi lokal.
Transisi Kebijakan untuk Melawan Perubahan Iklim
Selama beberapa dekade, pertanian dan produksi tebu menjadi penyumbang besar emisi gas rumah kaca di Mauritius. Penggunaan pupuk kimia dan pestisida dalam budidaya tebu juga menyebabkan limpasan bahan kimia ke sungai dan perairan pesisir. Dampak perubahan iklim pun mulai terasa: antara tahun 1987 dan 2020, permukaan laut di Mauritius naik rata-rata 4,7 mm per tahun, dan diperkirakan akan meningkat hingga 49 cm pada tahun 2100.
Sebagai respons, Mauritius mulai mengalihkan arah kebijakan nasionalnya menuju pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan. Menyadari biaya ekologis dari model ekonomi sebelumnya, pemerintah Mauritius meluncurkan Visi Mauritius 2030, sebuah peta jalan strategis untuk menjadikan Mauritius negara pulau kecil yang tangguh terhadap perubahan iklim.
Perubahan iklim yang bersifat global mengguncang bahkan sistem pemerintahan yang paling stabil sekalipun. Namun, integrasi sektor TIK dengan kerangka ESG nasional serta jejaring bisnis yang sudah mapan membuka peluang besar: semua pemangku kepentingan—pemerintah, pelaku usaha lokal, dan investor asing—harus selaras dengan kebijakan hijau Mauritius. Dengan demikian, negara ini dapat memitigasi dampak iklim dan membangun ekonomi pulau yang berkelanjutan.
Kerangka ESG Nasional Menuju Masa Depan TIK Hijau
Menghadapi risiko iklim yang semakin meningkat, ESG perlu berevolusi dari sekadar prinsip sukarela menjadi kerangka kerja nasional yang wajib diterapkan. Hingga pertengahan 2025, Mauritius mengembangkan kerangka ESG (Lingkungan,Sosial, Tata Kelola) yang kokoh untuk memantapkan posisinya sebagai pusat teknologi global yang berkelanjutan. Pada Konferensi Ekonomi Afrika ke-17 (2022), Perdana Menteri Mauritius Pravind Kumar Jugnauth menekankan pentingnya pembangunan cerdas-iklim di seluruh Afrika dan menegaskan kembali peran kepemimpinan Mauritius.
Pada akhirnya, strategi jangka panjang yang mendorong kolaborasi antara sektor publik dan swasta menjadi sangat krusial untuk mengatasi tantangan ESG dan mewujudkan visi ekonomi hijau dan sirkular Mauritius. Bagi sektor TIK Mauritius yang tengah berkembang pesat, partisipasi lintas pemangku kepentingan melalui kerangka ESG nasional akan menjadi kompas bagi investasi yang berpihak pada transisi hijau. Tiga pilar utamanya adalah:
- Lingkungan: Mendorong efisiensi energi, pengurangan emisi karbon, dan pengelolaan limbah elektronik.
- Sosial: Menstimulus penciptaan lapangan kerja lokal, inklusi digital, dan pelatihan keterampilan.
- Tata Kelola: Menjamin transparansi, praktik bisnis etis, perlindungan data, dan kepatuhan regulasi.
Menarik Investasi untuk Transisi Hijau
Kebijakan hijau dari atas ke bawah (top-down) yang diterapkan Mauritius sejauh ini terbukti mampu menarik investasi domestik maupun internasional. Bekerja sama dengan UNDP, Badan Pengembangan Ekonomi (Economic Development Board/EDB) meluncurkan Sustainable Development Goals Investor Map, sebuah alat yang mengarahkan investasi ke sektor-sektor berkelanjutan yang bernilai tinggi dan sejalan dengan prinsip ESG. Hasilnya, berbagai bisnis mulai mengadopsi teknologi bersih seperti kendaraan listrik, konstruksi rendah karbon, dan inovasi kota pintar.
EDB juga memastikan agar investor asing mematuhi standar keberlanjutan, termasuk kewajiban Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Ekosistem ini mendorong Mauritius menuju target ambisiusnya: menghasilkan 60% energi dari sumber terbarukan pada tahun 2030 dan menghapus penggunaan batu bara. Pemerintah Mauritius turut menawarkan insentif fiskal, seperti pembebasan pajak dan prosedur investasi yang disederhanakan bagi investor yang berkontribusi pada transisi hijau.
Cetak Biru Pembangunan Berkelanjutan di Afrika
Diversifikasi ekonomi yang dijalankan Mauritius terbukti efektif. Pada tahun 2020, Bank Dunia mengklasifikasikan Mauritius sebagai negara berpenghasilan tinggi—untuk pertama kalinya sejak 1992—menjadikannya negara Afrika kedua setelah Seychelles yang lebih dulu mencapai tonggak tersebut.
Dengan komitmen yang konsisten terhadap tata kelola hijau dan pertumbuhan inklusif, kerangka ESG nasional yang solid akan menjadi pemandu strategis bagi langkah Mauritius ke depan. Mauritius telah menunjukkan bahwa sebuah Negara Berkembang Pulau Kecil dapat menjalankan transisi hijau top-down yang sukses sekaligus mendorong keterlibatan inklusif lintas pemangku kepentingan melalui prinsip ESG demi kesejahteraan manusia dan keberlanjutan planet.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia

Berlangganan GNA Indonesia
Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan wawasan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia, akselerasi dampak positif Anda untuk masyarakat (people) dan lingkungan (the planet).

Ismail adalah staf di Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) serta mahasiswa Magister Hubungan Internasional dengan konsentrasi pada Transformasi Digital dan Daya Saing di Universitas Gadjah Mada. Minat risetnya mencakup hak asasi manusia, transformasi digital, keamanan siber, dan ASEAN.