Mengapa Narasi ESG Indonesia Harus Berakar pada SDGs

Dalam beberapa tahun terakhir, ESG (Environmental, Social, and Governance/Lingkungan, Sosial, Tata Kelola) telah menjadi bahasa yang menjelaskan bisnis yang berkelanjutan. Penilaian ESG, laporan keberlanjutan, dan obligasi tematik membentuk ulang strategi korporasi dan aliran modal. Di Indonesia, tren ini berkembang pesat—dengan dorongan regulator terkait pelaporan ESG serta desakan lembaga keuangan untuk membentuk portofolio yang lebih berkelanjutan. Namun, di balik momentum yang berkembang ini, terdapat tantangan besar: narasi ESG Indonesia berisiko menjadi dangkal secara struktural jika tidak secara eksplisit berakar pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Disonansi Narasi ESG
Kerangka ESG memang berguna, tetapi tidak netral terhadap nilai. Kerangka ini mencerminkan apa yang kita pilih untuk diukur, dilaporkan, dan prioritaskan. Ketika diterapkan tanpa kompas moral, ESG bisa berubah menjadi kepatuhan performatif, alih-alih transformasi struktural. Perusahaan bisa saja mendapatkan skor indeks ESG yang tinggi, namun tetap menyumbang emisi karbon, mengabaikan hak-hak pekerja, atau menjalankan model bisnis yang eksploitatif. Dalam situasi seperti itu, ESG hanyalah sinyal yang meyakinkan pasar, tetapi tak banyak bicara banyak soal keselarasan jangka panjang dengan tujuan nasional atau planet kita.
Indonesia berada di persimpangan jalan. Negara ini telah mengintegrasikan SDGs ke dalam rencana pembangunan nasional, seperti RPJMN, dan rencana aksi di tingkat daerah. Artinya, Indonesia seharusnya sudah memiliki kerangka kerja yang jelas untuk transformasi berkelanjutan jangka panjang. Namun, sebagian besar pelaporan ESG perusahaan di Indonesia masih belum terhubung dengan arsitektur SDGs. Laporan berlimpah, tapi koherensi masih minim. Ketidaksinambungan ini melemahkan kredibilitas ESG sekaligus mengurangi kontribusinya terhadap prioritas nasional.
Potensi Penyelarasan
Peluncuran Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia adalah langkah penting untuk menyelaraskan aliran keuangan dengan tujuan keberlanjutan. Perkembangan tahun 2024 menunjukkan kemajuan yang menggembirakan—cakupannya kini meluas, tidak hanya fokus pada sektor hijau tetapi juga aspek lingkungan dan sosial yang lebih luas. Meski demikian, taksonomi ini masih perlu dikembangkan lebih jauh agar bisa menjadi sinyal yang kuat dan jelas bagi pasar.
Tanpa penyelarasan dengan SDGs, data ESG akan tetap terfragmentasi—tanpa “bintang utara” yang mengarahkan dampaknya. Ke depan, taksonomi ini harus bertransformasi dari sekadar alat klasifikasi menjadi kerangka narasi yang menghubungkan alokasi modal dengan hasil pembangunan.
Secara global, tekanan untuk beranjak dari sekadar pelaporan ke pencapaian nyata semakin besar. Para investor, khususnya mereka yang punya mandat berdampak, semakin skeptis terhadap peringkat ESG yang tidak didukung oleh perubahan nyata.
Dalam konteks ini, Indonesia punya peluang untuk memimpin—bukan dengan meniru tren ESG dari luar negeri, melainkan dengan membumikan narasi ESG pada SDGs yang juga turut dibentuknya. Pendekatan ini tidak hanya memperkuat konsistensi kebijakan, tetapi juga mengurangi risiko greenwashing dan membangun kepercayaan terhadap integritas pasar Indonesia.
Ini bukanlah ajakan untuk menambah indikator atau kewajiban pelaporan. Ini adalah ajakan strategis untuk memaknai ulang ESG dalam kerangka pembangunan: bergerak melampaui daftar centang dan menuju ekonomi yang digerakkan oleh tujuan. Indikator ESG harus mencerminkan kontribusi perusahaan dalam mengurangi ketimpangan, memperkuat ketahanan iklim, dan mendorong pertumbuhan yang inklusif—yang semuanya adalah inti dari SDGs.
Memaknai Ulang Narasi ESG Indonesia
Kekuatan Indonesia terletak pada kemampuannya membangun jembatan—antara sektor publik dan swasta, antara kearifan lokal dan kerangka global, serta antara cita-cita nasional dan tanggung jawab internasional. Dengan mengintegrasikan SDGs ke dalam strategi ESG perusahaan, Indonesia bisa menawarkan model yang khas: ESG bukan sekadar kewajiban kepatuhan, tapi sebagai upaya membangun bangsa di abad ke-21.
Namun, integrasi ini menuntut inovasi kelembagaan. Pelaporan ESG tidak bisa terus-menerus menjadi tanggung jawab eksklusif departemen keberlanjutan perusahaan atau dianggap sebagai tanggung jawab khusus. Kementerian, regulator keuangan, perusahaan, hingga pemerintah daerah mesti bekerja sama menyelaraskan insentif, standar, dan pengukuran dampak. SDGs bisa menjadi bahasa bersama untuk mewujudkan koordinasi lintas sektor dan lintas skala ini.
Tanpa kaitan yang jelas dengan SDGs, narasi ESG bisa dianggap sekadar strategi pencitraan, bukan komitmen pembangunan. Hal ini justru bisa mengikis kepercayaan pasar dan menghambat masuknya investasi jangka panjang yang bermakna. Sebaliknya, ketika ESG secara eksplisit dipetakan dengan target SDGs—misalnya penurunan angka stunting, perluasan energi terbarukan, atau promosi inklusi keuangan—maka ESG bisa memberikan kejelasan bagi investor, alat akuntabilitas bagi regulator, dan arah bagi perusahaan. ESG pun bertransformasi dari sekadar cermin ekspektasi pasar menjadi kendaraan untuk keselarasan sosial.
Peluang untuk Perubahan yang Bermakna
Bagi Indonesia, penyelarasan ini bukan hanya soal integritas—tapi juga soal positioning. Saat Indonesia menapaki warisan G20, kepemimpinan ASEAN, dan ambisinya bergabung dalam OECD, kekuatan narasi keuangan berkelanjutan akan menentukan pengaruh globalnya. Narasi ESG yang kuat dan berakar pada SDGs akan membedakan Indonesia sebagai negara yang tidak hanya mengikuti tren ESG global, tetapi justru mendefinisikannya dari perspektif Global South.
Karena pada akhirnya, dunia tidak butuh lebih banyak laporan keberlanjutan. Dunia butuh keberlanjutan yang punya arah.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia

Terima kasih telah membaca!
Berlangganan GNA Indonesia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua kabar dan cerita yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Budi adalah Sustainable Development Strategist di The Prakarsa, MIT Sloan IDEAS Fellow, Advisory Committee Member di Fair Finance Asia, dan SDGs–ESG Expert di Indonesian ESG Professional Association (IEPA).