Mengintegrasikan Indikator Lingkungan dalam Strategi Pemberantasan Stunting

Ilustrasi: Irhan Prabasukma.
Stunting masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang paling mendesak secara global. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 23,2% anak di bawah usia lima tahun di seluruh dunia mengalami stunting pada tahun 2024. Semua anak memang membutuhkan nutrisi dengan jumlah yang tepat pada waktu yang tepat untuk tumbuh dan berkembang dengan baik; namun itu saja tidak cukup. Selain ketahanan pangan dan gizi, indikator lingkungan merupakan faktor kunci dalam upaya pemberantasan stunting, yang mendukung tumbuh kembang dan kesejahteraan anak. Sayangnya, faktor ini masih sering terabaikan.
Lebih dari Sekadar Gizi
Stunting merupakan bentuk gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak, yang dialami oleh satu dari lima anak di seluruh dunia. Menurut WHO, anak-anak termasuk stunting “apabila tinggi badan mereka terhadap usia lebih dari dua standar deviasi di bawah median Standar Pertumbuhan Anak WHO.”
Stunting tidak hanya mengganggu penampilan fisik seseorang, tetapi juga kesehatan dan perkembangan kognitif. Dalam skala luas, stunting juga akan berdampak negatif terhadap produktivitas dan ketahanan nasional jangka panjang.
Meskipun negara-negara di seluruh dunia telah berupaya untuk memberantas stunting, strategi yang ada masih terbatas pada peningkatan ketahanan pangan dan gizi. Akibatnya, kebijakan yang dibuat cenderung menekankan pengadaan pangan, suplemen, dan konseling gizi. Meski penting, intervensi tersebut tidak cukup untuk mengatasi akar permasalahan stunting yang lebih dalam dan kompleks, seperti kemiskinan multidimensi dan sistem pangan yang tidak berkelanjutan.
Lebih lanjut, bukti ilmiah semakin menunjukkan bahwa gizi saja tidak dapat sepenuhnya menyelesaikan masalah. Seperti banyak tantangan kesehatan lainnya, stunting tidak dapat dipisahkan dari lingkungan tempat anak-anak tinggal, tumbuh, dan bermain. Dalam Kerangka Konseptual UNICEF tentang Penentu Gizi Ibu dan Anak, indikator lingkungan dalam pemberantasan stunting merupakan bagian dari kategori sumber daya yang lebih luas, yang menyoroti peran krusialnya dalam mendukung pengadaan makanan sehat, layanan kesehatan, dan pengasuhan yang memadai.
Indikator Lingkungan dalam Isu Stunting
Sebuah studi oleh Goodarz Danaei dan rekan-rekannya, yang diterbitkan dalam The Lancet Global Health (2016), menganalisis data dari 137 negara berpenghasilan rendah dan menengah. Temuan dalam studi tersebut mengungkap bahwa meskipun kekurangan gizi menyumbang 27,9% kasus stunting, kualitas lingkungan yang buruk menyumbang tambahan sebesar 21,7%. Persentase sisanya berkaitan dengan komplikasi perinatal dan faktor sosial ekonomi yang tumpang tindih.
Semakin ke sini, banyak anak yang hidup dengan polusi udara yang tak kasat mata, air jernih yang mengandung racun mikroba, dan tanah yang kehilangan kapasitas alaminya. Di wilayah pedesaan di Afrika sub-Sahara, daerah kumuh perkotaan di Asia Selatan, dan komunitas rawan banjir di Asia Tenggara, bahaya lingkungan diam-diam memengaruhi perkembangan anak-anak.
Misalnya, paparan partikel halus PM2.5—polutan udara paling umum—telah terbukti mengganggu penyerapan nutrisi dengan memicu peradangan sistemik, infeksi pernapasan, kehilangan nafsu makan, dan stres oksidatif. Sementara itu, air yang terkontaminasi patogen mikroba menyebabkan diare berulang dan berkontribusi pada kondisi peradangan kronis yang dikenal sebagai Disfungsi Enterik Lingkungan (EED). EED merusak lapisan usus halus, sehingga menghambat penyerapan nutrisi.
Oleh karena itu, di wilayah dengan polusi udara yang parah, dengan kelangkaan toilet yang bersih, air minum yang aman, serta pengelolaan sampah yang memadai, stunting akan tetap eksis meskipun tersedia cukup makanan. Risiko ini semakin meningkat pada anak-anak dengan defisiensi mikronutrien. Anak-anak ini secara biologis lebih rentan terhadap efek polutan, termasuk logam berat neurotoksik seperti timbal, merkuri, dan kadmium, yang dapat mengganggu perkembangan otak dan fungsi kognitif mereka.
Strategi yang Tidak Utuh dan Pendanaan yang Tidak Memadai
Sayangnya, di banyak negara berkembang, sistem pemantauan lingkungan tidak memperhitungkan bahaya-bahaya ini. Konsentrasi PM2.5 dan keberadaan logam berat dalam air minum seringkali tidak tercakup dalam penilaian kualitas udara dan air. Sementara itu, pemantauan kualitas tanah juga masih terbatas cakupannya, dengan fokus yang terbatas terutama pada tutupan vegetasi atau ruang terbuka hijau, sementara aspek-aspek penting seperti kontaminasi dan kesuburan tanah diabaikan.
Contohnya, Indonesia telah menetapkan sistem pemantauan kualitas lingkungan melalui Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) lewat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 27 Tahun 2021. IKLH menggabungkan data kondisi air, udara, darat, dan laut menjadi satu indeks.
Namun, hingga tahun 2024, indeks tersebut masih belum mencakup indikator-indikator utama seperti konsentrasi PM2.5 dalam penilaian kualitas udara dan kadar logam berat seperti timbal, merkuri, dan kadmium dalam penilaian kualitas air. Pemantauan kualitas tanah juga sebagian besar berfokus pada cakupan fisik—seperti kawasan hutan dan ruang terbuka hijau—tanpa mengukur kesehatan tanah atau tingkat kontaminasi.
Keterbatasan kelembagaan semakin menghambat upaya-upaya ini. Pemerintah Indonesia telah memangkas anggaran yang substansial untuk sektor lingkungan hidup pada tahun 2025. Pemangkasan anggaran ini semakin melemahkan upaya untuk mengumpulkan data lingkungan yang andal, menegakkan pengendalian polusi, dan melindungi kesehatan masyarakat.
Strategi Pemberantasan Stunting yang Lebih Baik
Untuk benar-benar mengatasi penyebab stunting secara utuh, pemerintah harus berinvestasi dalam sistem pemantauan lingkungan yang kuat dan berbasis sains yang menggabungkan indikator-indikator kesehatan yang tervalidasi. Sistem ini harus mengukur indikator lingkungan seperti polusi udara ambien, racun yang terbawa air, dan degradasi tanah dengan cara yang terpilah di setiap daerah, dapat diakses publik, dan relevan dengan kebijakan. Pendekatan terpadu semacam itu selaras dengan prinsip One Health, yang mengakui keterkaitan antara kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan.
Mengatasi stunting tanpa memperhitungkan risiko lingkungan sama saja dengan menanam benih di tanah yang terkontaminasi—anak-anak mungkin tumbuh, tetapi tidak pernah mencapai potensi penuh mereka. Jika komunitas global serius tentang kesehatan dan kesejahteraan semua orang, maka stunting harus diperlakukan tidak hanya sebagai krisis gizi, tetapi juga sebagai bagian dari krisis lingkungan. Di tengah tiga krisis planet—perubahan iklim, polusi, dan penurunan keanekaragaman hayati—mengintegrasikan indikator lingkungan ke dalam strategi pemberantasan stunting menjadi semakin mendesak.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia

Berlangganan Green Network Asia – Indonesia
Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan wawasan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.

Alek adalah seorang profesional lingkungan dengan latar belakang pendidikan hukum dan ekonomi lingkungan. Ia meraih gelar sarjana hukum dari Universitas Andalas dan menyelesaikan kursus singkat ekonomi lingkungan di University of Michigan. Tahun 2024, ia mewakili Indonesia sebagai delegasi pada forum pemuda internasional tentang SDGs dan Hak Asasi Manusia di markas besar PBB untuk wilayah Asia-Pasifik.