Nasib Perempuan Adat di Tengah Kerusakan Lingkungan Indonesia
Masyarakat Adat dan Perubahan Iklim
Asia Tenggara memiliki hutan seluas 206,5 juta hektare pada tahun 2015, dan sekitar 65% di antaranya berada di Indonesia. Namun, 55% dari luas hutan tersebut diperkirakan akan hilang pada tahun 2050 karena kebakaran, pertambangan, dan eksplorasi energi. Selain berdampak buruk terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistem, deforestasi dalam skala besar ini juga mengancam kehidupan masyarakat adat karena mereka akan kehilangan sumber mata pencaharian mereka.
Kita sedang menghadapi krisis iklim, dan masyarakat adat di seluruh dunia merasakan dampak yang terburuk. Bagi sebagian besar masyarakat adat, perubahan iklim dapat mengganggu pola hidup mereka yang sangat bergantung pada lahan dan hutan. Jika sumber daya tersebut semakin langka, maka mata pencaharian, ketahanan pangan, pasokan air, dan kesehatan masyarakat adat akan terganggu. Mirisnya, hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya seringkali tidak diakui dan dilanggar.
Perempuan Adat dan Hutannya
Masyarakat adat memang hanya berjumlah sekitar 6% dari populasi global, namun mereka melindungi sekitar 80% dari keanekaragaman hayati yang tersisa di dunia. Ketika ekosistem hutan runtuh akibat perubahan iklim, perempuan adat menjadi yang paling menanggung bebannya.
Perempuan adat memiliki peran kunci dalam melestarikan pengetahuan tradisional dan pengelolaan lingkungan dengan mengajarkan praktik adat untuk beradaptasi dengan perubahan iklim kepada generasi penerus. Partisipasi perempuan adat dengan pengetahuan mereka sangat penting di tengah degradasi lingkungan dan habitat.
Pengetahuan leluhur yang diturunkan dari generasi ke generasi sangat penting bagi ketahanan perempuan adat dalam beradaptasi dengan perubahan iklim. Di Guatemala, masyarakat adat meningkatkan ketahanan mereka terhadap perubahan iklim melalui praktik leluhur seperti menyesuaikan kalender pertanian dan menerapkan sistem pertanian yang berbeda, seperti sistem milpa di mana jagung ditumpangsarikan dengan tanaman lain.
Perempuan Adat di Indonesia
Peran perempuan adat dalam konservasi hutan semakin nyata. Misalnya, bagi perempuan Dayak Benawan di Kalimantan Barat, hutan adat merupakan ruang sakral yang tak tergantikan yang telah mereka jaga secara turun-temurun. Hutan adalah rumah dan sumber penghidupan mereka.
Masyarakat Dayak Benawan memanfaatkan hutan sebagai tempat untuk bercocok tanam. Menanam, berdasarkan kearifan lokal mereka, merupakan salah satu upaya melestarikan keanekaragaman hayati. Mereka menanam padi lokal, ketimun, labu, jagung, dan berbagai sayuran lainnya.
Hasil hutan seperti rotan, sagu, kayu, bambu, dan lainnya juga menjadi penopang mata pencaharian masyarakat Dayak Benawan. Perempuan Dayak Benawan sangat bergantung pada hutan, terutama untuk kebutuhan bahan bakar memasak dan pakan ternak.
Sementara bagi perempuan Dayak Iban di Bengkayang, Kalimantan Barat, kehilangan hutan sama artinya dengan kehilangan segalanya. Mereka telah mengalami penurunan pengetahuan dan keterampilan tradisional yang diwariskan secara turun-temurun, seperti menenun untuk membuat Bidai (tikar) dan keranjang dari hasil hutan. Saat hutan menyusut, bahan baku pembuatan Bidai – yakni rotan – menjadi langka.
Perempuan Adat di Tengah Krisis Iklim
Di tengah badai kerusakan lingkungan, perempuan adat tidak berdaya melawan penguasa dan para kapitalis. Kerentanan mereka semakin nyata ketika berhadapan dengan masalah perizinan pengusahaan lahan yang didominasi laki-laki, termasuk meningkatnya kekerasan berbasis gender dan hilangnya sumber pengetahuan dalam mengelola lahan dan hutan mereka secara alami.
Masyarakat adat di Indonesia menghadapi berbagai kerusakan lingkungan yang mengancam hak mereka atas hutan adat. Di berbagai daerah di Indonesia, ekspansi industri ekstraktif terhadap sumber daya alam telah menyingkirkan perempuan adat dalam hak pengelolaannya.
Perampasan ruang hidup oleh perusahaan ekstraktif skala besar – seperti perkebunan kelapa sawit dan pertambangan – melanggar hak asasi masyarakat adat dan secara tidak langsung merenggut masa depan mereka. Perempuan adat yang telah mengelola hutan secara turun-temurun menjadi bukti nyata bahwa mereka sangat berperan dalam mengatasi krisis iklim dengan kearifan lokal mereka.
Sayangnya, perempuan adat di Indonesia yang bekerja di bidang konservasi hutan menghadapi banyak tantangan dan kekurangan dukungan dan perlindungan yang penting. Mereka sering menghadapi perlawanan dari otoritas lokal dan perusahaan besar yang berusaha mengeksploitasi sumber daya alam untuk mendapatkan keuntungan. Meskipun menjadi penjaga utama hutan, para perempuan adat seringkali dikecualikan dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi nasib mereka. Mereka juga mengalami diskriminasi berbasis gender, etnis, dan status sosial ekonomi.
Mengakui Hak Kolektif Perempuan Adat
Perempuan adat berisiko kehilangan mata pencaharian tradisional dan warisan budaya mereka. Selain itu, mereka juga rentan terhadap kekerasan fisik, intimidasi, serta hambatan hukum dan keuangan yang menghalangi mereka untuk mengakses keadilan.
Kurangnya dukungan dan perlindungan bagi perempuan adat dan pekerjaan mereka dalam konservasi hutan berdampak buruk terhadap kelestarian lingkungan, keadilan sosial, dan hak asasi manusia di Indonesia. Hingga saat ini, RUU Masyarakat Adat tak kunjung disahkan menjadi undang-undang.
Perempuan adat adalah ibu paling ajaib di muka Bumi. Pengetahuan mereka dalam merawat Bumi, mengolah makanan, dan menjalankan ritual adat merupakan identitas unik mereka dan itu penting dalam rencana adaptasi perubahan iklim. Memasukkan hak kolektif mereka ke dalam undang-undang dan dokumen kebijakan di tingkat nasional dan desa adalah hal yang sangat penting. Sekali lagi, mengakui identitas dan hak kolektif mereka adalah awal dari penerimaan, perlindungan, dan dukungan terhadap peran perempuan adat sebagai penjaga hutan.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli dari artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Kami harap konten ini bermanfaat bagi Anda.
Berlangganan Green Network Asia – Indonesia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua kabar dan cerita yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan keberlanjutan (sustainability) di Indonesia dan dunia.
Nikodemus Niko adalah Dosen Departemen Sosiologi, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang, dan kandidat Ph.D. Sosiologi, Universitas Padjadjaran. Minat topik penelitiannya adalah gender dan seksualitas, identitas, dan masyarakat adat.