Transisi Hijau Indonesia di antara Ketidakpastian Global dan Tekanan Domestik

Ilustrasi: Irhan Prabasukma.
Dengan hutan hujan tropis yang begitu luas dan potensi energi terbarukan yang melimpah, Indonesia diharapkan dapat memainkan peran penting dalam aksi iklim dan transisi energi. Namun, ambisi ini menghadapi berbagai tantangan yang semakin besar, baik di ranah eksternal maupun internal. Meski banyak yang harus diperbaiki, Indonesia masih memiliki peluang untuk mewujudkan transisi hijau.
Mengenal Lebih Dekat Transisi Hijau Indonesia
Dalam skenario ideal, kapasitas teknologi Indonesia dapat menghasilkan listrik dari sumber energi terbarukan hingga 432 GW. Namun, saat ini baru sekitar 7 GW yang terpasang, dengan sekitar 66% dari tenaga air dan sekitar 27% dari sumber panas bumi. Sebagai target baru, PLN telah mengumumkan rencana penambahan kapasitas sebesar 29 GW pada 2028.
Pemerintah Indonesia juga telah menetapkan rencana penghentian PLTU batu bara pada 2040. Pada November 2022, Indonesia bergabung dengan Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP) yang disertai dengan paket pendanaan awal sebesar US$20 miliar untuk tiga hingga lima tahun ke depan. Kemitraan ini bertujuan untuk mengembangkan Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (Comprehensive Investment and Policy Plan/CIPP) sebagai landasan kebijakan strategis untuk mencapai target emisi nol bersih pada 2060.
Kehutanan juga berperan penting dalam strategi iklim Indonesia–paling tidak seharusnya demikian. Namun, meski memiliki lebih dari 90,9 juta hektare hutan, Indonesia masih menjadi negara penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar kedelapan di dunia, yang melepaskan lebih dari 638,8 juta ton CO₂ setiap tahunnya. Sebagai respons, Indonesia menjalin kemitraan dengan sejumlah donor internasional, seperti Norwegia, Amerika Serikat, dan Jerman, untuk mengimplementasikan berbagai program konservasi hutan, seperti Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation/REDD+), Tata Kelola Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan di Seluruh Wilayah (Sustainable Environmental Governance Across Regions/SEGAR), serta Inisiatif Iklim Internasional (IKI).
Meski berpotensi besar, transisi hijau Indonesia masih berjalan lambat. Indonesia menghadapi berbagai tantangan serius, mulai dari ketidakpastian global hingga tekanan domestik.
Ketidakpastian Global
Perang di Ukraina telah mengganggu stabilitas pasar global, khususnya minyak. Meski negara pengekspor minyak seperti Norwegia–salah satu donor hijau terbesar bagi Indonesia–mendapatkan keuntungan dari krisis ini, tekanan energi di Eropa secara keseluruhan mengancam kelangsungan transisi hijau, khususnya yang didanai oleh negara-negara Eropa. Selain itu, perang tersebut juga mendorong Uni Eropa mempercepat transisi energi dan mengurangi ketergantungan pasokan energi dari Rusia. Akibatnya, Eropa kini bersaing dengan negara-negara berkembang dalam mendapatkan sumber energi alternatif, yang turut memicu krisis energi di sejumlah negara di Amerika Latin dan Asia, dan membuat jutaan orang kehilangan akses terhadap listrik dan pemanas.
Kebijakan Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump juga mempengaruhi transisi hijau Indonesia. Pada Januari 2025, Trump memerintahkan pembubaran USAID, lembaga yang selama ini menyediakan dana besar untuk mendukung proyek-proyek pembangunan global, termasuk di Indonesia. Selain itu, pada Maret 2025, Amerika Serikat secara resmi keluar dari JETP, yang berpotensi mempengaruhi lebih dari US$2 miliar (Rp 32 miliar) dana yang dijanjikan untuk Indonesia. Tindakan ini diperkirakan akan berdampak pada pendanaan iklim di Indonesia.
Tekanan Domestik
Transisi kepemimpinan dari Joko Widodo ke Prabowo Subianto tidak berjalan mulus. Bulan-bulan awal pemerintahan Prabowo diwarnai oleh gejolak politik. Salah satu contohnya adalah kecenderungan pemerintahan yang baru untuk terus mendorong hilirisasi sehingga menimbulkan kekhawatiran tentang komitmen Indonesia terhadap transisi hijau.
Masalah lainnya menyangkut kebijakan populis, seperti program Makan Bergizi Gratis dengan anggaran hingga Rp 71 triliun, yang lebih diprioritaskan ketimbang adaptasi iklim, peningkatan pendidikan, dan perbaikan layanan kesehatan. Selain itu, berbagai kebijakan dan peraturan baru yang muncul, seperti revisi Undang-Undang TNI memicu gelombang protes di seluruh penjuru dan menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor global. Kondisi ini menyebabkan banyak lembaga dana internasional besar dan manajer investasi ragu untuk berinvestasi secara signifikan di Indonesia.
Menyelaraskan Kebijakan dan Menumbuhkan Kepercayaan
Indonesia perlu membangun kebijakan yang stabil untuk menarik investasi hijau. Meski tujuan iklim telah dituangkan kedalam undang-undang dan strategi jangka panjang, Indonesia masih perlu mengambil langkah konkret dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif. Oleh karena itu, dibutuhkan cetak biru yang komprehensif, lengkap dengan tujuan, indikator kinerja, dan batasan implementasi yang jelas.
Bagaimana pun, memastikan pendanaan yang andal sangat penting mengingat mahalnya biaya transisi hijau Indonesia. Danantara, superholding yang baru dibentuk, berpotensi memperkuat pendanaan iklim Indonesia dengan menarik lebih banyak kepercayaan investor dan memperluas aliran pendanaan. Namun, untuk benar-benar menjadi katalis, Danantara perlu mengatasi kekhawatiran terkait risiko hukum dan sistemik. Hal ini membutuhkan komitmen kuat terhadap transparansi dan tata kelola yang berbasis kinerja untuk mencegah konflik kepentingan dan membangun kepercayaan publik.
Selain itu, pemerintah perlu menyeimbangkan program-program populis dengan agenda strategis jangka panjang. Meski mandat awal mengharuskan Prabowo memenuhi janji-janji kampanye, ruang fiskal tetap harus dijaga untuk mendukung program prioritas nasional seperti pendidikan, kesehatan, dan proyek hijau. Oleh karena itu, penting untuk menerapkan metode penganggaran terpadu yang mengaitkan belanja negara dengan tujuan keberlanjutan. Transparansi dalam perencanaan anggaran tidak hanya membantu para pembuat kebijakan dalam mengoptimalisasi sumber daya, tetapi juga memudahkan masyarakat untuk memantau pengeluaran uang negara. Pada akhirnya, semua pemangku kepentingan harus menyadari bahwa komitmen iklim adalah upaya jangka panjang, bukan sekadar slogan simbolik tanpa aksi nyata.

Berlangganan GNA Indonesia
Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan wawasan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia, akselerasi dampak positif Anda untuk masyarakat (people) dan lingkungan (the planet).

Yusril adalah mahasiswa Magister Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada. Ia sebelumnya bekerja sebagai peneliti di FPCI UMM, SmartID Indonesia, dan Center for Intermestic Studies, dengan fokus pada isu-isu keamanan nontradisional, politik lingkungan, dan wacana politik.