Femisida yang Terus Berulang: Alarm tentang Kekerasan terhadap Perempuan

Foto: Luka Bruyninckx on Unsplash.
Sampai hari ini, kekerasan terhadap perempuan masih sering terjadi di berbagai tempat, baik di luar maupun di dalam lingkup rumah tangga. Saat banyak pihak telah berupaya meningkatkan kesadaran akan pentingnya menghapus kekerasan berbasis gender, kekerasan terhadap perempuan tetap saja berulang, bahkan termasuk pembunuhan terhadap perempuan (femisida). Banyaknya kasus femisida yang muncul ke permukaan, dan banyak lainnya yang mungkin tak pernah terungkap, adalah alarm tentang kekerasan terhadap perempuan yang terus berlanjut.
Mengenal Femisida
Sederhananya, femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara sengaja karena korban adalah perempuan. Berbeda dengan pembunuhan pada umumnya, femisida adalah pembunuhan yang berkaitan dengan gender dan umumnya dilakukan oleh laki-laki. Maraknya kasus femisida turut dipicu oleh kebencian, prasangka, stigma dan diskriminasi terhadap perempuan (misogini), relasi kuasa yang timpang, serta stereotip gender yang berlaku di tengah masyarakat.
Femisida adalah bentuk kekerasan paling ekstrem dan brutal terhadap perempuan atau anak perempuan. Dalam banyak kasus yang pernah terjadi, femisida melibatkan kekerasan yang sangat sadis, dan pelakunya seringkali merupakan pasangan (suami, pacar), mantan pasangan, atau orang-orang dalam lingkup keluarga. Laporan UNODC dan UN Women pada tahun 2023 mencatat sekitar 51.100 perempuan dan anak perempuan di berbagai belahan dunia dibunuh oleh pasangan atau anggota keluarga mereka–termasuk ayah, ibu, paman, dan saudara laki-laki. Dengan kata lain, setiap harinya ada sekitar 140 perempuan atau anak perempuan yang dibunuh oleh anggota keluarga mereka sendiri.
Femisida di Indonesia
Di Indonesia, femisida bukanlah fenomena baru. Kabar tentang femisida datang saban tahun dari berbagai penjuru, dan seringkali disertai dengan kekejaman ekstrem, termasuk mutilasi. Kasus pembunuhan seorang perempuan yang terjadi di Padang Pariaman, Sumatera Barat, pada 15 Juni 2025 adalah salah satu yang paling ekstrem. Bahkan dari kasus tersebut, terungkap bahwa pelaku juga membunuh dua perempuan lain sekitar satu setengah tahun sebelumnya, antara akhir 2023 hingga awal 2024.
Mundur ke belakang, pada Mei 2024, seorang perempuan di Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, dibunuh oleh suaminya saat sedang tidur. Pada waktu yang berdekatan, di Ciamis, Jawa Barat, seorang perempuan lain dihabisi nyawanya secara sadis oleh suaminya. Beberapa bulan sebelumnya, pada Februari 2024, seorang perempuan di Bekasi dibunuh dan jasadnya ditemukan di dalam koper.
Kasus penting lainnya adalah pembunuhan seorang jurnalis perempuan oleh seorang anggota TNI AL di Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, pada Maret 2025. Dan kasus lainnya yang menggemparkan adalah kasus yang terjadi di Lenmarc Mall Surabaya dengan pelaku Ronald Tannur, yang membunuh pacarnya dengan melibatkan rentetan kekerasan yang keji, termasuk melindas korban dengan mobil. Selain karena kekejian dalam pembunuhan, kasus tersebut juga menyita banyak perhatian karena melibatkan suap kepada hakim dalam proses peradilannya.
Selain yang telah disebutkan, masih ada banyak lagi kasus femisida yang pernah terjadi. Menurut catatan Komnas Perempuan, dalam rentang Oktober 2023 hingga Oktober 2024 saja, terdapat 290 kasus. Angka yang lebih tinggi tercatat pada rentang Juni 2021 hingga Juni 2022, mencapai 307 kasus. Femisida intim—yakni pembunuhan perempuan yang dilakukan oleh suami/mantan suami, pacar/mantan pacar, atau pasangan kohabitasi—menjadi femisida tertinggi yang terjadi setiap tahunnya.
Kasus yang Tak Tercatat
Jumlah kasus yang sebenarnya mungkin jauh lebih besar, terutama mengingat belum adanya mekanisme pendataan yang secara spesifik mempertimbangkan femisida atau kekerasan berbasis gender dalam pencatatan tindak pembunuhan. Selain itu, femisida juga tidak hanya terjadi di ranah domestik, tetapi juga dapat terjadi di ruang publik, dimana perempuan dengan disabilitas dan anak perempuan menjadi pihak yang paling rentan. Oleh karena itu, Komnas Perempuan merekomendasikan kepada institusi penegakan hukum untuk melakukan pendataan terpilah gender dan disabilitas untuk membantu menetapkan langkah-langkah sistemik dalam pencegahan dan penanganan femisida.
“Peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dan petugas layanan korban dalam mengidentifikasi femisida dan membangun penilaian tingkat bahaya bagi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan sangat diperlukan, agar saat mengidentifikasi korban dapat menggali fakta terkait faktor-faktor seperti relasi kuasa, rentetan KDRT, ancaman dan upaya manipulasi yang dilakukan pelaku, atau kekerasan seksual. Sehingga dalam menerapkan pasal-pasal dalam KUHP, UU PKDRT, UU TPPO, UU Perlindungan Anak atau UU TPKS yang mengakibatkan kematian pada perempuan korban, hukumannya diperberat,” kata Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan.
Selain itu, Komnas Perempuan juga merekomendasikan kepada pers/media untuk menyajikan pemberitaan berperspektif korban untuk kasus femisida dengan menggali bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender dan mencegah reviktimisasi korban. Hal ini penting mengingat media merupakan saluran informasi dan pendidikan publik.
Mencegah dan Mengakhiri Femisida
Femisida adalah isu universal, dan Indonesia termasuk negara yang tidak aman dari masalah ini. Tidak hanya dalam relasi intim, femisida juga sering terjadi di ranah publik, dimana korban sering mengalami berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual, sebelum dibunuh.
Ketersediaan data yang memadai terkait kasus femisida adalah satu elemen krusial dalam upaya mengakhiri masalah yang terus berulang ini, namun itu saja tidaklah cukup. Mengatasi femisida dan segala bentuk kekerasan berbasis gender membutuhkan pendekatan multifaset serta keterlibatan semua pihak. Merujuk laporan UN Women dan UNODC, dan selaras dengan kerangka kerja RESPECT, berikut beberapa langkah penting yang dapat dilakukan:
- Mengubah norma dan sikap masyarakat, baik pada perempuan maupun laki-laki serta anak perempuan dan anak laki-laki, melalui kurikulum pendidikan sebagai langkah pencegahan primer. Hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan keterampilan hubungan serta menumbuhkan pemahaman yang lebih luas tentang perilaku dan peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakat.
- Memperkuat penegakan hukum terkait kasus femisida, termasuk dengan memperberat hukuman bagi pelaku. Mengakhiri impunitas pelaku dan menegakkan nol toleransi terhadap segala kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, serta membentuk unit khusus di dalam institusi kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan untuk menangani kasus yang berkaitan dengan kekerasan berbasis gender, dapat menjadi langkah penting dalam hal ini.
- Meningkatkan pemahaman, wawasan, dan kemampuan aparat penegak hukum dalam mengidentifikasi dan menangani bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender, khususnya femisida.
- Meningkatkan langkah-langkah pencegahan dan penanganan kasus kekerasan berbasis gender. Dalam banyak kasus, femisida merupakan puncak dari rangkaian kekerasan berbasis gender yang berulang dan meningkat, termasuk kekerasan seksual. Hal ini berarti mengakhiri kekerasan berbasis gender adalah cara yang paling mungkin untuk mencegah terjadinya femisida. Pendekatan multi-lembaga (kepolisian, penyedia layanan sosial, penyedia layanan kesehatan) penting untuk mendukung langkah ini.
- Memperluas kampanye publik dan upaya advokasi oleh masyarakat sipil untuk mengutuk segala bentuk kekerasan berbasis gender, termasuk femisida.
- Mengembangkan dan memperbaiki mekanisme pendataan kasus kekerasan berbasis gender, baik oleh institusi pemerintahan, penegak hukum, maupun masyarakat sipil. Dalam hal ini, kerangka kerja Statistik UNODC-UN Women dapat menjadi acuan untuk menghasilkan data yang komprehensif dan terstandarisasi terkait femisida.

Berlangganan Green Network Asia – Indonesia
Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan wawasan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Amar adalah Manajer Publikasi Digital Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor di beberapa media tingkat nasional.