Halmahera Wildlife Photography: Ikhtiar Pelestarian Satwa Liar di Maluku Utara Lewat Fotografi

Foto bersama peserta Wildlife Academy 2023 dengan tema “Merawat Keanekaragaman Hayati dan Melawan Perubahan Iklim Bersama Gen Z”. | Foto: Dokumentasi Halmahera Wildlife Photography.
Kerusakan lingkungan dan degradasi ekosistem telah menjadi salah satu isu paling serius yang melanda Maluku Utara, wilayah yang dikenal dengan kekayaan alam dan keanekaragaman hayatinya yang tinggi. Masalah tersebut secara langsung berdampak terhadap satwa-satwa liar di wilayah tersebut, yang sangat bergantung pada habitat alami yang sehat. Di antara berbagai faktor penyebab, ekspansi pertambangan adalah satu yang paling menonjol dan dampaknya meluas ke berbagai aspek.
Lantas, seperti apa persisnya keadaan satwa-satwa liar di Maluku Utara saat ini? Ancaman apa saja yang mengepung mereka? Dewi Ayu Anindita, Ketua Halmahera Wildlife Photography, berupaya menjawab pertanyaan itu berdasarkan wawasan dan pengalamannya, dalam wawancara bersama Green Network Asia (GNA) pada 31 Juli 2025. Halmahera Wildlife Photography (HWP) adalah sebuah komunitas pencinta satwa liar di Maluku Utara yang berupaya memperkenalkan keanekaragaman hayati Maluku Utara kepada masyarakat luas lewat jalan fotografi. Kami juga membahas tentang bagaimana HWP terlibat dalam upaya pelestarian satwa-satwa liar Maluku Utara melalui bidikan kamera mereka.
Satwa Liar di Maluku Utara
Maluku Utara (Malut) merupakan bagian dari kawasan Wallacea, zona transisi unik antara kawasan Asia dan Australia, dengan tingkat endemisitas yang tinggi. Di pulau-pulau besar seperti Halmahera, Bacan, dan Morotai, hidup berbagai jenis satwa liar yang tidak ditemukan di tempat lain di dunia. Beberapa di antaranya seperti burung weka-weka atau bidadari Halmahera (Semioptera wallacii), kakatua putih (Cacatua alba), lebah raksasa Wallacea (Megachile pluto), dan kuskus matabiru (Phalanger matabiru), yang menjadi simbol penting dalam upaya pelestarian. Selain itu, hutan primer di wilayah ini juga menyimpan ekosistem penting bagi berbagai jenis mamalia kecil, reptil, dan serangga endemik, meskipun kini semakin terancam oleh deforestasi dan ekspansi industri tambang.

Keanekaragaman hayati laut Maluku Utara pun tak kalah menonjol. Perairan di sekitar Kepulauan Widi, Mare, hingga Morotai termasuk dalam segitiga terumbu karang dunia (Coral Triangle), yang menjadi rumah bagi ratusan spesies ikan karang, biota laut langka, dan terumbu karang beraneka bentuk.
“Sayangnya, keindahan dan keunikan keanekaragaman hayati Maluku Utara (KehatiMU) belum sepenuhnya dikenal luas oleh masyarakat Malut, seperti yang dikenal oleh para naturalis dunia termasuk Alfred Russel Wallace. Selain itu, di Malut masih sering terjadi perburuan dan perdagangan satwa liar seperti burung paruh bengkok dan junai emas hingga kerusakan hutan yang mengakibatkan hilangnya habitat satwa liar. Beberapa spesies juga mengalami penurunan populasi, seperti kakatua putih. Seperti yang dilaporkan Burung Indonesia bahwa kakatua putih yang saat ini populasinya semakin berkurang sekitar 150.000 individu, yang awalnya 212.000-an individu yang dihitung pada tahun 1992 menjadi sekitar 53.000-an individu pada tahun 2019. Hal-hal tersebut membuat kami resah,” kata Dewi.

Kerusakan dan Hilangnya Habitat
Secara umum, Maluku Utara telah dan sedang menghadapi masalah kerusakan dan hilangnya habitat satwa liar akibat berbagai aktivitas yang tidak bertanggung jawab. Pencemaran lingkungan dari sampah plastik dan limbah industri, serta masifnya alih fungsi lahan hutan, adalah beberapa faktor utama. Penanganan masalah ini menjadi kian rumit karena pemerintah belum menempatkannya sebagai isu prioritas yang harus diatasi.
“Di Sofifi, misalnya, pelestarian satwa liar belum menjadi arus utama. Hal ini terlihat dari alih fungsi lahan yang masif untuk pembangunan infrastruktur perkantoran, perumahan, pertanian hingga sarana rekreasi, yang belum menempatkan isu pelestarian satwa liar sebagai pertimbangan,” ujar Dewi.
Sementara itu, Ternate sendiri menghadapi persoalan sampah yang berlarut-larut, terutama di daerah pesisir pantai dan laut. Dewi mengatakan, “Tak jarang kami menemukan lokasi yang menjadi tempat persinggahan dan tempat mencari makan burung-burung yang bermigrasi dipenuhi sampah plastik. Contohnya di Pantai Sasa. Sampah plastik yang mencemari lautan juga sering dikira makanan oleh hewan-hewan laut. Sudah banyak kasus kematian hewan-hewan laut yang diakibatkan oleh sampah plastik.”
Tidak hanya itu, perubahan iklim hingga ekspansi pertambangan turut memperparah keadaan. “Perubahan iklim membuat satwa-satwa langka di sini semakin rentan karena harus menyesuaikan dengan kondisi iklim dan sumber pangannya. Selain itu, perburuan satwa liar masih terus berlangsung karena penegakan hukum dan sumber daya penegak hukum yang terbatas. Dan ekspansi pertambangan telah menggusur habitat satwa-satwa langka di hutan, serta menyebabkan sedimentasi dan pencemaran laut.”

Halmahera Wildlife Photography: Dari Fotografi untuk Konservasi
Masalah-masalah itulah yang mendorong Dewi dan teman-temannya–Sukardi M. Saleh, Adriel Muda, Iswan Maujud, dan David Kurnia Putra–membentuk Halmahera Wildlife Photography. Terbentuk pada 11 Mei 2020 di Sofifi, HWP sejak awal diniatkan sebagai wadah untuk memperkenalkan keanekaragaman hayati Maluku Utara kepada masyarakat luas, untuk menumbuhkan rasa cinta dan tanggung jawab masyarakat dalam menjaga dan melestarikan mereka, termasuk dengan tetap membiarkan mereka hidup di habitat alami.
HWP memiliki 23 kegiatan yang semuanya bertujuan untuk mendukung pelestarian satwa liar di Maluku Utara. Beberapa di antaranya Malut Bird Walk, Diskusi Sembari Ngopi, Pameran Fotografi Satwa Liar, Torang Camping (T-Camp), Adopsi Sarang Junai Emas, Kampanye KehatiMU, Festival KehatiMU dan KehatiMU Award, Ekspedisi Bidadari Halmahera, Halmahera Bird Race (HBR), Wildlife Academy, dan menerbitkan Buletin KehatiMU. Mereka juga terlibat dalam berbagai proyek penyusunan buku tentang burung-burung migran di Maluku Utara, penelitian dan pendampingan masyarakat, serta agenda-agenda internasional seperti Asian Waterbird Census (AWC) dan World Migratory Bird Day (WMBD).
“Tentu saja dari semua yang sudah kami jalani, ada beberapa yang paling berkesan. Salah satunya ketika kami mengadakan Halmahera Bird Race (HBR) di kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Lomba pengamatan burung yang pertama di Maluku Utara ini mendatangkan para pengamat burung dari berbagai daerah di Maluku Utara maupun dari Pulau Jawa. Mereka unjuk kemampuan dan saling berbagi pengalaman di Pulau Halmahera. Selain itu, lewat kegiatan Wildlife Academy, kami memberikan kesempatan kepada masyarakat Malut untuk ikut belajar bersama dalam melakukan pengamatan satwa liar dengan metode-metode yang ada. Satu lagi, Festival Keanekaragaman Hayati Maluku Utara (Festival KehatiMU). Melalui tiga kegiatan ini, kami dapat membangun jejaring bagi sesama pencinta dan komunitas pelestari satwa liar di tingkat tapak; serta menjadi medium untuk konsolidasi, advokasi, kampanye, dan edukasi isu-isu pelestarian satwa liar di Maluku Utara,” terang Dewi.

Namun, kondisi geografi Maluku Utara yang terdiri atas pulau-pulau, kerap menjadi tantangan yang menyulitkan mereka. “Karena di sini daerah kepulauan, kendalanya lebih ke akses transportasi dan biaya dalam menjangkau kawan-kawan yang ada di daerah lain selain Ternate, khususnya di Malut, baik untuk melakukan kegiatan yang bersifat kampanye dan edukasi, maupun kegiatan penelitian atau pendataan biodiversity, dalam hal ini satwa liar.”
Meski demikian, semangat pantang surut membuat mereka tak terlalu menghiraukan masalah medan yang menantang. Mereka terus berupaya mengampanyekan pelindungan dan pelestarian keanekaragaman hayati Maluku Utara dengan segala keterbatasan, dan berusaha menjalin kolaborasi lintas sektor untuk mencapai tujuan mereka.
“Salah satu contohnya adalah program Adopsi Sarang Junai Emas di pulau terluar Indonesia yang berada di Halmahera Tengah, yaitu Pulau Jiew. Pulau berkarang dengan luas sekitar 18 hektare tersebut menjadi lokasi berbiak terbaik bagi burung junai emas (Caloenas nicobarica) yang dilindungi pemerintah. Bahkan jumlah populasi burung merpati-merpatian tersebut mencapai lebih dari 5.000 individu saat musim berbiak. Saat itu pula masyarakat sekitar dan nelayan yang melewati Pulau Jiew “memanen” burung tersebut untuk dikonsumsi maupun diperjualbelikan. Jumlah burung junai emas yang diambil di pulau itu bisa mencapai ratusan hingga ribuan. Oleh karenanya, upaya pelestarian dengan program adopsi sarang burung mulai dilaksanakan dengan mengajak berbagai pihak,” terang Dewi.
“Melalui kegiatan-kegiatan yang kami lakukan, alhamdulillah, kami telah melahirkan komunitas-komunitas baru yang fokus pada pelestarian satwa liar Malut, seperti Komunitas Pecinta Satwa Liar (KPSL) Akejiri, Ampera Birdlife, dan Tobelo Birdwatcher. Selain itu, kehadiran kami juga membangkitkan kembali semangat komunitas-komunitas yang telah lebih dulu hadir, seperti Komunitas Pelestarian Satwa Sibela dan Pulo Tareba,” Dewi melanjutkan.

Pelestarian Satwa Liar adalah Tugas Bersama
Upaya di tingkat tapak seperti yang dilakukan HWP memang penting dan berarti dalam mendukung pelestarian satwa liar dan habitatnya. Namun pemerintah, khususnya pemerintah daerah, harus meningkatkan tanggung jawab melalui penguatan regulasi dan berbagai program yang melibatkan partisipasi yang bermakna dari masyarakat lokal. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pengarusutamaan Pelestarian Keanekaragaman Hayati dalam Pembangunan Berkelanjutan dapat menjadi pijakan bagi pemerintah daerah untuk memperkuat regulasi dan kebijakan. Dan pada saat yang sama, dunia usaha juga harus meningkatkan komitmen dan tanggung jawab dengan menerapkan praktik-praktik yang berkelanjutan di seluruh rantai nilai dan rantai pasoknya.
“Gelombang krisis biodiversitas berdampak luas, termasuk terhadap manusia. Deforestasi hutan dan penghilangan ruang habitat satwa liar berpotensi membuat kontak antar manusia dan satwa semakin intens. Jika langkah pencegahan terhadap kondisi ini tidak secepatnya diambil, akan terjadi konflik antara satwa liar dan manusia. Selain itu, kontak ini juga potensial berimbas pada penyebaran patogen yang mengancam kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, pelestarian satwa liar adalah tugas kita bersama. Pemerintah dapat mendukung melalui regulasi, pihak swasta lewat pendanaan, sedangkan komunitas atau masyarakat sipil dapat berkontribusi dengan aksi-aksi sukarela,” tutur Dewi.

Berlangganan GNA Indonesia
Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan wawasan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Amar adalah Manajer Publikasi Digital Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor di beberapa media tingkat nasional.