Ellena Yusti Meneliti Kelelawar untuk Bantu Jaga Keseimbangan Ekosistem Hutan
Ellena Yusti adalah seorang chiropterologist (peneliti kelelawar) asal Banda Aceh. Tingginya keanekaragaman hayati Indonesia adalah sumber inspirasi yang menuntunnya mendalami hewan mamalia terbang ini. Persentuhannya dengan kelelawar telah berlangsung selama satu dekade terakhir.
Berawal dari rasa ingin tahu yang tinggi, perempuan lulusan program studi Biosains Hewan dari Institut Pertanian Bogor itu memilih fokus pada kelelawar karena hewan tersebut memainkan peran penting dalam menjaga ekosistem hutan, yakni sebagai penyerbuk (polinasi) serta pemencar biji-bijian berbagai jenis tumbuhan, serta predator alami yang secara tidak langsung membantu manusia dalam memberantas hama pertanian dan penyakit.
“Saya memilih fokus pada kelelawar karena hewan ini memiliki peranan penting dalam keseimbangan ekosistem dan bermanfaat bagi kehidupan manusia, serta studi mengenai kelelawar di Indonesia masih relatif jarang,” kata Ellena kepada Green Network.
Meneliti di Beberapa Hutan Indonesia
Sejak 2013, Ellena telah melakukan sejumlah riset tentang kelelawar di berbagai ekosistem dan kawasan hutan di Indonesia. Antara lain di Pegunungan Bawakaraeng, Makassar tahun 2013; perkebunan kelapa sawit di Jambi melalui Collaborative Research Center 990- EFForTS and Access Benefit Sharing (2017-2019), dan di kawasan hutan Seulawah Aceh yang didanai oleh Nagao Environmental Foundation (2018). Lewat penelitian yang ia lakukan, Ellena ingin berkontribusi terhadap upaya perlindungan habitat dan populasi kelelawar, yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap kesehatan ekosistem.
“Jika habitat mereka rusak maka jasa lingkungan yang diberikan oleh kelelawar akan berkurang dan mengganggu kesehatan ekosistem. Salah satunya akan terjadi penurunan kualitas produk pertanian yang nantinya berujung pada menurunnya nilai ekonomi. Di lain sisi, rusaknya habitat satwa liar termasuk kelelawar akan menimbulkan penyebaran penyakit. Jika habitatnya rusak, maka hewan-hewan liar (bukan hanya kelelawar) akan hidup dekat dengan pemukiman manusia, dan penyakit yang tadinya hanya ada di tubuh hewan, dapat berpindah ke manusia. Dalam hal ini, manusia bergantung pada kelelawar dan satwa liar lainnya demi ekosistem yang sehat. Hewan-hewan itu menyediakan jasa-jasa lingkungan yang kita butuhkan,” kata Ellena.
Kelelawar Bukan Pembawa Virus Sars-Cov 2
Perihal anggapan bahwa kelelawar adalah hewan pembawa virus, tak terkecuali virus Sars-Cov 2 penyebab COVID-19, Ellena menegaskan bahwa pemahaman itu perlu diluruskan. Sepengalaman Ellena, banyak masyarakat hidup sehat berdampingan dengan kelelawar yang bersarang di pohon-pohon, gua, dan bangunan.
“Mereka bukan penyebar penyakit. Munculnya penyakit baru justru erat kaitannya dengan laju deforestasi yang tinggi, perubahan iklim, dan juga perdagangan hewan liar untuk dikonsumsi. Sehingga, virus yang tadinya hanya ada di satwa liar, akan spill-over ke hewan lain sebagai perantara, lalu menginfeksi manusia. Itu pun jika DNA/RNA virus tersebut cocok dengan inang barunya,” kata Ellena.
“Perlu dicatat bahwa penularan Virus Sars Cov-2 terjadi antara manusia ke manusia, bukan dari hewan ke manusia. Virus-virus ini kemudian terus bermutasi di tubuh inangnya. Dalam hal ini Sars Cov 2 terus bermutasi di tubuh manusia. Sampai saat ini kita banyak menemukan varian baru Sars Cov 2 penyebab COVID-19. Bukan tidak mungkin, varian lainnya akan muncul,” Ellena melanjutkan.
Saat ini banyak terjadi kerusakan habitat kelelawar akibat penebangan hutan dan eksploitasi ekosistem gua yang merupakan habitat tinggal (bergantung) semakin berkurang. Akibatnya populasi kelelawar di habitat asli terus semakin menurun. Perburuan untuk konsumsi juga berkontribusi terhadap populasi kelelawar yang semakin menurun.
“Jika hal ini terus menerus terjadi, tidak hanya kelelawar saja, namun juga satwa liar lainnya juga akan terancam mengalami penurunan populasi,” kata Ellena, yang merupakan Accelerator di Women’s Earth Alliance (WEA).
Kontribusi untuk Penentuan Regulasi Perlindungan Satwa
Sembari aktif meneliti kelelawar, Ellena turut berkampanye di berbagai forum tentang pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Ellena juga menjadi sukarelawan untuk Operasi Wallacea di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, di mana dia bekerja dengan mahasiswa internasional untuk melakukan penelitian dan pendidikan tentang pentingnya ekologi kelelawar.
Pada tahun 2018, Ellena berpartisipasi dalam International Bat Conference di Bacolod, Filipina, melalui Southeast Asian Bat Conservation Research Unit Fellowship. Ia percaya bahwa kesehatan ekosistem dapat dicapai melalui pendidikan masyarakat yang berkelanjutan.
“Dengan adanya studi dan perkembangan penelitian mengenai kelelawar dan satwa liar lainnya, kita dapat memberikan informasi yang terukur sehingga dapat berkontribusi pada regulasi mengenai perlindungan satwa liar dan ekosistemnya,” ujar Ellena menambahkan.
Selain meneliti kelelawar, Ellena menjalankan program Education for Nature oleh WWF-US bersama Natural Aceh dengan melibatkan komunitas perempuan petani di Desa Alue Naga, Banda Aceh, dan mahasiswa di beberapa universitas. Program tersebut memanfaatkan tindakan pencegahan perubahan iklim, seperti mendidik anggota masyarakat tentang peran perempuan dalam perubahan iklim dan pentingnya mangrove sebagai benteng pertahanan dari bencana.
Kami harap konten ini bermanfaat bagi Anda.
Berlangganan Green Network Asia – Indonesia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua kabar dan cerita yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan keberlanjutan (sustainability) di Indonesia dan dunia.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Di dunia profesional, ia memiliki pengalaman sepuluh tahun bekerja di bidang jurnalisme di beberapa media sebagai reporter dan editor.