Skip to content
  • Tentang
  • Bermitra dengan Kami
  • Internasional
  • Berlangganan
  • Log In
Primary Menu
  • Beranda
  • Terbaru
  • Topik
  • Kabar
  • Ikhtisar
  • Wawancara
  • Opini
  • Figur
  • Infografik
  • Video
  • Komunitas
  • Partner
  • Siaran Pers
  • Muda
  • Dunia
  • Konten Komunitas
  • Unggulan

Indonesia Butuh Lebih Banyak Climate Realist

Menjadi seorang realis terhadap iklim berarti kita perlu melihat kompleksitas dan berbagai aspek dekarbonisasi.
Oleh Aufar Satria dan Nadia Habibie
6 Mei 2024
aktivis iklim anak berunjuk rasa sambil membawa poster

Foto: Aufar Satria.

Bayangkan Anda adalah pemimpin generasi penerus Indonesia yang cerdas, muda, dan gilang gemilang—yang ingin menjadi pahlawan dunia. Anda belajar bahwa perubahan iklim adalah masalah utama yang generasi Anda hadapi. Anda menyaksikan berita tentang hancurnya rumah dan mata pencaharian banyak orang akibat banjir, kenaikan permukaan air laut, kebakaran hutan, dan sebagainya—yang semuanya disebabkan oleh perubahan iklim. Namun, meskipun ambisi dan urgensi untuk menyelesaikan permasalahan iklim sangat tinggi, kita telah belajar dari pengalaman bahwa dalam menghadapi perubahan iklim, penting bagi kita untuk menjadi seorang climate realist.

Ambisi untuk Memecahkan Masalah Iklim

Setelah membaca berita, Anda jadi tahu kalau perekonomian Indonesia didorong oleh bahan bakar fosil, dimana hampir dua pertiga bauran energi Indonesia didominasi oleh batu bara. Dampak buruk bahan bakar fosil terhadap lingkungan mungkin akan mendorong Anda untuk berteriak lantang, ‘Tutup pembangkit listrik tenaga batu bara sekarang!’ atau ‘Hentikan produksi minyak sekarang juga!’

Namun tunggu dulu. Apakah desakan Anda itu bijaksana? Sekilas, desakan untuk segera menutup pembangkit-pembangkit tersebut dan mengurangi produksinya mungkin tampak menarik untuk menyelesaikan tantangan dekarbonisasi di Indonesia. Namun, tanpa rencana dan prosedur yang tepat, langkah-langkah tersebut dapat mengganggu keberlangsungan industri, sehingga dapat menyebabkan peningkatan pengangguran, ketidakstabilan ekonomi, dan kerusuhan sosial.

Kita lalu menyadari bahwa penyelesaian masalah dekarbonisasi di Indonesia pada kenyataannya jauh lebih rumit dari itu. Permasalahan ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana mencapai keseimbangan yang tepat antara kelestarian lingkungan dan pertumbuhan ekonomi.

Sebagai aktivis iklim, kita berharap dapat berkontribusi untuk mencapai emisi nol bersih Indonesia. Namun, kita harus melihat dilema kompleks ini dengan realisme iklim sebagai penangkal upaya dekarbonisasi yang buta dan ekstrem. Tanpa paradigma ini, kita berisiko mempertaruhkan perekonomian dan agenda sosial penting lainnya.

Aspek Dilematis dari Dekarbonisasi

Menjadi seorang climate realist berarti kita perlu melihat berbagai aspek dekarbonisasi. Indonesia bercita-cita menjadi negara sejahtera pada pertengahan abad ini. Namun, PDB per kapita negara ini masih sangat kecil dibandingkan negara-negara yang sudah sejahtera. Untuk mengejar ketertinggalan tersebut, Indonesia perlu menyelesaikan krisis-krisis mendesak seperti kemiskinan, kesenjangan ekonomi, dan kesenjangan pendidikan.

Selain semua permasalahan tersebut, Indonesia juga perlu menyelesaikan permasalahan perubahan iklim. Menteri Keuangan melaporkan bahwa biaya untuk mencapai emisi nol bersih berkisar antara 1-3 triliun dolar AS. Jumlah ini setara dengan keseluruhan PDB tahunan Indonesia dan belanja tahunan selama 15-20 tahun. Dekarbonisasi akan berdampak pada keseimbangan fiskal negara, terutama defisit dan rasio utang terhadap PDB, yang mengharuskan investor swasta mengalokasikan lebih banyak dana untuk dekarbonisasi.

Menteri juga sangat merekomendasikan pemotongan subsidi bahan bakar untuk mempromosikan sumber energi yang lebih berkelanjutan. Selain itu, peningkatan bauran energi terbarukan akan menyebabkan kenaikan harga listrik. Jika kita, sebagai suatu bangsa, memutuskan untuk melakukan transisi secara tiba-tiba, tanpa transisi dan perencanaan yang tepat, diperlukan modal awal dan oleh karena itu, inflasi dapat terjadi.

Di sisi lain, kita harus mempertimbangkan keadilan iklim, dengan menekankan konsep ilmiah “emisi kumulatif global dan historis”. Negara-negara maju, yang mengeluarkan emisi sejak Revolusi Industri, bertanggung jawab atas ~80% emisi dunia. Sekalipun negara-negara berkembang seperti Indonesia telah mencapai dekarbonisasi, perubahan iklim tidak akan berhenti karena secara historis kita bukanlah kontributor emisi yang besar.

Pada saat yang sama, bahaya perubahan iklim juga harus dipertimbangkan. Indonesia termasuk negara dengan indeks kerentanan iklim tertinggi. Perkiraan biaya yang harus ditanggung oleh generasi masa depan Indonesia terlalu besar untuk diabaikan.

Bagaimana menjadi Climate Realist?

Sekarang, kita tahu bahwa dekarbonisasi tidaklah mudah. Lalu, gagasan apa yang bisa memadukan urgensi tantangan iklim tanpa mengorbankan pembangunan dan kebutuhan sosial Indonesia yang unik?

Jawabannya terletak pada cara pandang yang melihat dekarbonisasi bukan sebagai beban, melainkan peluang. Memprioritaskan inisiatif mitigasi iklim dengan mempertimbangkan industrialisasi dapat menghasilkan manfaat ekonomi dan sosial yang positif.

Misalnya, kita membangun panel surya lokal dan fasilitas manufaktur baterai. Dunia, termasuk Indonesia, akan membutuhkan banyak panel surya dan baterai untuk memenuhi target dekarbonisasi. Ketika kita dapat memproduksi panel dan baterai secara mandiri, kita dapat memperoleh pendapatan ekspor dan menghemat banyak pengeluaran impor. Berinvestasi pada industri ramah lingkungan lokal juga dapat meningkatkan sumbangsih manufaktur terhadap PDB, yang telah menurun selama 20 tahun terakhir. Lapangan kerja berkualitas tinggi akan tercipta dan pengganda ekonomi akan mulai berlaku. Hal ini telah terjadi di China dalam dekade terakhir; dan industri ini telah berkembang pesat.

Jawaban lainnya adalah mendorong solusi iklim melimpah yang berasal dari karakteristik bio-regional kita yang unik. Indonesia diberkati dengan tiga pilar penting untuk transisi energi: sumber daya energi rendah karbon yang melimpah (~3.868 GW kapasitas energi terbarukan), mineral penting yang dapat dialirkan menjadi produk ramah lingkungan (seperti nikel dan kobalt), serta alam yang luas dan solusi berbasis biologis (misalnya biomassa dan nature capture). Dengan memanfaatkan anugerah ini, ditambah dengan fokus industrialisasi, Indonesia dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang kuat sekaligus mencapai tujuan keberlanjutan.

Peluang tersebut tentunya tidak bisa diwujudkan hanya oleh segelintir orang. Kita memerlukan keterlibatan dari semua ‘climate realist’ yang terbaik dan paling cemerlang di luar sana. Jadi, kembali kepada Anda, para pemimpin generasi penerus bangsa yang cerdas, muda, dan menjanjikan: apa yang bisa Anda lakukan?

Jika memungkinkan, pelajari teknologi iklim di luar negeri dan bawa pulang keahlian tersebut ke Indonesia untuk dikembangkan menjadi industri. Terlibatlah dalam dialog kebijakan publik berkelanjutan yang konstruktif, bukan destruktif, yang dapat diwujudkan menjadi tindakan nyata. Dan yang terakhir, sebarkan kesadaran untuk menarik lebih banyak ‘climate realist’. Gunakan platform Anda, seperti media sosial, untuk mengkomunikasikan urgensi aksi iklim dan yang paling penting, sampaikan cerita mengenai banyaknya peluang menarik dari dekarbonisasi ini.

Masa depan apakah Indonesia dapat mencapai emisi nol bersih sekaligus keluar dari “middle income trap” dan mewujudkan Indonesia Emas 2045 kini berada di tangan kita.

Editor: Kresentia Madina

Penerjemah: Abul Muamar

Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.


Berlangganan Green Network Asia – Indonesia
Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan wawasan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Pilih Paket Langganan

Aufar Satria
+ posts Bio

Aufar adalah mahasiswa pascasarjana Harvard Kennedy School dengan pengalaman di bidang konsultasi manajemen, pemerintahan, dan sektor swasta. Beliau juga menjabat sebagai Komisaris Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (SRE), meraih gelar MBA dari University of Cambridge, dan B.Sc. dari Institut Teknologi Bandung (ITB).

  • Aufar Satria
    https://greennetwork.id/author/aufar/
    Dekarbonisasi di Negara Berkembang Perlu Lebih dari Sekadar Pembiayaan Iklim
Nadia Habibie
+ posts Bio

Nadia adalah Sekretaris Jenderal di The Habibie Center dengan pengalaman profesional lebih dari 7 tahun di sektor swasta dan pemerintahan. Dia memegang gelar MSc dari Imperial College Business School, dan B.A. dari Universitas Chicago.

    This author does not have any more posts.

Continue Reading

Sebelumnya: Bagaimana Suku Kajang Mengelola dan Melestarikan Hutan dengan Kearifan Lokal
Berikutnya: Dekarbonisasi di Negara Berkembang Perlu Lebih dari Sekadar Pembiayaan Iklim

Artikel Terkait

lanskap lautan dengan kawasan industri di daratan Mengulik Dampak Lingkungan dan Kesehatan dari Industri Nikel di Teluk Weda
  • Eksklusif
  • Ikhtisar
  • Unggulan

Mengulik Dampak Lingkungan dan Kesehatan dari Industri Nikel di Teluk Weda

Oleh Abul Muamar
16 Juni 2025
Kain putih dikeringkan di tali jemuran Mengarusutamakan Tekstil Ramah Lingkungan untuk Dukung Keberlanjutan Industri Pakaian
  • Kabar
  • Unggulan

Mengarusutamakan Tekstil Ramah Lingkungan untuk Dukung Keberlanjutan Industri Pakaian

Oleh Attiatul Noor
16 Juni 2025
dua tangan mendekatkan puzzle Kolaborasi Indonesia-PBB dalam Penyediaan Lapangan Kerja dan Perlindungan Sosial
  • Eksklusif
  • Kabar
  • Unggulan

Kolaborasi Indonesia-PBB dalam Penyediaan Lapangan Kerja dan Perlindungan Sosial

Oleh Abul Muamar
13 Juni 2025
a bunch of dumped circuit boards Mengurangi Limbah Elektronik dengan Material yang Dapat Didaur Ulang dan Diperbaiki
  • Eksklusif
  • Kabar
  • Unggulan

Mengurangi Limbah Elektronik dengan Material yang Dapat Didaur Ulang dan Diperbaiki

Oleh Dinda Rahmania
13 Juni 2025
dua botol berisi jamu beras kencur dan kunyit asem serta rempah lainnya di atas talenan kayu Jamu dan Perannya dalam Mendukung Keberlanjutan
  • Kabar
  • Unggulan

Jamu dan Perannya dalam Mendukung Keberlanjutan

Oleh Kesya Arla
12 Juni 2025
tampak samping tangan dengan tampilan yang buram sedang mengetik di laptop Benarkah Menghapus Email dapat Membantu Selamatkan Bumi?
  • Ikhtisar
  • Unggulan

Benarkah Menghapus Email dapat Membantu Selamatkan Bumi?

Oleh Sukma Prasanthi
12 Juni 2025

Tentang Kami

  • Founder’s Letter GNA
  • Tim In-House GNA
  • Jaringan Author GNA
  • Panduan Siaran Pers GNA
  • Panduan Artikel Opini GNA
  • Panduan Konten Komunitas GNA
  • Pedoman Media Siber
  • Internship GNA
  • Hubungi Kami
  • Ketentuan Layanan
  • Kebijakan Privasi
© 2021-2025 Green Network Asia - Indonesia.