Tingkat Kesuburan Korea Selatan Terus Menurun hingga ke Rekor Terendah
Korea Selatan telah menjadi sebuah kekuatan ekonomi dan budaya yang signifikan di dunia setidaknya dalam dua dekade terakhir. Pengaruh budayanya menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, melalui K-pop, K-drama, dan makanan Korea yang populer. Namun, di tengah kejayaannya, Korea Selatan menghadapi persoalan serius terkait tingkat kesuburan yang rendah, yang mengancam populasi di negara tersebut. Tingkat kesuburan Korea Selatan bahkan terus menurun dalam beberapa tahun terakhir, hingga mencapai rekor terendah dunia.
Populasi Global dan Konteks Korea Selatan
Sebuah penelitian pada tahun 2023 yang mengintegrasikan berbagai aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan memproyeksikan adanya penurunan populasi dunia pada abad 22. Tren populasi saat ini berbeda dari satu negara ke negara lain.
Secara umum, setiap negara memerlukan tingkat kesuburan minimum untuk bertahan hidup. Di luar faktor migrasi, suatu negara memerlukan tingkat kesuburan minimal 2,1 anak per perempuan untuk mempertahankan populasinya.
Dalam 60 tahun terakhir, tingkat kesuburan Korea Selatan terus menurun dalam waktu yang relatif singkat. Penurunan ini dimulai pada tahun 1960-an ketika pemerintah mengadopsi program perencanaan ekonomi dan program kependudukan & keluarga berencana untuk meningkatkan perekonomian negara dan masyarakat setelah Perang Korea.
Pada tahun 1960, angka kesuburan total hanya di bawah enam anak per perempuan. Sejak tahun 1984, tingkat kesuburan Korea Selatan secara konsisten berada di bawah angka 2,1. Kini, berdasarkan statistik awal resmi pemerintah yang diumumkan pada Februari 2024, tingkat kesuburan total di Korea Selatan mencapai rekor terendah dunia, yakni 0,72 anak per perempuan. Pada saat yang sama, Korea Selatan mengalami penurunan populasi karena negara tersebut mengalami lebih banyak kematian dibanding kelahiran.
Yang Mempengaruhi Tingkat Kesuburan Korea Selatan
Pemerintah Korea Selatan telah menginvestasikan lebih dari 270 miliar USD dalam program yang bertujuan untuk meningkatkan angka kesuburan. Di antaranya subsidi, insentif, pengobatan infertilitas, dan beberapa program lainnya. Bahkan, perusahaan swasta pun telah membuat programnya sendiri. Namun, seluruh upaya yang ada masih belum membuahkan hasil.
Menurut warga dan para ahli, tingginya biaya hidup, budaya kerja, dan sistem pendidikan yang mahal dan melelahkan merupakan tantangan utama dalam memiliki anak. Orang-orang Korea dewasa khawatir akan kurangnya perumahan yang terjangkau, tekanan ekstrem dalam pendidikan anak-anak, dan biaya pendidikan swasta yang mahal.
Selain itu, budaya patriarki yang lazim di Korea Selatan juga masih menjadi kendala. Sebagai negara dengan kesenjangan upah berbasis gender terburuk menurut OECD, sulit bagi perempuan Korea untuk mencapai posisi kepemimpinan atau sekadar mempertahankan pekerjaan setelah memiliki anak. Meskipun pemerintah Korea Selatan memberikan cuti ayah, faktanya hanya 7% ayah baru yang memanfaatkan hak tersebut.
“Di Korea, masih ada budaya umum yang memandang bahwa melahirkan anak dan semua aspek pengasuhan anak adalah sepenuhnya tanggung jawab perempuan,” ujar Hyobin Lee, akademisi Korea Selatan yang memilih untuk memprioritaskan kariernya. “Tantangan dalam mengelola persalinan dan pengasuhan anak secara bersamaan sangatlah berat sehingga banyak perempuan memilih untuk tidak memiliki anak sama sekali.”
Perlu Perubahan Sistemik
Menurunnya angka kesuburan di Korea Selatan menunjukkan keterkaitannya berbagai aspek kehidupan, pembangunan, dan politik. Masalah ini perlu diatasi dengan perubahan sistemik, yang diawali dengan menggali secara mendalam masalah struktural yang ada di masyarakat dan mengungkap budaya-budaya yang merugikan terkait kesetaraan gender. Bagaimanapun, masa depan yang lebih baik adalah masa depan yang merangkul semua orang, termasuk perempuan dan anak-anak.
Penerjemah: Abul Muamar
Versi asli artikel ini diterbitkan dalam bahasa Inggris di platform media digital Green Network Asia – Internasional.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Naz adalah Manajer Editorial Internasional di Green Network Asia. Ia pernah belajar Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota dan tinggal di beberapa kota di Asia Tenggara. Pengalaman pribadi ini memperkaya persepektifnya akan masyarakat dan budaya yang beragam. Naz memiliki sekitar satu dekade pengalaman profesional sebagai penulis, editor, penerjemah, dan desainer kreatif.