Korea Selatan Tinjau Ulang Rencana Aturan 69 Jam Kerja Sepekan

Foto: HANVIN CHEONG di Unsplash.
Bekerja adalah bagian dari hidup. Namun, pekerjaan tidak semestinya merenggut kesehatan dan kesejahteraan kita. Upah yang adil, jam kerja yang jelas, dan peraturan yang tepat, diperlukan untuk memastikan pekerjaan yang layak bagi semua pekerja. Di Korea Selatan, pemerintah negara itu baru-baru ini memperkenalkan rencana aturan 69 jam kerja per pekan. Tak pelak, rencana ini menerima respons tak menyenangkan dari masyarakatnya.
69 jam kerja
Pada awal Maret, Kementerian Tenaga Kerja Korea Selatan mengumumkan rancangan undang-undang (RUU) untuk menaikkan batas jam kerja menjadi 69 jam per pekan. Undang-undang saat ini mengizinkan maksimal 52 jam kerja per pekan, yang terdiri dari 40 jam kerja reguler dan 12 jam lembur.
Umumnya, lembur dihitung mingguan dengan batas 12 jam. Dalam RUU yang diusulkan, pemberi kerja dan karyawan dapat menyepakati periode penghitungan bulanan atau bahkan tahunan. Untuk waktu penghitungan lebih dari sebulan, batas waktu lembur dinaikkan menjadi 29 jam per pekan, sehingga jam kerja maksimum menjadi 69 jam per pekan. Kemnaker Korsel mengklaim bahwa tujuan di balik sistem ini adalah untuk mengakomodir fleksibilitas yang lebih tinggi bagi pekerja untuk beristirahat.
Sekilas, ide ini terkesan kontraintuitif. Bagaimana mungkin batas waktu lembur yang ditambah dapat meningkatkan fleksibilitas pekerja? Seperti dilansir Reuters, pemerintah Korsel bermaksud agar para pekerja dapat mengumpulkan jam lembur ketika mereka merasa paling nyaman dan menukarnya dengan waktu istirahat di kemudian hari. Selain itu, juga memungkinkan pekerja musiman untuk beristirahat selama musim sepi.
“Jika Anda bekerja di pabrik es krim, misalnya, Anda dapat bekerja lembur secara musiman, kemudian menghemat jam kerja dan menggunakannya nanti untuk liburan yang lebih lama,” ujar Menteri Tenaga Kerja Korea Selatan Lee Jung-sik.
Tingkat fertilitas terendah
Kebijakan jam kerja yang lebih fleksibel ini berangkat dari rendahnya tingkat kesuburan (fertilitas) di Korsel. Tingkat kesuburan mengindikasikan rata-rata jumlah anak yang diharapkan lahir per perempuan. Pada tahun 2022, tingkat kesuburan di Korsel menjadi yang terendah di dunia, dengan angka 0,78. Adapun angka rata-rata yang diperlukan adalah 2,1 untuk mempertahankan populasi yang stabil tanpa harus melakukan migrasi.
CNN melaporkan, tingkat kesuburan di Korsel telah mengalami penurunan sejak 2015. Budaya kerja yang menuntut dijadikan sebagai salah satu alasan pergeseran demografis. Data OECD mengungkapkan bahwa pekerja di Korsel menghabiskan rata-rata 1.915 jam kerja setiap tahun, tertinggi kelima secara global.
“Semakin sedikit perempuan yang ingin memiliki bayi, karena mereka menyadari bahwa memiliki bayi akan mengakhiri karir mereka, secara efektif,” kata Cho Hee-kyung, profesor di Fakultas Hukum Universitas Hongik, seperti dilansir NBC News. “Dengan jam kerja yang panjang, para ayah juga tidak dapat berpartisipasi dengan baik dalam pengasuhan anak.”
Langkah mundur
Pengaturan waktu lembur yang fleksibel merupakan salah satu upaya pemerintah Korsel untuk mendorong masyarakatnya agar lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengasuh anak dan meningkatkan pertumbuhan keluarga. Namun, kegemparan publik yang ditimbulkan memaksa pemerintah Korsel untuk mengevaluasi RUU tersebut.
Dalam pernyataannya, Konfederasi Serikat Pekerja Korea menyampaikan keprihatinan atas ketidakjelasan batas atas jam kerja harian dan jaminan waktu istirahat, yang berarti dapat menyebabkan jam kerja panjang tanpa istirahat. Demikian pula, Persatuan Asosiasi Perempuan Korea juga mengkritik RUU tersebut, yang menyatakan bahwa jam kerja yang panjang akan “membebaskan” laki-laki dari tanggung jawab rumah tangga dan akhirnya membebani perempuan sebagai pengasuh yang diakui secara tradisional.
Rencana 69 jam kerja ini juga berlawanan dengan negara-negara lain di dunia, yang telah berusaha mengurangi hari kerja yang dimandatkan. Menyusul reaksi publik, Presiden Korsel Yoon Suk Seol menginstruksikan kabinetnya untuk meninjau ulang “proposal jam kerja per pekan” itu dengan mendengarkan opini publik selama periode pra-pengumuman. Dia juga menyatakan bahwa “angka 60 jam kerja dalam sepekan mesti menjadi batasnya.”
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli dari artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Jika Anda melihat artikel ini bermanfaat, berlangganan Newsletter Mingguan kami untuk mengikuti kabar dan cerita seputar pembangunan berkelanjutan dari komunitas multistakeholder di Indonesia dan dunia.
Madina adalah Reporter & Peneliti In-House untuk Green Network Asia. Dia meliput Global, Asia Tenggara, Asia Timur, dan Australasia.