Skip to content
  • Tentang
  • Bermitra dengan Kami
  • Asia
Primary Menu
  • Beranda
  • Topik
  • Terbaru
  • Kabar
  • Ikhtisar
  • Wawancara
  • Figur
  • Opini
  • Komunitas
  • Muda
  • Dunia
  • SDGs
  • Event
  • Pelatihan
  • #LetterfromtheFounder
  • Wawancara

Petani Muda, Kelembagaan, dan Ketahanan Pangan Indonesia

"Sering kali para petani dan konsumen berjalan sendiri-sendiri, padahal dalam konsep Community-Supported Agriculture (CSA), satu petani bisa menanam berbagai jenis sayuran lalu menyuplai ke rumah tangga."
Oleh Inez Kriya
24 September 2021
Kebun yang dibudidayakan oleh para petani muda Sukabumi

Kebun Citengkas, terletak di Gunungguruh, lahan milik desa yang disewa oleh beberapa petani. | Foto: Dok. Pribadi

Sejak lima tahun terakhir, banyak komunitas dan gerakan petani-petani muda yang peduli pada kondisi pertanian Indonesia. Mereka tumbuh, berkembang, dan menyebar dengan ilmu-ilmu pertanian yang berkelanjutan, membagikannya pada petani-petani di lapisan terbawah.

Dipa, yang kerap menyuarakan pendapatnya tentang pertanian melalui akun Twitter @tanikelana, adalah salah satu pemuda yang peduli dengan kondisi agraria di negeri ini. Lulusan Ilmu Hubungan Internasional (HI) UGM ini mengaku memiliki ketertarikan di bidang pertanian sejak duduk di bangku SMA, dan dengan proses pembelajaran yang ia tekuni, Dipa yang kini fokus bertani di Sukabumi juga melihat ada kaitan erat antara pertanian dengan pembangunan berkelanjutan.

Bersama teman-temannya, Dipa juga membentuk wadah untuk Co-Farming Space, bernama Ruang Kayahara. Sebagai hilir kegiatannya, Ruang Kayahara menjalankan program Community-Supoorted Agriculture (CSA).

Green Network berkesempatan berbincang dengan Dipa melalui panggilan telepon pada Senin, 30 Agustus 2021 lalu.

Sosok Dipa, petani muda. | Foto: Dok. Pribadi

Dipa menyebutkan sempat meneliti tentang perbedaan produksi beras Indonesia dengan Thailand. Boleh jelaskan sedikit?

Secara statistik, populasi Thailand lebih sedikit dibandingkan Indonesia, sehingga itu berpengaruh terhadap konsumsi beras Indonesia yang tentu lebih banyak. Dan sayangnya, hal ini ikut berkaitan dengan tren penurunan luas sawah serta hal-hal lainnya.

Kemudian, dari segi kebijakan—mungkin dari era pemerintahan Presiden Soeharto—tidak ada pemetaan yang jelas tentang arah pembangunan produksi beras nasional. Itu yang paling kelihatan. Memang dulu Presiden Soeharto memulai dengan Revolusi Hijau dan transmigrasi, serta ada juga kebijakan Lahan Gambut Satu Juta Hektar, tapi itu tampak berjalan tanpa tujuan yang jelas.

Bahkan sampai sekarang, ada program revitalisasi pertanian dan peternakan, tapi seperti tidak ada strategi yang jelas dan tidak ada keberpihakan serta otoritas formal yang terarah.

Menariknya, di Thailand, Thaksin Shinawatra dulu berhasil mengumpulkan suara penduduk dari kebijakan tentang penanganan beras yang dilakukan oleh pemerintah dengan dana APBN. Nah, di Indonesia, politisi kita kurang punya gambaran tentang bagaimana memanfaatkan mesin negara untuk mendukung kepentingan populis. Meskipun, saya juga bersyukur itu tidak terjadi, karena akan ada bahaya tersendiri bagi masyarakat.

Selama 5 tahun terakhir, apakah ada perubahan dalam kondisi pertanian Indonesia?

Kalau kita lihat secara legislatif, di akhir tahun 2018 ada RUU Budidaya Pertanian Berkelanjutan, RUU Koperasi, dan ada RUU Pertanahan yang pasal-pasalnya kurang berpihak pada petani. Misalnya, pasal dalam RUU Budidaya Pertanian Berkelanjutan sangat mengancam kedaulatan dan keragaman benih lokal di Indonesia. Jadi cukup jelas bahwa kondisi yang ada belum berubah menjadi lebih baik.

Banyak sekali anak-anak muda perkotaan yang belum terlalu paham atau tidak tertarik untuk belajar dan mendalami topik pertanian karena menganggap bahwa bertani bukanlah pekerjaan yang menjanjikan. Apakah kondisi serupa juga ditemui di wilayah pedesaan?

Sayangnya, iya. Kalau kita melihat data, daerah-daerah penghasil beras seperti Indramayu, Cianjur, dan Sukabumi punya tingkat kemiskinan pedesaan yang cukup tinggi. Bahkan daerah penghasil tembakau seperti Kedu dan Temanggung juga termasuk daerah miskin, padahal mereka adalah petani tembakau. Menyedihkan jika melihat daerah pedesaan malah jadi salah satu daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Ini semua ada di data, jadi bukan hanya sekadar mitos atau anggapan.

Konteks ini juga berlaku untuk perkebunan sayuran dan buah?

Sebetulnya ini menarik. Soal sayuran dan buah, memang ada anggapan bahwa di sana lebih menjanjikan, tapi ada juga fakta yang perlu digarisbawahi, yaitu adanya volatilitas pasar yang begitu tinggi. Makanya sering terjadi fenomena harga produk hari ini begitu tinggi, tapi besoknya harga tiba-tiba hancur. Artinya, margin untuk hutang atau penggantian kerugian bagi petani juga tinggi.

Menurut Dipa, bagaimana potensi pertanian perkotaan atau urban farming untuk ketahanan pangan?

Selama ini, salah satu faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan adalah jarak distribusi dari petani ke konsumen. Oleh karena itu, pertanian perkotaan adalah salah satu aspek penting untuk perbaikan sistem pangan. Tapi di konteks ini, kita juga perlu melihat kembali siapa pelaku pertanian perkotaan. Ketika aktor yang berada di baliknya adalah orang-orang yang punya lahan atau yang memiliki kapital luas, dan model pertanian yang dibangun adalah pertanian industrial, ini tidak akan menyelesaikan masalah pangan.

Tapi ketika kita melihat pertanian perkotaan sebagai gerakan sosial, yang menciptakan lapangan kerja untuk kaum miskin perkotaan, atau membangun sistem pangan solidaritas, inilah yang bisa jadi salah satu alternatif dan harapan. Banyak sekali potensi yang bisa digali.

Sudut lain kebun Citengkas, Sukabumi. | Foto: Dok. Pribadi

Idealnya, model pertanian perkotaan seperti apa yang bisa jadi bagian dari solusi jika tidak banyak lahan yang tersedia di kota?

Ada contoh negara Kuba sebagai salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tinggi. Dalam salah satu periode sejarah, mereka pernah mengalami krisis pangan yang kemudian mendorong warganya untuk mengubah lahan-lahan kosong di kota menjadi lahan pertanian.

Areanya tidak luas, seperti satu sudut lahan rumah sakit, sekolah, atau gedung milik pemerintah, tapi bisa dijadikan lahan pertanian. Lalu, dari konsep pertanian industrial menggunakan bahan-bahan kimia, diubah juga ke pertanian organik—mereka menyebutnya Organopónicos. Pengolahannya dikelola secara kolektif, semacam kelembagaan seperti koperasi. Itu juga belum ada di Indonesia.

Di konteks ini, lahan memang terbatas, tapi akan selalu ada. Entah itu di rumah atau di lahan kosong parkiran yang ukurannya tidak lebih dari 100 meter. Di daerah Jakarta Selatan, Jakarta Barat, atau Tangerang saja, masih banyak lahan-lahan seperti ini, cukup lah untuk produksi sayur.

Kalau Reformasi Agraria belum dapat dilakukan sebagai kebijakan solutif, apakah mungkin kita bisa berkontribusi dari bawah ke atas?

Sangat mungkin! Apalagi dalam lingkup politik lokal, sangat bisa mendorong regulasi terkait aspek tenurial atau aspek agraria yang pro-petani.

Di luar politik formal, kita juga bisa mengusahakan perubahan skema tenurial. Contohnya seperti apa yang diusulkan Mohamad Shohibuddin, dosen IPB, tentang skema wakaf agraria. Lahan-lahan terlantar yang pemiliknya punya keberpihakan sosial, bisa mewakafkan tanahnya untuk digunakan sebagai basis pertanian produktif. Ini sangat bisa dilakukan, karena kita juga melihat adanya tren filantropi di masyarakat saat ini.

Wakaf juga punya hukum yang lebih kuat dibandingkan hukum nasional. Contohnya, ketika ada sebuah lahan yang awalnya ditujukan untuk pertanian, sering kali kemudian justru dijadikan ruko. Nah, ketika ini berupa tanah wakaf untuk pertanian, saya rasa agak jarang ada orang yang berani mengubah penggunaan lahan itu. Meskipun ada banyak kasus wakaf masjid atau wakaf makam yang lantas digusur oleh perusahaan-perusahaan, dalam konteks wakaf pertanian, saya rasa hal ini mampu mendorong masyarakat biasa untuk mempertahankannya.

Memang penting juga bagi petani dan produsen perkebunan untuk berjejaring dengan teman-teman yang punya sumber daya lahan; untuk membangun jaringan solidaritas sosial.

Tadi disebutkan juga bahwa distribusi dari produsen ke konsumen adalah salah satu kendala. Bagaimana caranya agar kita yang berada di sektor rumah tangga ikut berkontribusi memecahkan masalah itu?

Kuncinya satu: kelembagaan. Sering kali para petani dan konsumen berjalan sendiri-sendiri, padahal dalam konsep Community-Supported Agriculture (CSA), satu petani bisa menanam berbagai jenis sayuran lalu menyuplai ke rumah tangga. Misalnya, dalam minggu ini mereka menanam sayuran A, kemudian minggu depan sayuran B, dan seterusnya.

Dalam konteks ini, jarak maksimal tetap perlu diperjelas karena nantinya kita juga akan bicara mengenai emisi jejak karbon dan kualitas sayur itu sendiri jika jarak distribusi terlalu jauh.

Itu sebabnya kelembagaan berperan penting, termasuk membaca permintaan serta memahami komoditas dan pasar. Karena contoh yang sering sekali terjadi adalah distribusi buah naga dari Banyuwangi atau cabai dari Jember yang justru dikirim ke Jakarta.

Bagaimana pelaksanaan rantai perolehan sumber daya yang bertanggung jawab (responsible supply chain) dalam konteks pertanian?

Ada perubahan pola budidaya yang lebih ramah lingkungan. Misalnya untuk padi, yang diketahui sebagai salah satu penghasil gas metana, bisa menerapkan System of Rice Intensification (SRI) sehingga bisa mengubah manajemen penanaman agar menjadi mini-metana.

Kembali soal jarak distribusi, akan sulit menjadikannya berkelanjutan jika masih ada praktik pengiriman beras dari Papua untuk suplai di Jawa. Yang penting ada fair trade juga dalam proses distribusi.

Bagaimana peranan Koperasi di sini?

Petani biasanya tidak punya uang dan aset, sehingga hal ini menjadi kelemahan bagi mereka untuk bisa mengatur pola tanam yang berkelanjutan. Koperasi bisa menghimpun sumber daya, baik dari petani atau dari konsumen, supaya penerapan budidaya berkelanjutan tadi bisa tercapai. Misalnya, dalam pengadaan pergudangan dan pengolahan hasil panen.

Pemetaan market, membangun kelembagaan distribusi, dan juga yang paling penting dan paling krusial adalah perannya untuk kepemilikan aset dan peralatan bersama agar bisa menekan biaya bersama-sama. Karena akan sangat susah bagi petani miskin untuk berjalan sendiri. Itulah yang sering terjadi di pemerintahan. Petani miskin, petani kesusahan, tapi pemerintah menyuruh mereka untuk melakukan semuanya sendiri. Sama saja seperti menyiram cuka ke luka.

Boleh jelaskan sedikit tentang Ruang Kayahara?

Ruang Kayahara adalah komunitas yang saya dirikan bersama beberapa orang teman, lokasinya di Sukabumi. Kami ingin mendirikan semacam kelembagaan atau koperasi yang berfokus pada perbaikan manajemen budidaya dan pengolahan hasilnya. Konsepnya seperti Co-Working Space di kalangan pekerja digital, namun kami sesuaikan sebagai Co-Farming Space. Lahannya berupa kebun eksperimen, tempat bekerja alternatif untuk anak muda, menjadi tempat petani muda lahir dan berkembang bersama. Sembari berkebun (dan kerja kepeloporan lainnya), kita bisa menerapkan teknologi tepat guna dalam bertani dan membagi pengetahuannya bersama petani lain. Namun saat ini kami sedang hiatus.

Salah satu unggahan Ruang Kayahara di Instagram,

Apa harapan untuk pemerintah?

Banyak! Pemerintah punya banyak kesempatan dan wewenang untuk memecahkan masalah struktural dengan memperbaiki regulasi seperti Reformasi Agraria, akses lahan, skema tenurial, membangun infrastruktur, logistik—itu akan sangat membantu petani. Sering kali kita lupa bahwa mereka dimiskinkan oleh sistem. Sehingga ada banyak kebijakan dan program yang bisa dilakukan gerakan sipil dan pemerintah bersama-sama.

Lalu sebagai individu, hal terkecil apa yang bisa kita lakukan?

Pertama, dukung inisiatif-inisiatif pro petani. Seperti mendirikan CSA, membeli langsung dari petani, atau membeli dari pedagang yang jelas pembagian keuntungannya dengan petani.

Kedua, berbagi pengetahuan ke petani juga penting. Misalnya pengetahuan soal mekanisasi otomasi mesin, atau tentang hama dan penyakit, atau soal pupuk. Ada banyak celah yang bisa diisi oleh simpatisan pro petani terkait permasalahan di lapangan.

Terima kasih telah membaca!
Jika Anda melihat artikel ini bermanfaat, berlangganan Newsletter Mingguan Green Network Asia untuk mengikuti kabar dan cerita seputar pembangunan berkelanjutan dari komunitas multistakeholder di Indonesia dan dunia.
Daftar Sekarang

Continue Reading

Sebelumnya: Drh. Sugeng Dwi Hastono: Dedikasi Merawat Satwa Liar Sumatra
Berikutnya: Sakola Wanno Menjaga Alam dan Budaya Sumba

Artikel Terkait

Para anggota The Power of Mama (PoM) melakukan patroli ke hutan. | Foto: Dokumen The Power of Mama. The Power of Mama: Peran Perempuan Desa dalam Menjaga Hutan dan Lahan di Ketapang
  • Unggulan
  • Wawancara

The Power of Mama: Peran Perempuan Desa dalam Menjaga Hutan dan Lahan di Ketapang

Oleh Abul Muamar
8 Agustus 2023
Founder & CEO Waste4Change Mohamad Bijaksana Junerosano. | Foto: Waste4Change. Founder & CEO Waste4Change MB Junerosano: Pentingnya Meningkatkan Kualitas Pengelolaan Sampah di Indonesia
  • Partner
  • Unggulan
  • Wawancara

Founder & CEO Waste4Change MB Junerosano: Pentingnya Meningkatkan Kualitas Pengelolaan Sampah di Indonesia

Oleh Abul Muamar
19 Juni 2023
Aziz Abdullah Bajasud menunjukkan produk-produk BJ Homemade di rumah produksinya di Pasar Banjardowo Baru, Semarang. BJ Homemade: Perjuangan Difabel Berdayakan Sesama Lewat Bisnis Kacamata dari Limbah Kayu
  • Unggulan
  • Wawancara

BJ Homemade: Perjuangan Difabel Berdayakan Sesama Lewat Bisnis Kacamata dari Limbah Kayu

Oleh Abul Muamar
29 Mei 2023
Putri Merdekawati menunjukkan beberapa koleksi batik pewarna alam di galeri Batik Si Putri. Batik Si Putri: Bagaimana Bisnis Batik dapat Mendukung Pelestarian Lingkungan dan Budaya
  • Unggulan
  • Wawancara

Batik Si Putri: Bagaimana Bisnis Batik dapat Mendukung Pelestarian Lingkungan dan Budaya

Oleh Abul Muamar
17 Mei 2023
Damai Mendrofa menunjukkan bangku dari ecobrick yang ia gunakan di rumahnya. | Foto: Dokumen pribadi Damai Mendrofa. Dedikasi Yamantab Lindungi Kawasan Pantai Barat Sumatera Utara
  • Unggulan
  • Wawancara

Dedikasi Yamantab Lindungi Kawasan Pantai Barat Sumatera Utara

Oleh Abul Muamar
20 Maret 2023
Abigail Lovell, Chief Sustainability Officer Experian Melihat Perjalanan Keberlanjutan Experian dari Dalam dengan Chief Sustainability Officer Abigail Lovell
  • Unggulan
  • Wawancara

Melihat Perjalanan Keberlanjutan Experian dari Dalam dengan Chief Sustainability Officer Abigail Lovell

Oleh Marlis Afridah
9 Maret 2023
Sidebar Insan Figur
Sidebar Bespoke Event
  • Terbaru
  • Terpopuler
  • Partner
  • Polusi udara tampak diproduksi dari aktivitas pabrik Dekarbonisasi dengan Pemanfaatan Teknologi CCUS
    • Ikhtisar
    • Unggulan

    Dekarbonisasi dengan Pemanfaatan Teknologi CCUS

  • ilustrasi sampul laporan pembangunan berkelanjutan global 2023 GSDR 2023: Pentingnya Pengembangan Kapasitas untuk Pembangunan Berkelanjutan
    • Ikhtisar
    • Unggulan

    GSDR 2023: Pentingnya Pengembangan Kapasitas untuk Pembangunan Berkelanjutan

  • sebuah tangan memegang poster bertuliskan ‘stop war’. Menjaga Perdamaian di Tengah Polikrisis dan Kemajuan Teknologi
    • Ikhtisar
    • Unggulan

    Menjaga Perdamaian di Tengah Polikrisis dan Kemajuan Teknologi

  • tangkapan layar Zoom Meeting yang terdiri dari seorang perempuan dan tiga laki-laki Mengulik Potensi, Perkembangan, dan Implikasi Transisi Energi di Indonesia
    • Kabar
    • Unggulan

    Mengulik Potensi, Perkembangan, dan Implikasi Transisi Energi di Indonesia

  • dua pria di tengah sungai dengan perahu kayu. Penetapan Hutan Adat Aceh dan Harapan bagi Masyarakat Adat
    • Kabar
    • Unggulan

    Penetapan Hutan Adat Aceh dan Harapan bagi Masyarakat Adat

  • Pulau Semakau, TPA Hijau Permai di Singapura
    • Kabar

    Pulau Semakau, TPA Hijau Permai di Singapura

  • Penggemar Promosikan Warisan Budaya Rempah, Luncurkan Spice Hub Indonesia
    • Kabar
    • Unggulan

    Penggemar Promosikan Warisan Budaya Rempah, Luncurkan Spice Hub Indonesia

  • UNESCAP Dukung Build Back Better, Kembangkan National SDG Tracker
    • Kabar

    UNESCAP Dukung Build Back Better, Kembangkan National SDG Tracker

  • Beena Rao Mengajar Ribuan Anak dari Pemukiman Kumuh
    • Figur

    Beena Rao Mengajar Ribuan Anak dari Pemukiman Kumuh

  • Ahmad Bahruddin bersama rekan-rekannya mendirikan Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah Bagaimana Serikat Petani Mengentaskan Kemiskinan di Masyarakat
    • Wawancara

    Bagaimana Serikat Petani Mengentaskan Kemiskinan di Masyarakat

  • seorang pria botak duduk di depan sebuah pohon besar di hutan. Dedikasi Alex Waisimon Menjaga Hutan Adat dan Satwa Endemik Papua
    • Figur
    • Partner
    • Unggulan

    Dedikasi Alex Waisimon Menjaga Hutan Adat dan Satwa Endemik Papua

  • seorang perempuan berpakaian merah rajutan berdiri di depan pintu dengan dedaunan di atasnya. Lian Gogali, Menghidupkan Kembali Harmoni di Poso Lewat Sekolah Perdamaian
    • Figur
    • Partner
    • Unggulan

    Lian Gogali, Menghidupkan Kembali Harmoni di Poso Lewat Sekolah Perdamaian

  • seorang perempuan berkaca mata sedang mengajar dengan memegang papan tulis dengan huruf-huruf alfabet. Butet Manurung, Memberikan Pendidikan yang Memerdekakan untuk Masyarakat Adat Orang Rimba
    • Figur
    • Partner
    • Unggulan

    Butet Manurung, Memberikan Pendidikan yang Memerdekakan untuk Masyarakat Adat Orang Rimba

  • seorang perempuan duduk di depan sebuah dinding dengan cermin di belakangnya. Indah Darmastuti, Mewujudkan Sastra yang Lebih Inklusif untuk Difabel Netra
    • Figur
    • Partner
    • Unggulan

    Indah Darmastuti, Mewujudkan Sastra yang Lebih Inklusif untuk Difabel Netra

  • seorang pria berkaus biru duduk di kursi roda dengan latar lukisan di dinding Agus Yusuf, Pelukis Difabel yang Bercita-cita Bangun Sekolah Seni Ramah Difabel
    • Figur
    • Partner
    • Unggulan

    Agus Yusuf, Pelukis Difabel yang Bercita-cita Bangun Sekolah Seni Ramah Difabel

Tentang Kami

  • Tentang
  • Tim
  • Jaringan Penasihat Senior
  • Jaringan Penasihat Muda
  • Jaringan Kontributor
  • Panduan Artikel Opini
  • Panduan Artikel Komunitas
  • Panduan Siaran Pers
  • Bekerja dengan Kami
  • FAQ
  • Hubungi Kami
  • Ketentuan Layanan
  • Kebijakan Privasi
  • Telegram
  • Etsy
  • Tokopedia
  • Media Link 11
  • Media Link 12
  • Media Link 13
  • Media Link 14
  • Media Link 15
© 2023 Green Network Asia - Indonesia