Hutan sebagai Apotek Hidup di Pulau Masela

Kamala (Mallotus philippensis), salah satu tanaman yang digunakan oleh masyarakat Pulau Masela untuk pengobatan. | Foto: Alin Rahma Yuliani.
Hutan di Pulau Masela, Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku, bukan sekadar deretan pohon. Pada akar, batang, dan daunnya, masyarakat menyimpan pengetahuan berlapis yang diturunkan dari generasi ke generasi tentang cara bertahan hidup, terutama dalam hal pengobatan. Fakta bahwa perjalanan menuju fasilitas kesehatan di wilayah ini bisa memakan waktu berjam-jam dan harus melewati laut, menegaskan bahwa apa yang dimiliki masyarakat setempat di hutan–sebagai apotek hidup–adalah solusi praktis yang sulit tergantikan.
Akses ke Layanan Kesehatan yang Memprihatinkan
Kearifan lokal masyarakat Masela yang menjadikan hutan sebagai sumber obat-obatan terus bertahan hingga hari ini. Bertahannya tradisi ini tidak terlepas dari minimnya fasilitas dan akses ke layanan kesehatan modern di wilayah ini sampai hari ini.
Keadaan fasilitas kesehatan di Kota Tiakur, ibukota Kabupaten Maluku Barat Daya, menegaskan realita tersebut. Hanya ada satu RSUD kelas D yang menanggung beban luas Maluku Barat Daya, dengan jumlah dokter spesialis yang terbatas. Beberapa dokter umum bahkan telah meninggalkan kontrak mereka karena keterbatasan fasilitas dan tantangan logistik yang ekstrem.
“Kalau pasien datang dengan keluhan ringan, biasanya mereka sudah lebih dulu memakai tanaman herbal. Banyak yang berhasil, dan itu memang sudah jadi tradisi turun-temurun,” kata seorang tenaga kesehatan di Puskesmas Masela yang saya temui.
Penggunaan Tanaman sebagai Obat di Pulau Masela
Saat sistem kesehatan formal demikian rapuh, hutan di Masela bukan hanya pelengkap, melainkan penentu hidup. Lebih dari 78% rumah tangga di pulau ini masih menggunakan tanaman herbal sebagai obat atau terapi pertama ketika mereka mengalami gejala sakit ringan hingga menengah.
“Kalau ada anak yang panas, biasanya kami rebus daun apipmena. Semalaman biasanya suhu tubuhnya sudah turun,” ujar seorang kader posyandu di Masela.

Tenaga kesehatan “modern” di Masela bahkan turut menjadi garda terdepan dalam mendorong penggunaan tanaman herbal dalam praktik sehari-hari. Mereka menggunakan tanaman menpaokya untuk kanker dan bisul; daun ilmyera untuk meredakan nyeri saraf; apopkea untuk patah tulang; atewkelya untuk asam lambung, usus buntu, dan peradangan; apipmena untuk demam dan flu; loliwewa untuk masalah lambung; dan banyak lagi. Nama-nama tanaman tersebut berasal dari bahasa daerah setempat, yang sayangnya, saya tidak sempat menanyakan dan mencari tahu padanannya dalam bahasa Indonesia. Terlepas dari itu, daftar tanaman obat yang dikenal masyarakat setempat bukan sekadar catatan, melainkan cerminan sistem pengobatan alternatif yang teruji oleh waktu dan kondisi, menjadi bentuk mitigasi mandiri terhadap keterbatasan sistem kesehatan.
“Masyarakat punya kekayaan pengetahuan lokal. Tugas kami memastikan praktik ini tetap aman, sambil memastikan penanganan medis tetap dilakukan kalau kondisinya serius,” kata Kepala Puskesmas di Masela.
Hutan sebagai Apotek Hidup
Bagi masyarakat Masela, hutan bukan hanya sumber pendapatan, yang umumnya diperoleh dari kayu, madu, atau hasil alam non-kayu lainnya. Lebih dari itu, hutan adalah apotek hidup, tempat mereka menemukan kesehatan, ketenangan, dan rasa aman. Oleh karena itu, membabat hutan di pulau ini berarti membunuh ribuan manusia penghuninya. Tanpa hutan, tanaman-tanaman herbal yang telah diwariskan turun-temurun sebagai obat bisa lenyap, meninggalkan kekosongan yang sulit untuk segera diisi oleh fasilitas kesehatan yang terbatas.
Oleh karena itu, Perhutanan Sosial sebagai kebijakan afirmatif pemerintah seharusnya dapat memberikan fondasi legal untuk memperkuat praktik-praktik seperti ini. Ketika hampir 80% penduduk Masela menjadikan tanaman herbal sebagai pilihan pertama mereka dalam pengobatan, pesannya jelas: hutan adalah lini pertahanan pertama kesehatan mereka. Tanpa akses yang mudah ke klinik atau rumah sakit, masyarakat membutuhkan hutan sebagai rumah sakit alami yang selalu siaga. Dalam hal ini, memberi hak kelola hutan kepada masyarakat bukan sekadar mencegah deforestasi, melainkan juga memastikan keberlanjutan apotek hidup.
Dukungan yang Lebih Kuat
Namun, pada akhirnya, masyarakat Pulau Masela tetap membutuhkan dukungan, terutama terkait fasilitas dan akses ke layanan kesehatan yang masih sangat terbatas. Perjalanan berjam-jam untuk mencapai rumah sakit, cuaca ekstrem yang bisa memutus jalur transportasi, serta kelangkaan alat dan tenaga medis adalah sederet isu yang mesti diatasi.
Dukungan nyata berupa infrastruktur kesehatan menjadi kebutuhan mendesak agar masyarakat Masela benar-benar terjamin kesehatannya. Harapan mereka: negara harus hadir dalam menjaga hutan, memberikan jaminan ruang bagi hutan sosial yang dapat dimanfaatkan masyarakat, sekaligus tetap meningkatkan fasilitas dan akses ke layanan kesehatan. Dengan demikian, masyarakat di pulau-pulau kecil seperti Masela dapat hidup sehat, berdaulat, dan punya harapan.
Editor: Abul Muamar

Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan Langganan GNA Indonesia.
Jika konten ini bermanfaat, harap pertimbangkan Langganan GNA Indonesia untuk mendapatkan akses digital ke wawasan interdisipliner dan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Pilih Paket Langganan Anda
Adipatra adalah Asisten Tenaga Ahli Kesehatan Masyarakat dan Surveyor di Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir & Laut (PKSPL) IPB, dengan fokus pada Analisis Kebijakan Lingkungan.