Melihat Kemajuan Proyek Great Green Wall dengan Merangkul Pengelolaan Lahan Adat
Foto: Annie Spratt di Unsplash.
Masalah besar seringkali membutuhkan solusi besar. Ketika terancam oleh masalah seperti perubahan iklim, masyarakat, negara, dan organisasi bekerja sama dalam aksi lingkungan yang besar. Di kawasan Sahel, Afrika, ada proyek Great Green Wall, yang menunjukkan pentingnya merangkul teknik pengelolaan lahan masyarakat adat.
Perkembangan Great Green Wall
Kawasan Sahel yang membentang di Afrika Tengah-Utara berada di garis terdepan di antara sekian banyak kawasan yang menghadapi kerawanan akibat tekanan lingkungan. Berbagai ancaman, seperti perubahan iklim, kerusuhan politik, dan ketidakstabilan ekonomi, telah memperburuk kerawanan pangan dan air, ketimpangan gender, dan kekerasan di kawasan tersebut. Kekeringan yang berkelanjutan selama beberapa dekade dan kekhawatiran bahwa Sahara meluas memicu seruan untuk bertindak. Sebuah solusi untuk krisis yang tumpang tindih ini diusulkan oleh Dewan Afrika, dengan dukungan dari PBB dan pemangku kepentingan internasional lainnya, yakni Great Green Wall.
Great Green Wall adalah sebuah inisiatif yang bertujuan untuk memulihkan lahan di sepanjang garis yang membentang di 11 negara dari Afrika Timur hingga Barat untuk membantu mencegah penggurunan dan meningkatkan keanekaragaman hayati. Dimulai pada tahun 2007, iterasi awal Great Green Wall memperlihatkan upaya penanaman kembali pohon dan semak belukar dalam skala besar, dengan kemajuan yang tersendat-sendat dan rencana yang terus-menerus terhambat. Pohon-pohon seringkali ditanam di daerah terpencil, yang lantas mati karena perawatan dan pemantauan yang tidak memadai. Ketika jelas bahwa tidak ada kemajuan, fokus bergeser ke hasil jangka panjang dan strategi pengelolaan lahan yang lebih efisien, berkelanjutan, dan layak secara ekonomi.
Yang awalnya merupakan proyek penanaman pohon lantas berkembang menjadi misi untuk mengkaji ulang pengembangan lahan secara menyeluruh sebagai sebuah sistem. Dengan hasil yang diperoleh seiring waktu, perubahan ini lantas memantik dukungan dan kebangkitan kembali teknik pertanian adat.
Praktik Adat dan Lokal
Di banyak wilayah Afrika, para petani masih terkendala oleh kerangka hukum yang dibentuk oleh undang-undang era kolonial yang mendorong pertumbuhan “tanaman komersial” dan jaringan perdagangan eksternal. Seiring waktu, banyak teknik pertanian tradisional, yang mengandalkan pengetahuan mendalam tentang lahan dan hanya menggunakan sumber daya ekosistem lokal, hampir sepenuhnya ditinggalkan karena dianggap tidak efisien untuk perdagangan dan keuntungan.
Namun, Great Green Wall membuka kembali jalan bagi praktik-praktik tradisional tersebut. Kenyataannya, banyak hasil terbaik datang ketika masyarakat lokal diberi kebebasan untuk menggunakan pengetahuan mereka tentang lahan untuk meningkatkan keanekaragaman hayati. Diakui bahwa orang-orang yang telah mendiami lahan tersebut akan dapat menilai tindakan yang tepat dengan lebih baik, karena tidak ada dua wilayah yang sama.
Di Burkina Faso, misalnya, petani memanfaatkan “lubang zai” untuk meningkatkan retensi air di dalam tanah. Teknik ini telah lama digunakan di wilayah tersebut untuk menampung air hujan untuk musim kemarau. Ketika teknik ini dipadukan dengan peralatan modern, restorasi lahan dalam skala yang lebih besar dapat didukung dengan lebih efisien. Teknik ini juga memiliki dampak tidak langsung lainnya, seperti mendorong peran kepemimpinan perempuan dalam masyarakat.
Sementara itu, para petani di Nigeria menggunakan pendekatan yang disebut “Regenerasi Alami yang Dikelola Petani” (FMNR), suatu model agroforestri yang berupaya memelihara dan menyuburkan pohon-pohon dan benih yang ada. Dengan memulihkan vegetasi, petani lokal dapat meningkatkan produktivitas tanaman dan lahan pertanian sekaligus mengisi ulang air tanah dan kelembapan tanah.
Menegakkan Hak Atas Tanah Adat
Seiring dengan semakin banyaknya penelitian yang mengungkapkan bahwa teknik pengelolaan lahan tradisional dapat menghasilkan hasil panen yang paling efisien, negara-negara kawasan Sahel dan upaya restorasi lahan tradisional mereka semakin mendapat pengakuan publik. Berkat keberhasilan proyek ini, para pemilik lahan dan tokoh masyarakat setempat diberi lebih banyak wewenang dalam mengelola wilayah mereka. Di Nigeria, misalnya, FMNR dan hasil positifnya membuahkan keputusan presiden yang memberikan petani hak penuh atas sumber daya di lahan mereka.
Kemajuan yang telah dicapai inisiatif Great Green Wall sejauh ini menunjukkan kembalinya pengelolaan lahan adat dan peninjauan ulang hak-hak atas tanah adat. Ke depan, diperlukan cara untuk memadukan metode eko-restorasi tradisional dengan perangkat dan inovasi modern. Hal ini tidak hanya dapat menghasilkan rekonstruksi lingkungan tetapi juga rekonstruksi sosial dan ekonomi yang berakar pada ketahanan, keberlanjutan, dan keadilan.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Join Membership Green Network Asia – Indonesia
Jika Anda menilai konten ini bermanfaat, dukung gerakan Green Network Asia untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia. Dapatkan manfaat khusus untuk pengembangan pribadi dan profesional Anda.
Jadi Member Sekarang
Langkah Singapura dalam Melindungi Korban Kekerasan Siber
Superkapasitor dari Limbah Sawit sebagai Potensi Energi Baru
Pentingnya Pengembangan AI yang Sadar Karbon
Tubuh yang Sakit di Bumi yang Sekarat: Sebuah Refleksi atas Antropologi Kesehatan Planet
Menilik Potensi dan Tantangan Pengembangan Biofuel dari Limbah Pertanian
Kemajuan dan Kesenjangan Energi Terbarukan Dunia sebagai Sumber Listrik