Mendukung Industri Kakao Berkelanjutan di Indonesia
Kakao memang bukan komoditas primer seperti beras, gandum, dan jagung. Kakao juga tidak sama seperti minyak kelapa sawit, bahan utama pembuatan berbagai produk. Namun, permintaan kakao terus stabil bahkan cenderung melebihi pasokan yang tersedia dalam beberapa tahun terakhir. Seiring peningkatan produksi, mendukung industri kakao yang berkelanjutan menjadi semakin penting.
Produksi & Keberlanjutan Kakao
Sebagian besar produk kakao diekspor ke Eropa dan Amerika, negara-negara dengan tingkat konsumsi coklat yang lebih tinggi. Di negara-negara berkembang penghasil kakao seperti Pantai Gading, Ghana, Indonesia, Meksiko, dan lainnya, sekitar 5 juta rumah tangga menanam kakao sebagai tanaman komersil.
Di Indonesia, kakao termasuk dalam tiga besar tanaman perkebunan setelah kelapa sawit dan karet. Menurut data BPS 2021, luas tanaman kelapa sawit mencapai 14,66 juta hektare, karet 3,77 juta hektare, dan kakao 1,47 juta hektare. Dari 1,47 juta hektare tersebut, 99,2% milik petani kecil, dan hanya 0,8% yang dikelola oleh perusahaan.
Pasar yang terorganisir menghadirkan berbagai tantangan dalam industri kakao, termasuk tren menuju keberlanjutan (sustainability). Tren ini berdampak pada rantai pasok industri kakao dan coklat. Seiring meningkatnya kesadaran konsumen akan pentingnya produk yang berkelanjutan, beberapa perusahaan mulai beralih dari produk konvensional. Secara keseluruhan, produksi kakao berkelanjutan global meningkat dari 27% pada tahun 2008 menjadi 47,3% pada tahun 2019.
Program Keberlanjutan Kakao di Indonesia
Sementara itu, luas lahan kakao di Indonesia mengalami penurunan sebesar 14,6% dari tahun 2011 hingga 2021. Pemerintah Indonesia meresponnya dengan membuat program “Gernas Kakao” untuk meningkatkan kualitas dan produksi kakao. Program ini dimulai pada tahun 2009 di sembilan provinsi.
Beberapa perusahaan swasta merespons tren dengan menerapkan program keberlanjutan mereka di Indonesia. Misalnya, Kemitraan Berkelanjutan Kakao (Cocoa Sustainability Partnership) dibentuk secara resmi pada tahun 2015 untuk menciptakan kolaborasi yang baik antara pemangku kepentingan publik-swasta. Asosiasi ini bertujuan untuk meningkatkan komunikasi dan koordinasi antarpemangku kepentingan yang terlibat dalam kegiatan keberlanjutan kakao di Indonesia yang saling menguntungkan.
Berbagai program keberlanjutan tersebut tidak hanya berfokus pada peningkatan produksi kakao tetapi juga pada aspek lingkungan dan sosial. Di balik nikmatnya coklat yang kita konsumsi, banyak petani kakao skala kecil yang membutuhkan lebih banyak akses ke sumber daya yang mengarah ke model yang lebih berkelanjutan. Karenanya, beberapa inisiatif keberlanjutan bertujuan untuk membantu petani kakao skala kecil dengan menyediakan bibit kakao berkualitas baik, memberdayakan kelompok perempuan, menghapus pekerja anak dan kerja paksa, serta meningkatkan akses agroinput seperti pestisida dan pupuk.
Yang menjadi pertanyaan, apakah semua program keberlanjutan tersebut berdampak, atau hanya strategi pemasaran semata? Apakah masuk akal bagi konsumen untuk membeli produk berkelanjutan dengan harga yang lebih tinggi?
Perkembangan kecil
Tujuan dari industri kakao yang berkelanjutan di Indonesia mungkin belum sepenuhnya tercapai, namun ada beberapa perkembangan. Menurut Badan Pusat Statistik, rata-rata produktivitas kakao sedikit meningkat dalam sepuluh tahun terakhir.
Perkembangan lainnya adalah bagaimana petani mendapatkan lebih banyak wawasan dan pengetahuan tentang praktik bisnis kakao. Mereka juga menerima manfaat dari premi sertifikasi. Selain itu, kemitraan multipihak menghasilkan beberapa kebijakan pemerintah berupa distribusi bahan tanam yang baik (bibit dan tunas), penyediaan pupuk khusus kakao (NPK Khusus Kakao) dengan harga bersubsidi, dan membuka pintu pembiayaan pengelolaan tanaman kakao dari lembaga keuangan.
Mendukung Industri Kakao Berkelanjutan
Di sisi lain, produk berkelanjutan seringkali lebih mahal. Bagi konsumen yang memprioritaskan tanggung jawab lingkungan dan sosial, harga yang lebih tinggi mungkin bukan masalah. Konsumen jenis ini ingin mendukung metode produksi yang berkelanjutan, praktik bisnis yang adil dalam rantai nilai, dan pertimbangan etis lainnya.
Namun, penting untuk dicatat bahwa pangsa margin yang dihasilkan dari sebatang coklat hitam pada tahun 2018 tidak menguntungkan petani kakao skala kecil. Mereka menghasilkan keuntungan terendah (hanya 6-7%) dalam rantai nilai, sementara pedagang dan pabrik memperoleh keuntungan 7-8%. Produsen dan pengecer menghasilkan keuntungan terbesar mencapai 85-90%. Oleh karena itu, sebagai konsumen, kita harus memastikan bahwa produk kakao berkelanjutan yang kita beli berdampak positif bagi lingkungan dan masyarakat, termasuk para petani dalam rantai pasoknya.
Untuk memastikan bahwa kita membuat dampak nyata saat memutuskan untuk membeli, kita dapat mengambil beberapa langkah: mengedukasi diri sendiri tentang masalah keberlanjutan di industri kakao dan cokelat, memeriksa transparansi dalam rantai pasok, dan memilih produk yang selaras dengan nilai-nilai tersebut. Dengan demikian, kita dapat lebih yakin bahwa pembelian kita berdampak positif bagi petani dan berkontribusi bagi pengembangan industri kakao yang berkelanjutan.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli dari artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Publikasikan thought leadership dan wawasan Anda bersama Green Network Asia, pelajari Panduan Artikel Opini kami
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Yuanda Pangi Harahap mengambil ASEAN Master in Sustainability Management, program dual degree dari Universitas Gadjah Mada di Indonesia dan University of Agder di Norwegia. Dia telah terlibat dalam proyek keberlanjutan di industri kelapa sawit dan kakao. Anda dapat menghubungi Yuanda melalui [email protected].