Siklus Hidup Produk dan Praktik Baik untuk Keberlanjutan: Wawancara dengan David Croft dari Reckitt

David Croft, Global Head of Sustainability di Reckitt. | Foto oleh Reckitt.
Umumnya, kita tidak terlalu memikirkan barang-barang rumah tangga dan sekadar membeli barang yang paling baik di supermarket terdekat. Kita tidak memperhitungkan bagaimana sebuah produk dapat berkontribusi terhadap emisi karbon, terutama ketika produk yang sama digunakan oleh 20 juta rumah tangga.
Pada 9 Desember 2022, kami mewawancarai David Croft, Global Head of Sustainability di Reckitt. Reckitt adalah perusahaan kesehatan dan nutrisi global yang beroperasi di 180 negara. Beberapa produk terkenal mereka meliputi Dettol, Vanish, Air Wick, Finish dan Clearasil. Croft mengajak kami melihat perjalanan tentang bagaimana produk Reckitt menjangkau rumah 20 juta konsumen dan bagaimana perjalanan tersebut dapat mengubah cara pandang kita tentang produk rumah tangga.
Dari Pemasok ke Manufaktur
Ketika kita berbicara tentang siklus sebuah produk, kita melihat dari hulu ke hilir: dari mana dan bagaimana bahan-bahan itu berasal, di mana diproduksi, bagaimana didistribusikan, dan penggunaannya di rumah tangga konsumen. Tantangan dalam mengelola siklus hidup produk, terutama di perusahaan global seperti Reckitt, adalah bagaimana memastikan semua pemangku kepentingan yang relevan dalam rantai pasoknya mematuhi standar yang sama.
Reckitt bekerja sama dengan pemasok untuk tidak hanya memastikan mereka terus memasok bahan dengan aman untuk perusahaan, tetapi juga membantu mereka memasok secara berkelanjutan. Reckitt, bersama perusahaan FMCG (Fast-Moving Consumer Goods) besar lainnya, bekerja sama dengan Manufacture 2030 dalam program global untuk mendukung pemasok dalam mengukur dan mengurangi jejak karbon mereka. Program ini melihat praktik pertanian serta pembuatan bahan-bahan tersebut. “Itu mungkin sekitar tiga perempat dari total jejak kami jika Anda memasukkan semua listrik atau gas yang digunakan di rumah orang,” kata Croft.
Dia melanjutkan, “Sangat penting bagi kami untuk bekerja dengan pemasok kami; tidak hanya di pabrik kami sendiri, tetapi juga di pabrik mereka untuk membantu mereka mengurangi jejak karbon.”
Pekerjaan berlanjut saat bahan-bahan ini sampai di pabrik Reckitt. Dalam upaya meminimalkan jejak karbon manufakturnya, Reckitt belajar menjadi lebih hemat energi. Bagaimana? Dengan menggunakan panel surya di pabrik-pabrik di Bangkok, Singapura, dan China; diversifikasi sumber gas di pabrik-pabrik bertenaga gas dengan TPA untuk mengurangi 30% penggunaan gas bumi; dan menggunakan alat-alat yang lebih hemat energi seperti bola lampu LED.
“Kami berencana untuk mengurangi emisi karbon hingga 65% pada tahun 2030. Pada akhir tahun 2021, kami telah mencapainya. Kami mendapat pengurangan karbon 66% di pabrik kami,” kata Croft.
Di Rumah Konsumen
Lalu, bagaimana ketika produk tersebut sampai ke rumah konsumen? Di sinilah Kalkulator Inovasi Berkelanjutan Reckitt bekerja.
Fungsi utama Kalkulator Inovasi Berkelanjutan adalah untuk mengukur jejak suatu produk, yang meliputi jejak karbon, air, kemasan, serta jejak kimia. Pada dasarnya, semua produk melalui alat ini untuk mengidentifikasi aspek mana yang harus diperbaiki. Tidak hanya berlaku untuk rantai nilai dari produsen ke konsumen, tetapi juga saat produk tersebut berada di rak penggunanya.
Melalui Kalkulator Inovasi Berkelanjutan, Reckitt menemukan bahwa sebagian besar emisi karbon mereka berasal dari saat produk mereka mencapai rumah tangga masyarakat. “Itu mungkin sekitar seperempat dari total jejak (karbon) kami,” kata Croft.
Dengan pemikiran tersebut, Reckitt terinspirasi untuk mendesain produk tertentu agar lebih hemat energi. Misalnya, merek Reckitt, Vanish, menghilangkan noda dari pakaian, sehingga membantu memperpanjang umurnya. Selain menjauhkan pakaian dari tempat pembuangan sampah, Vanish juga memungkinkan konsumen untuk mencuci pakaian mereka dalam suhu yang lebih rendah menggunakan lebih sedikit energi dan lebih sedikit air. Contoh lain adalah meningkatkan desain pengharum ruangan Air Wick agar lebih hemat energi saat dicolokkan atau, dalam kasus lain, hanya menggunakan satu baterai, bukan dua.
Yang terakhir namun tetap penting, bagaimana dengan limbahnya? Bukan rahasia lagi bahwa FMCG merupakan penyumbang sampah plastik terbesar. Di Reckitt saja, 20% jejak karbon mereka berasal dari kemasan. Untuk mengatasi masalah yang mereka buat, Reckitt telah membuat produk mereka lebih kecil dan dengan lebih dari 70% kemasan yang dapat didaur ulang.
Namun, Croft bersikukuh bahwa diperlukan lebih banyak keterlibatan untuk mengurangi dampak sampah plastik. Dia meyakini bahwa bisnis hanya dapat melakukan banyak hal dengan meminimalkan jejak kemasan mereka, sehingga jaringan daur ulang yang dapat diakses juga merupakan hal yang penting.
“Tidak ada gunanya kami membuat sesuatu yang sepenuhnya dapat didaur ulang jika orang kemudian tidak mendaur ulang atau jaringan daur ulang itu tidak ada,” kata Croft. “Kami juga mendorong orang-orang yang bekerja dengan kemasan plastik di berbagai negara untuk memperkuat jaringan daur ulang karena itu juga merupakan bagian penting untuk menutup lingkaran tersebut.”
Dampak terhadap Masyarakat
Dampak perusahaan besar terhadap masyarakat lokal dan mata pencaharian sangat signifikan. Praktik yang sehat, berkelanjutan, dan baik dapat menciptakan dampak positif. Ini berlaku tidak hanya untuk bisnis inti Reckitt tetapi juga pemasoknya.
Misalnya, Reckitt bekerja keras untuk memastikan sumber lateksnya, yang berasal dari Thailand, dipanen secara berkelanjutan. Bersama dengan Fair Rubber Association, Reckitt telah membantu sekitar seribu petani karet untuk mendapatkan sertifikasi sebagai pemasok karet perdagangan yang adil. Dengan cara ini, mereka dapat memperoleh penghasilan lebih tinggi, berinvestasi lebih banyak dalam pertanian mereka, dan memiliki mata pencaharian jangka panjang.
Kata Croft, “Kami menyadari bahwa petani membutuhkan mata pencaharian yang berkelanjutan. Tidak hanya untuk mereka secara pribadi, tetapi juga untuk jaringan pasokan berkelanjutan kami. Jadi, ini bekerja dua arah. Membantu mereka sekaligus memberi mereka ketahanan yang lebih banyak.”
Program penting lainnya adalah bagaimana pabrik Reckitt di Hosur, India, mendapat sertifikat netral air. Namun, kontribusi mereka yang paling menonjol adalah apa yang mereka lakukan di daerah tangkapan air di Cekungan Gangga. Reckitt telah membantu pengisian air di daerah tangkapan air, yang memungkinkan akses dan pasokan air yang lebih baik bagi masyarakat setempat.
“Bukan hanya pabrik kami, tapi semua orang yang menimba air untuk masyarakat di sana. Kami telah membantu memperkenalkan pemanenan air yang lebih baik, mengembalikan aliran air, dan itu membantu masyarakat di sana.”
Transparansi adalah Kunci
Merek besar dengan jutaan konsumen mudah jatuh ke jurang greenwashing. Dalam lima tahun terakhir, Reckitt bekerja keras untuk menjaga transparansi melalui berbagi pembelajaran dan pelaporan dengan semua pemangku kepentingan, seperti pemerintah, LSM, pemasok, bahkan konsumen.
“Kami tahu bahwa berbagi tentang bagaimana sesuatu tidak bekerja, sama pentingnya dengan berbagi bagaimana sesuatu bekerja,” kata Croft. “Itu adalah transparansi dan pengungkapan.”
Dalam COP27 yang dihadiri Croft, Reckitt terbuka untuk membahas tidak hanya praktik baik mereka, tetapi juga pembelajaran yang mereka peroleh. Berkaca dari produk masa lalu, serta temuannya di Kalkulator Inovasi Berkelanjutan, Reckitt mampu mengidentifikasi bagian mana dari rantai nilai mereka yang harus dipertahankan dan bagian mana yang harus ditingkatkan.
Sebagai catatan untuk perusahaan FMCG lainnya di seluruh dunia, Croft menekankan pentingnya transparansi dan kolaborasi. “Saya pikir yang penting di sini adalah transparansi,” kata Croft. “Transparansi membantu menciptakan peluang, solusi, dan juga menciptakan kolaborasi yang membangun kepercayaan dan itu sangat penting saat kita melangkah maju.”
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli dari artikel ini dalam bahasa inggris di Green Network Asia.
Jika Anda melihat artikel ini bermanfaat, berlangganan Newsletter Mingguan Green Network Asia untuk mengikuti kabar dan cerita seputar pembangunan berkelanjutan dari komunitas multistakeholder di Indonesia dan dunia.
Ata adalah Manajer Kemitraan Bisnis di Green Network. Dia adalah alumnus Magister Ilmu Manajemen Lingkungan dari University of Queensland, Australia.