Mempertimbangkan Kembali Konsumsi Susu Hewani
Selama beberapa generasi, susu hewani telah dianggap sebagai sumber nutrisi penting. Konsumsi susu hewani cukup umum di kalangan masyarakat karena sering direkomendasikan sebagai minuman pelengkap makanan bergizi ideal. Namun kini, seiring meningkatnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan dan keberlanjutan, muncul kekhawatiran yang semakin besar mengenai dampak produksi susu skala besar dan efek samping kesehatan yang ditimbulkan dari mengonsumsinya. Untuk itu, kini saatnya untuk mempertimbangkan kembali konsumsi susu hewani dan produk turunannya.
Tidak Semua Tubuh Bisa Mencerna Susu Hewani
Secara umum, khususnya di Indonesia, makanan yang dianggap sehat dan sempurna dan sering direkomendasikan terdiri dari karbohidrat pokok, daging berprotein, sayuran, buah-buahan, dan susu. Susu yang dimaksud di sini adalah susu hewani, terutama susu sapi, kambing, domba, dan kerbau. Susu hewani memang mengandung protein, kalsium, magnesium, vitamin, dan masih banyak nutrisi lainnya. Kepadatan nutrisi dalam satu gelas susu hewani menjadikannya cara terbaik dan paling sederhana untuk mencerna nutrisi penting tersebut.
Namun, perlu diketahui bahwa tidak semua tubuh mampu mencerna susu hewani. Jika tubuh Anda tidak menghasilkan cukup enzim pencernaan yang disebut laktase, Anda akan kesulitan mencerna susu, sehingga membuat Anda tidak toleran terhadap laktosa.
Intoleransi laktosa sangat umum terjadi, dan diperkirakan lebih dari 80% orang dewasa di Asia mengidapnya. Bahkan, sekitar setengah populasi dunia mengalami kesulitan mencerna produk susu hewani. Gejala intoleransi laktosa antara lain perut kembung, rasa tidak nyaman di perut, dan diare saat mengonsumsi produk susu hewani. Selain itu, produk susu hewani juga merupakan alergen yang umum di seluruh dunia. Gejala alergi bisa berupa gatal hingga anafilaksis, yang bisa berakibat fatal.
Potret Kelam Industri Susu Hewani
Segelas susu dari peternakan (200-250ml) memiliki jejak karbon yang sama dengan mengendarai mobil sejauh 3,8 kilometer. Sumber utama jejak karbon susu berasal dari produksi susu skala besar di industri. Ekspansi industri susu menuntut penambahan lahan yang dibutuhkan untuk menampung lebih banyak sapi dan memenuhi pasokan pakan ternak, yang menyebabkan alih fungsi lahan, deforestasi, peningkatan emisi gas rumah kaca, dan polusi air.
Selain itu, banyak industri peternakan yang tidak menerapkan perlakuan etis terhadap hewan demi menggenjot produksi dan keuntungan. Contoh praktik kelam yang umum terjadi adalah pemisahan anak sapi dari induknya. Dalam hal ini, anak sapi yang baru lahir langsung dipisahkan dari induknya sehingga susu dapat mulai diproduksi. Praktik ini menyebabkan tekanan terhadap induk dan anak sapi.
Yang tak kalah menyedihkan, kondisi kandang sapi di industri peternakan biasanya sempit dan pas-pasan, dan hal itu menyebabkan peningkatan stres pada hewan dan memicu penyebaran penyakit seperti mastitis, yang berasal dari invasi bakteri dan dapat mengubah komposisi susu serta memperpendek umur sapi yang terjangkit.
Alternatif Pengganti Susu Hewani
Produksi susu hewani berskala besar menimbulkan kekhawatiran mengenai keberlanjutan dan etika. Karena itu, memikirkan kembali konsumsi susu hewani dapat membuka peluang untuk mengeksplorasi pilihan yang lebih ramah lingkungan dan lebih sesuai dengan kebutuhan tubuh manusia. Pilihan ini bisa berupa alternatif “susu” non-hewani atau makanan lain yang mengandung nutrisi serupa dengan susu. Atau, sebagai alternatif, kita dapat mendukung peternakan sapi perah lokal berskala kecil untuk membeli susu dan produk susu hewani lainnya jika pun tetap ingin mengonsumsinya.
Pendek kata, di tengah dunia yang sedang menghadapi berbagai krisis, keseimbangan antara kesehatan pribadi dan lingkungan kini menjadi lebih penting dari sebelumnya. Transformasi menuju sistem pangan yang lebih berkelanjutan merupakan hal yang kompleks namun bukan berarti mustahil. Seluruh pemangku kepentingan, terutama dunia usaha dan pemerintah, harus berperan secara proaktif dalam menumbuhkan budaya makan sehat yang juga mempertimbangkan kesejahteraan hewan, dampak lingkungan, aksesibilitas, dan keterjangkauan.
Editor: Nazalea Kusuma
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.