Skip to content
  • Tentang
  • Bermitra dengan Kami
  • Beriklan
  • GNA Internasional
  • Jadi Member
  • Log In
Primary Menu
  • Terbaru
  • GNA Knowledge Hub
  • Topik
  • Wilayah
    • Dunia
    • Jawa
    • Kalimantan
    • Maluku
    • Nusa Tenggara
    • Papua
    • Sulawesi
    • Sumatera
  • Kabar
  • Ikhtisar
  • Infografik
  • Video
  • Opini
  • Akar Rumput
  • Muda
  • Siaran Pers
  • Corporate Sustainability
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Meningkatkan Implementasi Pendidikan Kebencanaan

Pendidikan kebencanaan tidak hanya penting diadakan di satuan pendidikan formal, melainkan juga mesti diperluas cakupannya di lingkungan pendidikan informal dan di masyarakat luas.
Oleh Seftyana Khairunisa
13 September 2024
sebuah penanda titik kumpul berwarna hijau terpasang dalam tiang dengan background bangunan berkabut

Foto: John Huber di Unsplash

Sebagai negara kepulauan yang terletak di pertemuan tiga lempeng tektonik dunia, Indonesia rawan terhadap berbagai bencana alam. Kondisi ini diperparah oleh krisis iklim yang menyebabkan cuaca ekstrem dan tidak dapat diprediksi, sehingga frekuensi bencana terus meningkat setiap tahunnya dengan dampak yang semakin luas ke berbagai sektor, termasuk pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan penguatan kapasitas kesiapsiagaan untuk mengurangi risiko bencana, salah satunya melalui penyelenggaraan pendidikan kebencanaan. 

Satuan Pendidikan yang Rawan Bencana

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa sepanjang tahun 2023, terdapat 5.400 kejadian bencana yang mengakibatkan ratusan orang meninggal, ribuan mengalami luka-luka, dan lebih dari 8 juta orang menderita dan mengungsi. Kejadian bencana alam juga berdampak pada rusaknya ribuan fasilitas, termasuk fasilitas pendidikan.

Berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2019, ada sekitar 126.681 satuan pendidikan dasar dan menengah yang berdiri di wilayah dengan ancaman bencana sedang hingga tinggi, mulai dari rawan banjir (54 ribu sekolah), rawan gempa (52 ribu sekolah), rawan longsor (15 ribu sekolah), rawan tsunami (2,4 ribu sekolah), dan letusan gunung api (1,6 ribu sekolah). Dalam kurun waktu 2009 – 2018, berbagai kejadian bencana alam telah berdampak pada lebih dari 62 ribu satuan pendidikan dan 12 juta siswa. 

Besarnya dampak bencana terhadap fasilitas pendidikan membutuhkan perhatian khusus mengenai upaya pengurangan risiko bencana. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah melalui penyelenggaraan pendidikan kebencanaan.

Pendidikan Kebencanaan

Pendidikan kebencanaan merupakan konsep yang mengintegrasikan kebencanaan dalam kurikulum sehingga siswa dapat berperan dalam membangun pengetahuan, keterampilan, dan sikap untuk mempersiapkan dan mengatasi bencana serta membantu mereka kembali pada kehidupan normal setelah terjadinya bencana. Dengan kata lain, siswa dapat mempelajari strategi-strategi untuk mengurangi risiko bencana dan meningkatkan ketahanan (resilience) terhadap dampak fisik dan psikososial dari bencana. 

Pendidikan kebencanaan menjadi hal yang penting mengingat anak-anak merupakan salah satu kelompok yang rentan terhadap bencana. Selain itu, siswa atau anak-anak juga dapat menjadi penerus informasi untuk menyebarkan pengetahuan kebencanaan yang diterimanya kepada keluarga dan masyarakat yang lebih luas. 

Akan tetapi, sebuah studi menunjukkan bahwa implementasi pendidikan kebencanaan atau yang berkaitan dengan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala, termasuk soal ketiadaan skema yang jelas apakah pendidikan kebencanaan akan diintegrasikan dalam pembelajaran di kelas atau melalui kegiatan ekstrakurikuler. Selain itu, implementasinya sering diserahkan kepada masing-masing sekolah, sehingga pendidikan kebencanaan yang digulirkan hanya bersifat insidental. Misalnya, seminar risiko bencana atau simulasi evakuasi seringkali hanya dilakukan satu atau dua kali dalam setahun alih-alih secara rutin atau berkala. 

Selain itu, kurikulum Indonesia yang kerap berubah seiring dengan pergantian pemimpin membuat implementasi pendidikan kebencanaan menjadi tidak konsisten. Penyediaan pelatihan PRB bagi guru juga masih sangat terbatas sehingga masih banyak sekolah yang belum memiliki kapasitas yang memadai untuk menyampaikan pendidikan kebencanaan. 

Adapun program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) yang diusung oleh pemerintah masih berjalan sendiri dan tidak terintegrasi dengan kurikulum pendidikan nasional. Implementasinya pun masih belum masif, karena per tahun 2020, baru 5% dari seluruh satuan pendidikan yang mendapatkan intervensi program ini.

Kendala dalam implementasi SPAB ini disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya masih adalah masih banyak sekolah yang belum menjadikan SPAB sebagai target prioritas karena keterbatasan dana, serta kurangnya kepedulian karena tidak mengenal lingkungan sekolah mereka yang berada di dalam zona bahaya bencana.

Regulasi SPAB yang ada saat ini juga tidak bersifat mengikat sehingga banyak satuan pendidikan yang menganggap program ini tidak begitu penting. Sementara yang sudah menyelenggarakan SPAB, banyak yang hanya bertahan 1-3 tahun tanpa ada keberlanjutan. 

Memperluas Cakupan

Pendidikan kebencanaan merupakan hal penting untuk meningkatkan kapasitas warga sekolah untuk mengurangi kerentanan terhadap bencana. Namun, perlu dipastikan bahwa setiap satuan pendidikan memiliki sarana dan prasarana yang memadai, seperti keberadaan sistem peringatan dini dan titik kumpul dan jalur evakuasi dengan penanda yang jelas. Selain itu, perlu juga menyediakan pedoman atau petunjuk teknis yang jelas, membentuk rantai koordinasi yang efektif dengan setiap pemangku kepentingan terkait, hingga mengadakan pelatihan dan peningkatan kapasitas untuk tenaga kependidikan.

Lebih dari itu semua, pendidikan kebencanaan tidak hanya penting diadakan di satuan pendidikan formal, melainkan juga mesti diperluas cakupannya di lingkungan pendidikan informal dan di masyarakat luas. Selain itu, pelaksanaannya perlu  melibatkan kearifan lokal karena setiap daerah memiliki karakteristik kebencanaan yang berbeda. Terakhir, pendidikan kebencanaan harus dirancang sebaik mungkin dengan mengintegrasikan aspek GEDSI (kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi) agar tidak ada seorang pun yang tertinggal di belakang dalam upaya pengurangan risiko bencana. 
Editor: Abul Muamar

Join Green Network Asia – Ekosistem Nilai Bersama untuk Pembangunan Berkelanjutan.

Belajar, berbagi, berjejaring, dan terlibat dalam gerakan kami untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.

Jadi Member Sekarang

Seftyana Khairunisa
Reporter at Green Network Asia | Website |  + postsBio

Nisa adalah reporter dan asisten peneliti di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Sarjana Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada. Ia memiliki minat di bidang penelitian, jurnalisme, dan isu-isu seputar hak asasi manusia.

  • Seftyana Khairunisa
    https://greennetwork.id/author/seftyanaauliakhairunisa/
    Mengupayakan Keadilan Ekologis
  • Seftyana Khairunisa
    https://greennetwork.id/author/seftyanaauliakhairunisa/
    Mendorong Transformasi Hijau di Sektor UMKM
  • Seftyana Khairunisa
    https://greennetwork.id/author/seftyanaauliakhairunisa/
    GovTech AI dan Transformasi Digital di Sektor Pelayanan Publik
  • Seftyana Khairunisa
    https://greennetwork.id/author/seftyanaauliakhairunisa/
    Menangkal Masifnya Penyebaran Misinformasi dan Disinformasi

Continue Reading

Sebelumnya: Ironi Pemusnahan Satwa Liar di Namibia untuk Atasi Masalah Kekeringan
Berikutnya: Potensi Sistem Agrivoltaik untuk Efisiensi Penggunaan Lahan

Lihat Konten GNA Lainnya

bangunan roboh Robohnya NZBA: Kritik, Analisis, dan Seruan untuk Perbankan Indonesia
  • GNA Knowledge Hub
  • Kolom Penasihat GNA
  • Opini

Robohnya NZBA: Kritik, Analisis, dan Seruan untuk Perbankan Indonesia

Oleh Jalal
17 Oktober 2025
Empat tangan anak-anak yang saling berpegangan Mengatasi Perundungan di Lingkungan Pendidikan dengan Aksi Kolektif
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Mengatasi Perundungan di Lingkungan Pendidikan dengan Aksi Kolektif

Oleh Andi Batara
17 Oktober 2025
sekawanan bison sedang memamah di atas padang rumput yang tertutup salju Mendorong Rewilding untuk Memulihkan Krisis Ekologi
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Mendorong Rewilding untuk Memulihkan Krisis Ekologi

Oleh Kresentia Madina
17 Oktober 2025
meja dengan berbagai ikan segar tersusun di atasnya Memajukan Sektor Pangan Akuatik untuk Mendukung Ketahanan Pangan
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Memajukan Sektor Pangan Akuatik untuk Mendukung Ketahanan Pangan

Oleh Seftyana Khairunisa
16 Oktober 2025
dua elang hitam kepala putih bertengger di ranting pohon yang tak berdaun Bagaimana Bahasa Potawatomi Menghidupkan dan Menghormati Alam
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Bagaimana Bahasa Potawatomi Menghidupkan dan Menghormati Alam

Oleh Dina Oktaferia
16 Oktober 2025
Kursi roda anak berukuran kecil di samping deretan kursi kayu, dengan latar belakang papan tulis hitam dan lantai berkarpet berwarna cerah. Mengatasi Tantangan yang Dihadapi Anak dengan Disabilitas
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Mengatasi Tantangan yang Dihadapi Anak dengan Disabilitas

Oleh Niken Pusparani Permata Progresia
15 Oktober 2025

Tentang Kami

  • Surat CEO GNA
  • Tim In-House GNA
  • Jaringan Penasihat GNA
  • Jaringan Author GNA
  • Panduan Artikel Opini GNA
  • Panduan Laporan Akar Rumput GNA
  • Layanan Penempatan Siaran Pers GNA
  • Program Magang GNA
  • Ketentuan Layanan
  • Kebijakan Privasi
© 2021-2025 Green Network Asia