Petaka Tambang Nikel di Sulawesi

Kawasan Tambang Nikel Ore di Sulawesi Tenggara. | Foto: Wikimedia Commons.
Dalam beberapa tahun terakhir, kendaraan listrik telah dianggap dan dipromosikan sebagai salah satu solusi dekarbonisasi sektor transportasi karena dinilai dapat mengurangi emisi karbon dan mendukung transisi energi. Kendaraan listrik digerakkan oleh energi baterai yang salah satu bahan dasarnya adalah nikel. Karena itu, meningkatnya permintaan global akan kendaraan listrik telah mendorong ekspansi industri nikel, yang berarti meningkatkan eksploitasi sumber daya yang ada secara besar-besaran, seperti yang terjadi di berbagai daerah di Sulawesi. Hal tersebut telah menjadi konsekuensi dari ambisi pemerintah Indonesia yang ingin menjadi pemain kunci dalam rantai pasok kendaraan listrik dunia.
Meningkatnya Eksploitasi Nikel
Peralihan dari kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik telah dianggap sebagai salah satu solusi untuk mengatasi masalah pemanasan global akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca. Asumsi ini didasarkan pada pengujian bahwa kendaraan listrik menghasilkan emisi yang lebih rendah dan tidak menghasilkan polutan sehingga dapat mengurangi jejak karbon.
Data menunjukkan, produksi nikel di Indonesia sepanjang tahun 2024 mencapai 2,2 juta ton, meningkat dibanding tahun sebelumnya yang sebanyak 2,03 juta ton. Peningkatan produksi tersebut seiring dengan meningkatnya jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel yang pada 2023 sebanyak 300 IUP menjadi 359 IUP pada tahun 2024.
Namun, produksi nikel sebagai salah satu bahan baku utama produksi baterai kendaraan listrik telah meningkatkan kekhawatiran mengenai eksploitasi sumber daya serta dampak yang ditimbulkan. Selain itu, lemahnya pengawasan terhadap operasi tambang telah menimbulkan berbagai dampak buruk yang merugikan masyarakat lokal dan lingkungan tempat mereka tinggal.
Petaka Tambang Nikel di Sulawesi
Maraknya pertambangan seiring ambisi pemerintah menjadi pemain utama dalam rantai pasok produksi kendaraan listrik nyatanya membawa petaka bagi banyak warga di Sulawesi, yang menyimpan 60,1 persen cadangan bijih nikel Indonesia. Beberapa dampak paling signifikan yang muncul akibat eksploitasi nikel adalah deforestasi, pencemaran danau, lenyapnya sumber penghidupan warga lokal, polusi udara, banjir, hingga kriminalisasi warga dan kecelakan kerja di area pertambangan yang banyak memakan korban.
Di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, misalnya, ekspansi tambang nikel besar-besaran di sekitar Danau Towuti mengakibatkan kerusakan hutan hujan serta danau yang merupakan ekosistem krusial yang telah bertahan selama ribuan tahun. Selain itu, operasi tambang nikel juga merusak area pertanian dan ruang hidup warga setempat, serta merusak ekosistem hutan. Menurut catatan Walhi, luas deforestasi akibat eksploitasi nikel di Sulawesi Selatan mencapai 4.752,87 hektare.
Di Morowali, Sulawesi Tengah, eksplorasi nikel sejak 2015 telah menyebabkan deforestasi pada tingkat yang mengkhawatirkan. Berdasarkan catatan Yayasan Kompas Peduli Hutan (Komiu), terjadi penyusutan luasan hutan sekitar 441,7 hektare di Bahodopi, Morowali, dalam rentang tahun 2019 hingga 2022, yang menyebabkan peningkatan intensitas dan skala banjir di wilayah tersebut.
Selain itu, para pekerja tambang sangat rentan mengalami kecelakaan kerja. Sepanjang 2023-2024 saja, telah terjadi 300 kali kecelakaan kerja yang menewaskan 31 orang pekerja tambang di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Masyarakat yang mencoba memprotes kondisi tersebut pun sangat rentan dikriminalisasi.
Hilirisasi nikel yang sering digaungkan oleh para pejabat negara kemudian menghadirkan aturan pelarangan ekspor bijih nikel yang telah diberlakukan sejak 2020. Dengan aturan tersebut, perusahaan tambang diwajibkan membangun smelter untuk mengolah bijih mentah menjadi barang setengah jadi sebelum diekspor. Namun, pembangunan smelter pengolahan bijih nikel melengkapi petaka yang mendera masyarakat lokal. Di Bantaeng, Sulawesi Selatan, misalnya, sebanyak tiga kampung di Kecamatan Pa’jukukang telah tercemar debu tebal sejak tahun 2019 ketika aktivitas smelter nikel di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) mulai beroperasi. Kondisi tersebut merusak tanaman warga, menimbulkan polusi asap dan debu, serta menyebabkan gangguan pernapasan.
Pelajaran Penting
Pembangunan tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan apa pun, ataupun dengan mengganti satu kerugian dengan kerugian yang lain. Apa yang terjadi di Sulawesi dan banyak daerah lain di Indonesia, termasuk dalam bentuk proyek-proyek lain, harus menjadi pelajaran dan pertimbangan penting dalam mengevaluasi dan memperbaiki strategi dan kebijakan pembangunan, khususnya terkait transisi energi sebagai bagian dari mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Penilaian dampak lingkungan-sosial-ekonomi secara menyeluruh perlu terus ditingkatkan dan dipatuhi agar pembangunan tidak berakhir menjadi sumber bencana bagi masyarakat dan lingkungan. Komitmen dan tanggung jawab bersama seluruh pihak, terutama pemerintah, investor, pelaku usaha, adalah kunci untuk mengatasi semua ini.
Editor: Abul Muamar

Terima kasih telah membaca!
Berlangganan Green Network Asia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua kabar dan cerita yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan keberlanjutan (sustainability) di Indonesia dan dunia. Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional dengan pembaruan seputar kebijakan publik & regulasi, ringkasan hasil temuan riset & laporan yang mudah dipahami, dan cerita dampak dari berbagai organisasi di pemerintahan, bisnis, dan masyarakat sipil.