Mengarusutamakan Real Food untuk Masyarakat yang Lebih Sehat
Foto: Yu Hosoi on Unsplash.
Dari bangun hingga kembali tidur, berapa banyak makanan ultra-olahan yang kita konsumsi setiap hari? Sereal, susu UHT, sosis, donat, chips, mi instan, minuman ringan berkarbonasi (soft drink), dan banyak lagi; kebanyakan diberi klaim “bergizi dan sehat” dan orang-orang kerap tergoda untuk mengonsumsinya tanpa memikirkan dampaknya. Pola makan yang didominasi oleh makanan ultra-olahan telah menjadi bagian dari gaya hidup manusia modern selama beberapa dekade terakhir. Kini, di tengah meningkatnya risiko penyakit yang berkaitan dengan pola makan, sangat penting untuk mengarusutamakan real food (makanan asli) melalui kebijakan untuk mewujudkan masyarakat yang lebih sehat.
Makanan Ultra-Proses dan Dampaknya
Sesuai namanya, makanan ultra-olahan (ultra-processed food/UPF) adalah makanan yang melalui proses pengolahan yang panjang, seringkali melibatkan penambahan gula, garam, lemak, dan bahan-bahan kimia aditif lainnya dalam jumlah tinggi, serta pengawet, pewarna, dan penguat rasa. Pada umumnya, UPF diproduksi dalam skala industri besar meski tidak jarang dibuat dalam skala kecil oleh individu atau rumah tangga. UPF mengandung sedikit makanan utuh atau bahkan tidak sama sekali. Selain itu, UPF juga kerap diidentikkan dengan makanan cepat saji (junk food) dan makanan instan (instant food).
Secara umum, UPF mengalami proses pencetakan, hidrogenasi, penggorengan, pengalengan, dan banyak lagi. Indeks Siga mendefinisikan makanan ultra-olahan sebagai makanan yang dianggap memiliki nilai gizi rendah dan tingkat bahan tambahan, pengawet, dan bahan buatan yang tinggi. Sebuah penelitian yang terbit di The British Medical Journal menyebutkan bahwa UPF memiliki kaitan erat dengan 32 dampak berbahaya bagi kesehatan, termasuk penyakit jantung, kanker, diabetes tipe 2, obesitas, kesehatan mental, dan kematian dini.
Tidak hanya terhadap kesehatan manusia, UPF juga turut menyebabkan dampak buruk terhadap lingkungan, terutama karena proses pengolahan yang membutuhkan banyak energi dan rantai pasokan yang panjang, sehingga menghasilkan emisi gas rumah kaca yang besar. Dampak lingkungan paling menonjol dari pola makan kaya UPF berasal dari tahap pascapertanian, khususnya proses pembuatan produk akhir dan pengemasan. Selain itu, kemasan UPF, terutama berbahan plastik, juga sering berakhir menjadi sampah yang tidak terkelola dan banyak ditemukan di laut dan sungai.
Oleh karena itu, mengurangi konsumsi makanan ultra-olahan dapat berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan, di samping lebih baik untuk kesehatan. Dalam hal ini, real food (makanan asli) dapat menjadi solusi untuk pola makan yang lebih sehat dan berkelanjutan.

Real Food dan Privilese untuk Menikmatinya
Pada dasarnya, real food, atau sering disebut makanan utuh, adalah makanan alami yang minim olahan atau bahkan tidak diolah sama sekali yang berasal dari alam, baik tumbuhan maupun hewan. Contoh-contoh real food yang selama ini banyak dikonsumsi adalah sayur-sayuran, buah-buahan, daging, kacang-kacangan, biji-bijian, makanan laut, dan banyak lagi. Contoh yang lebih konkret seperti ikan bakar, singkong rebus, ayam ungkep, ubi panggang, bayam tumis, dan rujak aneka buah.
Ada banyak kelebihan dari mengonsumsi real food, di antaranya lebih bernutrisi, rendah gula dan garam, tinggi serat, mengurangi risiko penyakit, lebih baik untuk kesehatan mental, dan lebih ramah lingkungan. Bahkan, beberapa real food juga dapat berperan sebagai obat atau pencegah penyakit, seperti makanan yang berasal dari tumbuhan herbal dan organ-organ tertentu hewan.
Namun sayangnya, meski minim atau tanpa proses, real food justru seringkali lebih sulit dijangkau masyarakat secara luas dibanding makanan ultra-olahan. Bahkan kini, mengonsumsi real food dapat dianggap sebagai bentuk privilese yang hanya dapat dinikmati oleh orang-orang tertentu, alih-alih sebuah pilihan yang bisa diperoleh kapan saja dan oleh siapa saja. Sebagai contoh, jika Anda menengok rumah tangga miskin terutama di wilayah perkotaan, makanan yang tersedia seringkali adalah UPF seperti mi instan atau ikan kaleng alih-alih sayuran atau buah-buahan lokal.
Di banyak tempat, termasuk di sekolah, jajanan yang banyak dijual seringkali berupa UPF. Telah menjadi pemandangan yang umum bahwa anak-anak sekolah jajan sosis bakar, es boba, kerupuk mi instan, dan sebagainya. Di kalangan pemuda dan orang dewasa pun tak jauh berbeda. “Jajan” seringkali identik dengan makanan-makanan instan, cepat saji, dan rendah nutrisi.
Kurangnya pengetahuan mengenai nutrisi, perubahan gaya hidup urban dan industrialisasi, persepsi mengenai status sosial dari mengonsumsi makanan olahan, pemasaran produk yang berbahaya dan tidak bertanggung jawab, merupakan beberapa faktor yang menyebabkan makanan real food kurang populer dibanding makanan ultra-olahan.
Perlu Kebijakan untuk Mengarusutamakan Real Food
Mengonsumsi real food pada dasarnya adalah mengembalikan pola makan manusia seperti ketika makanan ultra-olahan belum diciptakan. Mengarusutamakan real food sangat penting untuk mewujudkan masyarakat yang lebih sehat dan dapat diintegrasikan dengan upaya untuk menghapus kelaparan sesuai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Goal 2. Dalam hal ini, diperlukan intervensi yang bermakna dari pemerintah melalui kebijakan yang berkaitan dengan pangan. Beberapa langkah strategis dan penting untuk mendukung kebijakan yang dibutuhkan antara lain:
- Menggencarkan pendidikan dan kampanye terkait gizi untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai manfaat kesehatan dari konsumsi real food.
- Menerapkan regulasi yang mempromosikan dan mengutamakan penjualan real food di tempat-tempat umum seperti sekolah, pusat kuliner, dan sebagainya. Ini dapat dilakukan dengan mendorong lebih banyak pilihan dan inovasi real food seraya membatasi penjualan UPF.
- Pemerintah berkolaborasi dengan industri makanan dan ritel untuk meningkatkan ketersediaan real food. Misalnya dengan memfasilitasi program kemitraan antara supermarket atau minimarket dengan petani lokal untuk memastikan suplai real food segar dan berkualitas.
- Meningkatkan aksesibilitas terhadap real food dengan mengembangkan infrastruktur yang mendukung distribusi dan pemasaran makanan segar, dengan harga yang terjangkau. Contohnya, membangun pasar real food yang bersih dan tertata dapat membantu petani lokal menjual produk mereka secara langsung kepada konsumen.
- Mengembangkan program subsidi atau bantuan gizi yang mendukung masyarakat, utamanya masyarakat miskin, agar mampu membeli real food; serta mengembangkan program insentif untuk petani atau produsen real food untuk membantu meningkatkan produksi dan ketersediaan real food di pasar lokal.
- Memastikan bahwa real food yang tersedia di pasar memenuhi standar kualitas dan keamanan pangan, termasuk berupa pengawasan terhadap penggunaan pestisida dan bahan kimia lainnya, serta memastikan bahwa produksi real food dilakukan dengan praktik yang aman, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.
Selain pemerintah, seluruh pemangku kepentingan terkait juga mesti berperan dalam mengarusutamakan real food di tengah masyarakat. Industri makanan dan ritel, misalnya, dapat mengambil peran dengan mengurangi promosi dan penjualan UPF yang tidak sehat, serta meningkatkan ketersediaan real food yang segar dan berkualitas tinggi; dalam hal ini, kolaborasi dengan petani lokal untuk memastikan pasokan real food merupakan langkah penting yang dapat ditempuh.
Lembaga pendidikan, organisasi masyarakat sipil, dan media, juga dapat berperan dalam kapasitasnya masing-masing. Dan terakhir, peran kita sebagai konsumen individu juga tidak kalah penting. Dengan meningkatkan pengetahuan kita tentang pola makan sehat dan memilih untuk mengonsumsi real food, kita dapat secara langsung mempengaruhi permintaan pasar dan mendorong industri untuk menyediakan lebih banyak pilihan real food.
Amar adalah Manajer Publikasi Digital Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah alumnus Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor untuk beberapa media tingkat nasional di Indonesia. Ia juga adalah penulis, editor, dan penerjemah, dengan minat khusus pada isu-isu sosial-ekonomi dan lingkungan.

Menilik Fenomena Pengolahan Sampah Plastik menjadi Bahan Bakar di Tingkat Akar Rumput
Pink Tax dan Beratnya Ongkos Menjadi Perempuan
Mengatasi Risiko Konsumsi Minuman Berpemanis dalam Kemasan
Bagaimana Insentif Positif dapat Hentikan Penurunan Keanekaragaman Hayati
Mengatasi Deprivasi Hak Anak Multidimensi untuk Dukung Kesejahteraan Anak
Langkah Singapura dalam Melindungi Korban Kekerasan Siber