Skip to content
  • Tentang
  • Bermitra dengan Kami
  • GNA Internasional
  • Berlangganan
  • Log In
Primary Menu
  • Terbaru
  • GNA Knowledge Hub
  • Topik
  • Wilayah
    • Dunia
    • Jawa
    • Kalimantan
    • Maluku
    • Nusa Tenggara
    • Papua
    • Sulawesi
    • Sumatera
  • Soft News
  • Ikhtisar
  • Infografik
  • Video
  • Opini
  • Komunitas
  • Siaran Pers
  • Muda
  • ESG
  • GNA Knowledge Hub
  • Wawancara

Bagaimana Masyarakat Adat Mollo Hadapi Krisis Iklim dan Dampak Pertambangan

Di tengah krisis iklim dan dampak pertambangan, Masyarakat Adat Mollo mengembangkan berbagai strategi dan inisiatif untuk bertahan. Apa saja yang mereka lakukan?
Oleh Andi Batara
18 September 2025
Beberapa perempuan Mollo sedang menenun

Perempuan adat Mollo sedang belajar menenun didampingi para penenun senior. | Foto: Dokumentasi MAF.

Kerusakan lingkungan dan perubahan iklim merupakan masalah yang dihadapi oleh masyarakat di banyak tempat, termasuk Masyarakat Adat Mollo di Nusa Tenggara Timur. Krisis tersebut telah mengakibatkan kelangkaan air dan kerawanan pangan, yang berdampak pada menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Ekspansi pertambangan yang tidak bertanggung jawab, praktik reboisasi yang keliru, dan alih fungsi hutan untuk kepentingan industri menjadi faktor yang cukup signifikan dalam menyebabkan kerusakan alam.

Lantas, tantangan apa saja yang dihadapi oleh Masyarakat Adat Mollo? Aleta Kornelia Baun, seorang perempuan adat Mollo yang pernah memimpin gerakan penolakan terhadap ekspansi tambang marmer di wilayah Mollo, berupaya memberikan jawaban atas pertanyaan itu berdasarkan wawasan dan pengalamannya dalam wawancara bersama Green Network Asia (GNA) pada medio Agustus 2025.

Krisis Iklim dan Dampak Tambang di Wilayah Adat Mollo

Perubahan iklim turut berdampak pada kehidupan Masyarakat Adat Mollo di Nusa Tenggara Timur (NTT). Perubahan curah hujan dan peningkatan suhu membuat krisis air dan pangan menjadi ancaman yang semakin nyata. Kondisi ini diperparah oleh kerusakan ekologis akibat aktivitas pertambangan dan kebijakan kehutanan yang tidak memperhatikan kelestarian alam.

“Yang terjadi sekarang di NTT adalah dampak perubahan iklim yang tidak bisa kita hitung dan juga banyak kekurangan sumber-sumber mata air. Kenapa kekurangan sumber mata air? Karena (Dinas) Kehutanan telah mengembangkan pohon mahoni, jati, akasia, dan pohon-pohon ini adalah pohon yang rakus akan sumber air. Ketika tambang masuk, wilayah Mollo menjadi daerah yang kering karena hutan menjadi rusak, tutupan tanah hilang, dan cadangan air tanah semakin menipis,” kata Aleta.

Sumber air yang menyusut di Mollo membuat tanah tidak lagi seproduktif dulu sehingga berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat. “Masyarakat Mollo itu sebenarnya adalah masyarakat yang sejahtera, sejahtera karena sumber daya alam mereka ada. Penghasilan mereka bersumber dari perkebunan apel, dulu itu buahnya sarat (banyak), jeruk buahnya sarat (banyak). Saking banyaknya apel itu dikasih makan ke ternak, dan nilai ekonominya luar biasa,” katanya.

Selain berdampak pada pertanian dan perkebunan, perubahan iklim dan pertambangan juga membuat banyak keluarga Mollo yang terpaksa berjalan kaki berkilo-kilo meter untuk mendapatkan air bersih, bahkan terkadang berebutan dengan hewan ternak. Kondisi demikian tidak hanya menguras energi tapi juga menyita waktu yang seharusnya bisa dipakai untuk bekerja, belajar, ataupun beristirahat.

Perlawanan Masyarakat Adat Mollo

Para perempuan Mollo berfoto dengan latar gunung karst
Para perempuan adat Mollo. | Foto: Dokumentasi MAF.

Masyarakat Adat Mollo menganggap alam tempat mereka hidup sebagai entitas yang menyatu dengan kehidupan mereka. Batu dianggap sebagai tulang, air sebagai darah, hutan adalah urat nadi dan pori-pori, dan tanah adalah daging. Maka dari itu, mereka menjaga alam layaknya menjaga kehidupan.

Ketika tambang marmer mulai masuk ke wilayah mereka pada tahun 1990-an, masyarakat Mollo dengan tegas menolak dan melakukan perlawanan. Bukan dengan kekerasan, mereka, terutama para perempuan, melawan dengan menduduki tempat-tempat penambangan marmer saat itu dan menenun di lokasi tambang. “Kami menunjukkan tenun-tenun kami, yang menceritakan tentang struktur adat kami, lembaga adat kami, dan masyarakat adat yang ada di Mollo itu sendiri. Hubungan tenun dengan alam itu tidak bisa dipisahkan karena punya makna dan punya cerita yang sangat berhubungan dengan kehidupan masyarakat adat yang ada di Mollo,” ujar Aleta.

Perjuangan masyarakat Mollo melawan tambang berlangsung selama belasan tahun. Di masa akhir sebelum mendapatkan titik terang, mereka melakukan aksi menenun selama setahun. Saat itu, para perempuan adat Mollo menenun di lokasi tambang sejak pagi hingga sore, dan kemudian pada malam harinya dilanjutkan oleh para lelaki.

“Dari bentuk perlawanan itu kami memahami bahwa negara ini tidak peduli dengan hak-hak masyarakat adat. Negara mencaplok saja tanah-tanah mereka. Hak-hak masyarakat adat tidak dipedulikan, tidak didengar, tidak dihargai,” tambah perempuan yang akrab disapa Mama Aleta ini.

Membangun Kemandirian

Anak-anak perempuan Mollo duduk di hadapan berbagai hasil bumi.
Anak-anak perempuan adat Mollo. Foto: Foto: Dokumentasi MAF.

Meskipun penolakan terhadap tambang marmer berhasil, masyarakat adat Mollo masih berhadapan dengan ancaman perubahan iklim, kerusakan hutan, dan krisis air. Semua itu tidak hanya mengancam lingkungan, tapi juga keberlangsungan budaya dan kehidupan mereka.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh masyarakat Mollo adalah memperkuat kemandirian pangan dan pendidikan lokal. Mereka mengembangakan Pangan Terpadu Berkelanjutan (PTB) dengan menanam kopi, jeruk, alpukat, sayur-sayuran, dan pangan lokal seperti ubi dan jagung. “Walaupun kami tidak didukung oleh siapapun, kami harus memulai kegiatan PTB ini. Kami tidak mau kalah dengan perubahan iklim, kami akan tetap melakukannya,” tutur Aleta.

Inisiatif-inisiatif ini juga diperkuat dengan sebuah organisasi yang lahir dari perjuangan masyarakat Mollo melawan tambang. Organisasi ini berperan menjaga kesinambungan gerakan dengan mendukung pendidikan, pemberdayaan perempuan, pelestarian kebudayaan, serta penguatan ekonomi berbasis sumber daya lokal. Dengan cara ini, masyarakat Mollo tidak hanya bertahan, tapi juga membangun kemandirian yang berkelanjutan di tengah krisis iklim.

Editor: Abul Muamar

Andi Batara
+ postsBio

Ata adalah Intern Researcher dan Reporter di Green Network Asia. Ia adalah alumnus Ilmu Pemerintahan dari Universitas Hasanuddin. Ia memiliki ketertarikan pada bidang penelitian, jurnalisme, serta isu seputar pemberdayaan dan ekonomi politik.

  • Andi Batara
    https://greennetwork.id/author/atasyafaat/
    Dampak Ekologis dan Sosial dari Perluasan Tambang di Pulau Jawa
  • Andi Batara
    https://greennetwork.id/author/atasyafaat/
    Penghapusan Rafaksi dan Dampaknya terhadap Tata Kelola Beras
  • Andi Batara
    https://greennetwork.id/author/atasyafaat/
    Bagaimana Karakteristik Demografis Memengaruhi Emisi Karbon Individu
  • Andi Batara
    https://greennetwork.id/author/atasyafaat/
    Mengulik Dampak Pendidikan Profesi Guru dalam Meningkatkan Kualitas Calon Guru

Continue Reading

Sebelumnya: Olahraga Inklusif sebagai Jalan Pemenuhan Hak dan Pemberdayaan Difabel

Lihat Konten GNA Lainnya

Seorang penyandang disabilitas di kursi roda sedang memegang bola basket di lapangan. Olahraga Inklusif sebagai Jalan Pemenuhan Hak dan Pemberdayaan Difabel
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Olahraga Inklusif sebagai Jalan Pemenuhan Hak dan Pemberdayaan Difabel

Oleh Attiatul Noor
18 September 2025
alat-alat makeup di dalam wadah Fast-Beauty dan Dampaknya yang Kompleks
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Fast-Beauty dan Dampaknya yang Kompleks

Oleh Niken Pusparani Permata Progresia
17 September 2025
kawanan gajah berjalan melintasi ladang hijau yang subur Penurunan Populasi Gajah Afrika dan Dampaknya terhadap Ekosistem
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Penurunan Populasi Gajah Afrika dan Dampaknya terhadap Ekosistem

Oleh Kresentia Madina
17 September 2025
foto kapal di lautan biru gelap dari atas udara Memperkuat Standar Ketenagakerjaan di Sektor Perikanan
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Memperkuat Standar Ketenagakerjaan di Sektor Perikanan

Oleh Abul Muamar
16 September 2025
Siluet keluarga menyaksikan bencana kebakaran hutan Memahami Polusi Udara sebagai Risiko bagi Kesehatan Manusia dan Bumi
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Memahami Polusi Udara sebagai Risiko bagi Kesehatan Manusia dan Bumi

Oleh Kresentia Madina
16 September 2025
bom waktu tersembunyi di antara bunga Memahami Kecurigaan dan Kekecewaan terhadap Gerakan Keberlanjutan Perusahaan
  • GNA Knowledge Hub
  • Kolom Penasihat GNA
  • Opini

Memahami Kecurigaan dan Kekecewaan terhadap Gerakan Keberlanjutan Perusahaan

Oleh Jalal
15 September 2025

Tentang Kami

  • Surat CEO GNA
  • Tim In-House GNA
  • Jaringan Penasihat GNA
  • Jaringan Author GNA
  • Panduan Artikel Opini GNA
  • Panduan Konten Komunitas GNA
  • Layanan Penempatan Siaran Pers GNA
  • Program Magang GNA
  • Pedoman Media Siber
  • Ketentuan Layanan
  • Kebijakan Privasi
© 2021-2025 Green Network Asia