Pemberdayaan Perempuan untuk Aksi Iklim yang Responsif Gender
Foto oleh Pascal Bernardon di Unsplash
Kaum miskin di dunia sangat terpengaruh oleh perubahan iklim dan sangat membutuhkan adaptasi strategi pencegahan perubahan iklim. Lebih lanjut lagi, perempuan adalah kelompok paling rentan dan berisiko terhadap perubahan iklim. Berdasarkan data dari UN Women, perempuan dan anak-anak miskin memiliki risiko hingga 14 kali lebih tinggi daripada laki-laki untuk terbunuh dalam bencana alam yang dipicu oleh perubahan iklim, seperti angin topan, banjir bandang, atau badai.
Di seluruh penjuru dunia, kaum perempuan, baik dewasa maupun anak-anak, bertanggung jawab atas ketahanan pangan dan gizi keluarga melalui pertanian swasembada, seperti berkebun sayur-sayuran dan beternak unggas. Peran mereka juga sangat dominan dalam produksi pangan dunia meskipun hanya memiliki kurang dari 10 persen lahan. Akan tetapi, sumber daya alam lokal yang sangat mereka andalkan ini menjadi semakin terbatas karena perubahan iklim dan berbagai bencana.
Bencana yang dipicu oleh perubahan iklim menyebabkan banyak orang harus meninggalkan rumah mereka untuk bermigrasi dan mengungsi ke tempat baru. Perpindahan ini sangat berdampak pada negara-negara berkembang sekaligus rawan bencana. Kondisi ini juga menimbulkan ketidakadilan tiga kali lipat dalam wujud perubahan iklim, kemiskinan, dan ketidaksetaraan gender yang sering terabaikan.
Perubahan iklim, pengungsian, dan migrasi menyebabkan perempuan, baik dewasa maupun anak-anak, lebih berisiko untuk mengalami kekerasan berbasis gender seperti pemerkosaan, penculikan, atau kekerasan seksual. Sebagai contoh, kaum perempuan di Nusa Tenggara Barat rentan terhadap perdagangan manusia, sementara banyak perempuan muda di kawasan pantai utara Jawa dipaksa menjadi pekerja seks. Di kamp-kamp pengungsian, perempuan juga sering menghadapi risiko kesehatan yang serius karena keterbatasan akses ke layanan kesehatan dasar. Kasus yang kerap terjadi adalah kurangnya bantuan peralatan kebersihan diri saat menstruasi.
Dampak terkait gender ini sangat dipengaruhi oleh sistem dan juga norma sosial budaya. Dalam perspektif global, perempuan berada dalam posisi yang lebih lemah daripada laki-laki dalam hal sumber daya, pengambilan keputusan, teknologi, dan pelatihan yang akan meningkatkan kemampuan adaptasi mereka terhadap perubahan iklim. Perempuan cenderung memiliki akses yang lebih sedikit ke informasi kebencanaan karena kemungkinan besar mereka memiliki literasi tentang perubahan iklim yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.
Di banyak masyarakat, perempuan dewasa dan anak-anak perempuan cenderung memiliki tuntutan peran sebagai pengasuh dalam rumah tangga, sehingga mencegah mereka meninggalkan rumah dan menempatkan mereka pada pilihan mobilitas yang sangat terbatas. Selain itu, perempuan hanya menduduki 15% posisi tertinggi dalam perumusan kebijakan atau sebagai menteri sektor lingkungan menangani sumber daya alam, air, hutan, dll.) di 193 negara. Hal ini menghadirkan kesenjangan dalam perumusan kebijakan yang sebenarnya dapat dioptimalkan untuk megurangi ketidaksetaraan ini.
Pemberdayaan Perempuan sebagai Pemeran, Bukan sebagai Korban
Perempuan harus berperan penting sebagai agen perubahan dalam merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi strategi adaptasi terhadap perubahan iklim. Alih-alih memandang mereka hanya sebagai korban, kita harus menangani masalah ini secara serius dalam kerangka pengarusutamaan gender. Tidak hanya memberdayakan perempuan, tetapi juga melantangkan suara mereka sebagai pegiat adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Program pelatihan bagi perempuan petani yang dilakukan oleh CARE, misalnya, berhasil meningkatkan pendapatan dari produksi pertanian (33%) dan menurunkan kerawanan pangan secara besar-besaran. Hal ini menunjukkan ketika perempuan ditempatkan sebagai pemimpin dan pengambil keputusan yang berwenang, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim juga akan berkembang ke arah yang lebih baik. Untuk mencapai hal ini, sejumlah rekomendasi berikut perlu dipertimbangkan:
- Perempuan harus menjadi bagian dari pengambilan keputusan di tingkat lokal, nasional, dan internasional untuk mendorong penyusunan kebijakan yang peka gender dan perencanaan alokasi sumber daya untuk inisiatif perubahan iklim.
- Pemerintah, organisasi masyarakat, dan organisasi nirlaba harus mulai mengadvokasi pengarusutamaan gender sebagai pintu masuk dengan memfasilitasi akses perempuan ke pelatihan, dialog, lokakarya, dan teknologi yang akan meningkatkan strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim melalui konsep Training of Trainers (ToT) di komunitas lokal.
- Perempuan harus diberikan pelatihan bisnis dan keuangan, termasuk akses ke sumber daya dan kegiatan yang menghasilkan pendapatan, hubungan dengan lembaga kredit mikro, dan peningkatan kapasitas untuk mendorong kemandirian.
- Pendanaan dan investasi yang berfokus pada perempuan harus dialokasikan lebih banyak dengan mempertimbangkan kondisi perempuan secara spesifik dalam konteks perubahan iklim untuk mengurangi hambatan ekonomi, sosial, dan budaya.
- Peneliti dan ilmuwan perempuan harus dilibatkan secara masif dalam studi perubahan iklim untuk mengarusutamakan perspektif gender ke dalam makalah penelitian, naskah akademik, dan rekomendasi kebijakan. Dengan kata lain, bias gender dan stereotip di bidang eksakta juga harus dihilangkan di segala tingkat pendidikan.
- Permasalahan terkait gender dalam lingkup rumah tangga dan komunitas lokal harus senantiasa diadvokasi agar diperoleh pemahaman yang luas tentang berbagai hal tersebut. Dengan demikian, tercipta hubungan yang saling mendukung antara laki-laki dan perempuan.
Editor: Nazalea Kusuma, Kezia Indira dan Mahardhika @Pustakezia
Penerjemah: Mahardhika dan Kezia Indira @Pustakezia
Untuk membaca versi asli tulisan ini dalam bahasa Inggris, klik di sini.
Jika Anda melihat artikel ini bermanfaat, berlangganan Newsletter Mingguan kami untuk mengikuti kabar dan cerita seputar pembangunan berkelanjutan dari komunitas multistakeholder di Indonesia dan dunia.
Adelia adalah penulis kontributor untuk Green Network Asia. Saat ini bekerja sebagai Reporter di SEA Today.