Gerakan 7 KAIH: Upaya Mengatasi Krisis Pendidikan Karakter di Indonesia

Foto: oleh ROMAN ODINTSOV di Pexels
Pendidikan tidak hanya tentang pencapaian akademik atau kecerdasan kognitif, tetapi juga harus membentuk karakter manusia yang berintegritas dan bertanggung jawab. Hal ini dapat diwujudkan melalui pendidikan karakter yang menanamkan nilai-nilai luhur seperti kejujuran, disiplin, adil sejak dalam pikiran, empati, welas asih, kerja sama, dan lainnya. Namun sayangnya, Indonesia tengah menghadapi krisis pendidikan karakter yang turut ditandai oleh maraknya perilaku yang mengkhawatirkan di kalangan pelajar, seperti perundungan, kekerasan dalam berbagai bentuk, dan intoleransi.
Terkait hal ini, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menginisiasi Gerakan 7 KAIH sebagai upaya untuk menanamkan kebiasaan positif sejak dini kepada pelajar untuk membangun karakter yang kuat. Lantas, bagaimana gerakan ini mampu menjawab krisis pendidikan karakter di Indonesia?
Krisis Pendidikan Karakter
Berbagai kabar tentang tindakan meresahkan di lingkungan pendidikan, mulai dari perundungan (bullying), kekerasan seksual, hingga pembunuhan yang melibatkan pelajar terus bermunculan dari berbagai penjuru Indonesia. Di Magelang, misalnya, seorang siswa SMP membunuh temannya secara sadis pada 3 Agustus 2022. Dalam pengakuannya kepada pihak kepolisian, ia mengaku malu karena telah mencuri ponsel milik korban. Di Lamongan, seorang siswa SMP melempar kursi dan membacok gurunya dengan senjata tajam pada 15 November 2023, lantaran tidak terima ditegur gurunya untuk memakai sepatu di dalam kelas. Sementara di Manado, tiga siswa SMK tertangkap merokok di dalam kelas.
Pada tahun 2023 saja, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 2.355 kasus pelanggaran perlindungan anak, dengan 861 kasus terjadi di lingkungan pendidikan. Pelanggaran ini mencakup kekerasan fisik, psikis, dan seksual, hingga perundungan yang menyebabkan kematian. Selain itu, Forum Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat setidaknya 36 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan dengan 144 siswa sebagai korban pada tahun 2024. Situasi ini menggarisbawahi bahwa krisis pendidikan karakter merupakan masalah yang mendesak untuk segera diatasi.
Gerakan 7 KAIH dan Implementasinya
Gerakan 7 KAIH (7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat) yang diluncurkan oleh Kemendikdasmen meliputi bangun pagi, ibadah, olahraga, makan sehat, belajar, bermasyarakat, dan tidur lebih awal. Tujuh gerakan ini dipilih karena mencerminkan pola hidup seimbang yang dapat membentuk kebiasaan baik secara fisik, spiritual, intelektual, dan sosial.
Kemendikdasmen menekankan bahwa Gerakan 7 KAIH melibatkan Catur Pusat Pendidikan, yaitu sekolah, keluarga, masyarakat, dan media. Sekolah yang berperan sebagai penggerak utama membutuhkan dukungan dan keterlibatan aktif orang tua di rumah, tokoh masyarakat di lingkungan sekitar, serta konten edukatif dari media agar gerakan ini dapat berdampak lebih luas. Oleh karena itu, gerakan ini dirancang sebagai gerakan kolaboratif yang memerlukan sinergi lintas sektor.
Untuk mendukung penerapan yang terarah, Kemendikdasmen juga telah menerbitkan Buku Panduan Pelaksanaan Gerakan 7 KAIH, yang berisi pedoman kegiatan harian, pendekatan tematik, serta metode pelaporan bagi guru dan orang tua. Ditujukan kepada semua warga satuan pendidikan termasuk guru dan orang tua, panduan ini dimaksudkan untuk mendorong pendekatan yang lebih sistematis dan terukur dalam menanamkan kebiasaan baik pada anak untuk membentuk karakter yang tangguh, disiplin, dan peduli terhadap lingkungan sekitar.
Memperkuat Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah elemen yang tidak boleh diabaikan atau dianggap remeh dalam sistem pendidikan. Banyak negara yang telah menempatkan pendidikan karakter dalam sistem pendidikan mereka, dan pendekatan yang mereka lakukan cukup efektif dalam menyiapkan generasi masa depan yang berintegritas, bertanggung jawab, serta memiliki empati dan kepedulian tinggi terhadap sesama dan lingkungan.
Jepang dan Korea Selatan, misalnya, mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kurikulum, serta menanamkan nilai-nilai kerja sama, tanggung jawab, dan kedisiplinan melalui kebiasaan sehari-hari seperti membersihkan kelas dan makan bersama. Langkah tersebut berhasil menekan kejahatan remaja dan kenakalan anak, dan menciptakan masyarakat dengan etos kerja tinggi, kedisiplinan, dan rasa tanggung jawab sosial yang kuat.
Sementara itu, Singapura meluncurkan Program Character and Citizenship Education (CCE) yang dimulai sejak tahun 1992 dan terus berkembang hingga kini. Dengan fokus pada pengembangan nilai-nilai seperti rasa hormat, tanggung jawab, dan ketahanan, program ini relatif berhasil dalam meningkatkan kesadaran sosial dan partisipasi aktif siswa dalam kegiatan komunitas, serta memperkuat kohesi sosial dan keberagaman budaya di kalangan generasi muda.
Indonesia perlu memperkuat pendidikan karakter sebagai solusi jangka panjang atas masalah sosial seperti kekerasan, intoleransi, hingga korupsi yang mengakar. Sinergi dan kolaborasi antara pemerintah, sekolah, guru, keluarga, media, dan masyarakat sangatlah penting. Menciptakan sistem pendidikan yang aman yang inklusif, yang didukung oleh kebijakan, regulasi, dan investasi yang mendukung, adalah langkah utama yang dibutuhkan. Singkatnya, pendidikan karakter harus menjadi prioritas dalam sistem pendidikan untuk memastikan generasi mendatang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga berbudi luhur.