Langkah Mundur India dalam Kebijakan Emisi Sulfur Dioksida

Foto: Wikimedia Commons.
Polusi merupakan salah satu dari tiga krisis planet yang melanda Bumi, dan keadaannya tak kunjung membaik. Saat ini, udara bersih menjadi barang mewah, padahal seharusnya merupakan hak asasi manusia. Salah satu polutan udara utama adalah sulfur dioksida (SO2), dan India telah melonggarkan kebijakan emisi SO2 secara signifikan sejak 11 Juli 2025.
Sulfur Dioksida dan Dampaknya
Emisi sulfur dioksida merupakan masalah kesehatan masyarakat. Paparan jangka pendek sekalipun dapat menyebabkan masalah pernapasan dan iritasi kulit serta mata. Di atmosfer, SO2 bereaksi dengan senyawa lain dan berubah menjadi polusi partikulat matter (PM), yang dapat masuk jauh ke dalam paru-paru, memengaruhi fungsi paru-paru, dan menyebabkan penyakit kardiovaskular.
Selain itu, paparan sulfur dioksida juga berdampak terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistem. Sama seperti bagi kesehatan manusia, SO2 juga berbahaya bagi kesehatan hewan. Pada konsentrasi tinggi, polutan ini juga mengancam kehidupan tanaman karena dapat merusak pohon dan dedaunan serta menghambat pertumbuhan. Yang lebih parah, sulfur dioksida juga dapat mengakibatkan hujan asam yang merusak ekosistem.
Di alam, sulfur dioksida (SO2) berasal dari aktivitas vulkanik. Dalam konteks ini, mitigasi risiko paparan SO2 merupakan bagian dari manajemen bencana. Namun, saat ini, sumber utama gas yang tidak berwarna dan berbau tajam ini adalah pembakaran bahan bakar fosil.
Kebijakan Emisi SO2 India
India adalah penghasil polusi sulfur dioksida terbesar di dunia. Pada tahun 2015, pemerintah India mewajibkan semua pembangkit listrik termal untuk mengurangi emisi SO2 mereka dalam waktu dua tahun. Hal ini terutama dilakukan dengan memasang unit desulfurisasi gas buang (FGD) yang akan menghilangkan sulfur dioksida dari limbah gas.
Namun, kebijakan ini mendapat penolakan dari perusahaan listrik dan kementerian, yang mengakibatkan beberapa penundaan. Bahkan saat itu, 92% pembangkit listrik tenaga batu bara di negara itu belum memasang unit FGD.
Pada Juli 2025, pemerintah India semakin melangkah mundur. Kebijakan emisi SO2 India yang diperbarui membebaskan lebih dari 400 pembangkit listrik tenaga batu bara dari kewajiban tersebut selama memenuhi kriteria ketinggian cerobong. Hanya 65 unit dari sekitar 600 pembangkit listrik yang diwajibkan memasang unit FGD, dengan perpanjangan tenggat waktu hingga Desember 2027.
Selain itu, industri batubara India juga tidak melambat. Pada tahun 2024 saja, negara tersebut memiliki 38,4 GW proposal pembangkit listrik tenaga batu bara baru—tertinggi kedua setelah China. Selain itu, India berencana membangun lebih dari 90 GW kapasitas batu bara baru pada tahun 2032.
Langkah Mundur
Pemerintah India tampaknya telah mengakali kebijakan barunya ini. Mereka membenarkan kebijakan emisi barunya dengan mengutip “bukti ilmiah” mengenai polusi sulfur ambien di India, konsentrasi SO2 yang tidak signifikan, dan lain-lain. Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA) memperingatkan bahaya siasat disinformasi ini.
“Kontribusi sulfat sebesar 5% yang diperkirakan, yang diperoleh dari data di 18 kota yang tidak memenuhi standar, mungkin tidak sepenuhnya mewakili skenario kualitas udara nasional. Keterbatasan seperti periode pengambilan sampel tiga bulan yang singkat dan pengecualian wilayah pedesaan menunjukkan perlunya penilaian yang lebih luas dan sepanjang tahun untuk menginformasikan kebijakan yang efektif,” kata Dr. Manoj Kumar, analis di CREA.
Di sisi lain, penelitian memperkirakan bahwa implementasi penuh FGD dapat mengurangi polusi PM2.5 di India sebesar 8%. Di wilayah dekat pembangkit listrik tenaga batu bara, polusi PM2.5 akan turun sebesar 7–28%, dan 48.000 kematian dini dapat dihindari. Hal ini akan menjadi langkah signifikan dalam memenuhi hak warga negara India untuk mendapatkan udara bersih, alih-alih melangkah mundur dengan kebijakan emisi SO2 yang baru ini.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia
Naz adalah Manajer Publikasi Digital Internasional di Green Network Asia. Ia pernah belajar Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota dan tinggal di beberapa kota di Asia Tenggara. Pengalaman pribadi ini memperkaya persepektifnya akan masyarakat dan budaya yang beragam. Naz memiliki sekitar satu dekade pengalaman profesional sebagai penulis, editor, penerjemah, dan desainer kreatif.