Menengok Inisiatif Restorasi dan Pelestarian Mangrove berbasis Komunitas di Semarang

Pohon-pohon mangrove kecil yang ditanam oleh Kelompok Mangrove Lestari. | Foto: Dokumentasi pribadi Balqis Anindita Jawza Quraisy.
Indonesia kaya akan sumber daya pesisir, termasuk hutan mangrove yang merupakan habitat penting bagi berbagai spesies dan sumber kehidupan bagi masyarakat lokal. Dengan luas sekitar 20–25% dari ekosistem mangrove dunia, Indonesia merupakan salah salah negara dengan hutan mangrove terluas di Bumi. Ekosistem mangrove sangat penting untuk melindungi masyarakat pesisir dari risiko bencana yang semakin meningkat terutama di tengah perubahan iklim. Sayangnya, hutan mangrove di berbagai daerah di Indonesia menghadapi berbagai ancaman deforestasi dan alih fungsi lahan, termasuk di sepanjang pesisir pantai Semarang, Jawa Tengah.
Hal ini mendorong warga Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang, membentuk kelompok pelestarian mangrove berbasis komunitas untuk menyelamatkan hutan mangrove yang menyusut dan terdegradasi.
Kerusakan Hutan Mangrove
Hutan mangrove merupakan ekosistem pesisir yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat pesisir dan kelestarian laut. Namun, setidaknya dalam tiga dekade terakhir, lebih dari 50% hutan mangrove di Indonesia telah hilang, terutama akibat aktivitas manusia yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, faktor-faktor alam seperti gelombang badai dan kekeringan turut memperburuk keadaan.
Di Mangunharjo, sebuah kampung pesisir di Kota Semarang, kerusakan hutan mangrove mulai terjadi saat maraknya budidaya udang dan ikan bandeng pada 1980–1990-an. Saat itu, masyarakat mendapat dukungan modal untuk mengubah hutan mangrove menjadi lahan tambak. Pembukaan tambak yang masif membuat banyak mangrove ditebang.

Saat saya berkunjung ke Mangunharjo, beberapa warga yang saya temui bercerita bahwa hilangnya vegetasi mangrove telah menyebabkan abrasi parah pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an yang memundurkan jarak garis pantai Mangunharjo dari sekitar 1,6 kilometer dari pemukiman warga menjadi hanya 500 meter. Ombak tinggi dan banjir rob kerap merendam jalanan kampung mereka, sehingga mereka terpaksa merenovasi rumah agar tetap bisa ditinggali–dan itu menambah beban hidup mereka karena semuanya membutuhkan uang.
Alih fungsi hutan mangrove menjadi lahan tambak—yang awalnya dianggap akan terus memberikan keuntungan dalam jangka panjang—pun akhirnya hanya mendatangkan musibah tambahan. Sejak 1995, hasil produksi udang dari tambak semakin menurun karena banyak lahan tambak yang terendam banjir.
“Waktu tambak masih bagus, setiap pagi suami saya bisa dapat udang. Sore nyumet (menyalakan) lampu, pagi ngambil udang. Makin lama tambak udang udah nggak bisa diandalkan. Pas ngosek tambak, udangnya udah nggak ada. Akhirnya mau nggak mau, tahun 2009 tanahnya kami jual,” ujar Mufidah, salah seorang warga yang saya temui.
Inisiatif Pelestarian Mangrove berbasis Komunitas
Berbagai musibah dan kesulitan yang dihadapi oleh warga akibat menyusutnya hutan mangrove mendorong lahirnya inisiatif pelestarian mangrove berbasis komunitas yang berusaha merestorasi hutan mangrove bernama Kelompok Mangrove Lestari. Kelompok pelestari mangrove ini terbentuk dari inisiatif sepasang suami-istri bernama Sururi dan Nurchayati, yang sehari-hari bekerja sebagai petambak dan pencari kepiting. Niat awalnya mereka hanya satu: menyelamatkan kampung mereka dari ancaman bencana.
Fajril, anak dari Sururi-Nurchayati yang saya temui, menuturkan bagaimana orang tuanya berusaha menyelamatkan kampung halamannya dengan menanam mangrove secara otodidak. Niat baik itu kemudian mengalami kemajuan setelah mereka bertemu dengan Profesor Soedarto dari Universitas Diponegoro yang mengajarkan teknik tanam ulang untuk memperbesar peluang hidup mangrove.
Sururi dan Nurchayati lantas mendirikan kelompok Mangrove Lestari pada 2012, yang menggerakkan warga secara aktif dalam pembibitan dan penanaman mangrove di sepanjang pesisir Mangunharjo. Seiring waktu, kelompok ini juga melakukan restorasi di Pantai Marina dan Rembang serta memasok bibit mangrove ke Jepara dan Parangtritis (Bantul).

Dalam enam tahun terakhir, upaya penanaman mangrove oleh Mangrove Lestari semakin meluas melalui kolaborasi dengan perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan perusahaan. Saat saya berkunjung, cerita suram yang melanda Mangunharjo akibat hutan mangrove yang hilang sudah tidak lagi ada. Yang saya saksikan adalah pohon-pohon mangrove yang tumbuh subur di bibir pantai, dan garis pantai yang sedikit demi sedikit mulai kembali ke kondisi alaminya karena sedimen yang sudah mulai terbentuk. Burung-burung putih terlihat beterbangan dan mencari makan di antara pohon-pohon mangrove dan lumpur.
Butuh Peran Semua Pihak
Bagi sebagian orang, hutan mangrove yang tumbuh subur itu mungkin dianggap sudah semestinya demikian–tinggal ditanam, lalu tumbuh dengan sendirinya. Padahal, ada perjuangan panjang yang tidak mudah untuk menumbuhkan dan menjaga mangrove hingga ia dapat berperan sebagai benteng pertahanan bagi wilayah pesisir. “Mangrove tidak asal ditanam, lalu ditinggal begitu saja. Mangrove butuh waktu hingga usia 5 tahun supaya menjadi pohon yang kokoh. Walaupun akarnya kuat, kalau terkena hantaman arus terus-menerus, ya, roboh juga,” kata Fajril, yang aktif menjaga mangrove bersama warga lainnya.
Namun, semua itu bukannya tanpa tantangan. Minimnya dukungan pemerintah, termasuk dalam hal penyediaan bibit, hingga kontroversi ambisi pembangunan tanggul laut raksasa di sepanjang Pantai Utara Jawa, terkadang menghambat upaya warga Mangunharjo dalam menjaga hutan mangrove.
Meskipun Mangunharjo perlahan mulai pulih, upaya pelestarian hutan mangrove tidak boleh berhenti sampai di sini. Inisiatif restorasi dan konservasi berbasis komunitas tetap membutuhkan dukungan sistemik yang lebih kuat dan komprehensif, terutama mengingat tantangan ke depan akan semakin meningkat di tengah krisis iklim dan masifnya pembangunan yang kerap mengorbankan alam. Belum lagi ancaman limbah perusahaan yang beroperasi di sekitar kawasan pesisir Semarang, serta tindakan-tindakan oknum yang tidak bertanggung jawab karena kurangnya pemahaman akan pentingnya lingkungan yang sehat.
Pada akhirnya, pelestarian hutan mangrove dan ekosistem pesisir secara keseluruhan membutuhkan komitmen, tanggung jawab, dan kolaborasi aktif antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil. Saya yakin bahwa ketika semua pihak menjadi aktor, harapan untuk menjaga ekosistem pesisir bisa benar-benar terwujud. Dalam hal ini, semangat kelompok Mangrove Lestari bisa menjadi contoh yang menginspirasi komunitas pesisir di daerah-daerah lain.
Editor: Abul Muamar
Terbitkan cerita ringan dari tengah masyarakat bersama Green Network Asia, pelajari Panduan Konten Komunitas GNA.

Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan Langganan GNA Indonesia.
Jika konten ini bermanfaat, harap pertimbangkan Langganan GNA Indonesia untuk mendapatkan akses digital ke wawasan interdisipliner dan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Pilih Paket Langganan Anda
Balqis adalah mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional di Universitas Diponegoro. Ia memiliki minat yang tinggi terhadap isu-isu lingkungan, ekonomi, dan kebijakan publik.