Skip to content
  • Tentang
  • Bermitra dengan Kami
  • Beriklan
  • GNA Internasional
  • Jadi Member
  • Log In
Primary Menu
  • Terbaru
  • GNA Knowledge Hub
  • Topik
  • Wilayah
    • Dunia
    • Jawa
    • Kalimantan
    • Maluku
    • Nusa Tenggara
    • Papua
    • Sulawesi
    • Sumatera
  • Kabar
  • Ikhtisar
  • Infografik
  • Video
  • Opini
  • Akar Rumput
  • Muda
  • Siaran Pers
  • Corporate Sustainability
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Mengulik Isu Penurunan Muka Tanah Pesisir Jawa

Fenomena penurunan muka tanah dan krisis air tanah di Pulau Jawa menegaskan pentingnya reformasi tata kelola sumber daya air yang berkelanjutan, yang dimulai dengan pembenahan sistem manajemen air tanah secara menyeluruh.
Oleh Niken Pusparani Permata Progresia
30 Oktober 2025
Pemandangan pesisir Pantai Utara Jawa dengan garis pantai melengkung, air laut berwarna biru kehijauan, area persawahan di sisi kiri, dan permukiman di tepi pantai.

Foto: Krisna Putra Pratama di Unsplash.

Penurunan muka tanah telah menjadi ancaman nyata di pesisir Pulau Jawa. Fenomena ini tidak hanya memicu banjir rob dan kerusakan infrastruktur, tetapi juga memperlihatkan rapuhnya keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan daya dukung lingkungan. Eksploitasi air tanah yang berlebihan menjadi salah satu penyebab utamanya. Kini, seluruh pihak dihadapkan pada tuntutan baru untuk mengubah cara mengelola sumber daya air.

Penurunan Muka Tanah di Pesisir Jawa

Penurunan muka tanah atau land subsidence merupakan fenomena geologi ketika permukaan tanah mengalami penurunan secara perlahan dalam jangka waktu tertentu. Meski sering kali tidak terlihat secara kasat mata, dampaknya dapat menyebabkan kerusakan serius pada infrastruktur, lingkungan, dan kehidupan masyarakat. Selain itu, fenomena ini turut memperparah banjir rob dan mempersempit wilayah daratan yang layak huni.

Di berbagai wilayah pesisir Indonesia, terutama di kawasan Pantai Utara Jawa, penurunan muka tanah telah menjadi ancaman yang serius. Di pesisir Jakarta, misalnya, penurunan tanah bahkan mencapai 2-15 sentimeter per tahun, dengan kecenderungan yang terus meningkat. Saat ini, lebih dari 90 persen wilayah pesisir Jakarta telah berada di bawah rata-rata permukaan air laut. Sementara di wilayah Pantai Utara Jawa lainnya, seperti Demak dan Pekalongan, laju penurunan tanah berkisar antara 4-12 sentimeter per tahun.

Fenomena penurunan muka tanah ini bisa terjadi karena berbagai faktor, baik alami maupun akibat aktivitas manusia. Secara alami, penurunan muka tanah bisa dipicu oleh aktivitas tektonik, vulkanik, atau adanya rongga di bawah permukaan tanah yang runtuh. Namun, penyebab yang paling umum di daerah padat penduduk adalah eksploitasi air tanah secara berlebihan. Selain itu, pembangunan infrastruktur berat di atas tanah yang tidak stabil juga memperparah kondisi ini.

Eksploitasi Air Tanah sebagai Akar Masalah

Penurunan muka tanah bukan hanya masalah geoteknik, melainkan juga terkait krisis tata kelola air tanah yang kompleks. Beberapa studi dan laporan menunjukkan bahwa penarikan air tanah oleh aktivitas industri dan komersial berkontribusi signifikan pada penipisan cadangan air bawah tanah di kota-kota besar, meskipun proporsi kontribusi berbeda antara satu wilayah dan wilayah lain. Eksploitasi yang masif membuat cadangan air tanah menipis jauh lebih cepat daripada kemampuan alam untuk mengisinya kembali. Ketika rongga tanah di bawah permukaan kehilangan tekanan, lapisan tanah menjadi padat dan akhirnya mengalami penurunan.

Krisis ini diperburuk oleh hilangnya kawasan resapan air di daerah hulu. Antara tahun 1990–2020, luas tutupan hutan di Pulau Jawa menyusut sekitar 9 persen, digantikan permukiman dan lahan industri. Artinya, air hujan yang seharusnya terserap ke dalam tanah justru mengalir langsung ke sungai dan laut. Akibatnya, cadangan air tanah tak pernah benar-benar pulih.

Lemahnya regulasi juga turut berperan dalam kasus eksploitasi air tanah. Selama dua dekade terakhir, kawasan industri di sepanjang pantai utara Jawa berkembang pesat tanpa pengendalian pemanfaatan air tanah melalui regulasi yang memadai. Sebuah kajian hukum mengungkap bahwa regulasi yang ada saat ini masih berfokus pada izin pemanfaatan air tanah, tanpa pengaturan detail mengenai perencanaan, pemantauan, konservasi, serta pengendalian kerusakan. Ketidakseimbangan ini menyebabkan eksploitasi air tanah terus meningkat, memicu krisis air dan penurunan kualitas lingkungan di banyak wilayah industri.

Kemudian, masalah ketimpangan layanan publik turut membuat persoalan ini semakin kompleks. Laporan Bank Dunia mengungkapkan bahwa eksploitasi air tanah juga turut terjadi karena layanan air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang kurang memadai, baik dari segi cakupan wilayah maupun kualitas pelayanan. Akibatnya, baik rumah tangga maupun industri sama-sama menarik air dari lapisan tanah dalam, sehingga memperparah penurunan muka tanah dan penurunan kualitas air bawah permukaan.

Pada akhirnya, akar dari semua persoalan ini bukan semata pada teknis eksploitasi, melainkan juga pada ketidakhadiran tata kelola lingkungan yang terpadu, transparan, dan berbasis data ilmiah. Selama mekanisme izin, pemantauan, dan penegakan hukum masih berjalan parsial, krisis air tanah akan terus menjadi bom waktu ekologis bagi wilayah pesisir.

Membangun Tata Kelola yang Berkelanjutan

Fenomena penurunan muka tanah dan krisis air tanah di Jawa menegaskan pentingnya reformasi tata kelola sumber daya air yang berkelanjutan. Solusinya tidak bisa hanya bersandar pada pendekatan teknis seperti pembangunan tanggul atau pengendalian banjir, tetapi harus dimulai dengan pembenahan sistem manajemen air tanah secara menyeluruh. Pemerintah perlu memperkuat pengawasan terhadap izin pengambilan air tanah, khususnya untuk sektor industri dan komersial, serta memastikan adanya sanksi yang tegas bagi pelanggar.

Selain itu, perusahaan-perusahaan pengguna air dalam skala besar juga harus mengambil peran lebih besar dalam keberlanjutan lingkungan. Praktik tanggung jawab sosial dan lingkungan mestinya tidak berhenti sebatas dalam laporan tahunan, tetapi diwujudkan melalui investasi pada teknologi konservasi dan sistem daur ulang air.

Penggunaan air permukaan, misalnya melalui proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Regional Karian Serpong, serta pengelolaan air perkotaan yang lebih efisien dapat menjadi alternatif nyata untuk menekan ketergantungan pada air tanah. Upaya restorasi ekosistem hulu seperti rehabilitasi daerah tangkapan air, peningkatan ruang terbuka hijau, dan konservasi mangrove di wilayah pesisir juga diperlukan untuk menjadi bagian dari strategi jangka panjang.

Akhirnya, keberhasilan menghadapi krisis penurunan muka tanah di Pulau Jawa bergantung pada komitmen dan kemampuan seluruh pemangku kepentingan. Pemerintah, sektor industri, dan masyarakat memiliki tanggung jawab bersama untuk memastikan air dan lahan tetap tersedia, serta layak digunakan oleh generasi saat ini dan generasi mendatang.

Editor: Abul Muamar

Join Green Network Asia – Ekosistem Nilai Bersama untuk Pembangunan Berkelanjutan.

Belajar, berbagi, berjejaring, dan terlibat dalam gerakan kami untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.

Jadi Member Sekarang

Continue Reading

Sebelumnya: Kebangkitan Pertanian Permakultur Lokal di India

Lihat Konten GNA Lainnya

beberapa petani perempuan memanen daun teh di kebun Kebangkitan Pertanian Permakultur Lokal di India
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Kebangkitan Pertanian Permakultur Lokal di India

Oleh Ponnila Sampath-Kumar
30 Oktober 2025
Fasilitas LNG di dekat laut. Menilik Dampak Proyek LNG di Tengah Pusaran Transisi Energi
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Menilik Dampak Proyek LNG di Tengah Pusaran Transisi Energi

Oleh Andi Batara
29 Oktober 2025
Sebuah nampan berisi ikan yang di sekitarnya terdapat sikat, pisau, dan makanan laut lainnya. Memanfaatkan Limbah Makanan Laut sebagai Peluang Ekonomi Biru yang Berkelanjutan
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Memanfaatkan Limbah Makanan Laut sebagai Peluang Ekonomi Biru yang Berkelanjutan

Oleh Attiatul Noor
29 Oktober 2025
Pembangkit listrik tenaga nuklir dengan dua menara pendingin besar yang mengeluarkan uap di malam hari, dikelilingi lampu-lampu dan struktur industri lainnya. Menilik PLTN Terapung: Potensi dan Tantangan Energi Nuklir di Indonesia
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Menilik PLTN Terapung: Potensi dan Tantangan Energi Nuklir di Indonesia

Oleh Niken Pusparani Permata Progresia
28 Oktober 2025
Seorang pria menjual dan mengipas jagung bakar di samping meja yang penuh dengan kelapa muda. Mengintegrasikan Keberlanjutan dalam Upaya Gastrodiplomasi Indonesia
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Mengintegrasikan Keberlanjutan dalam Upaya Gastrodiplomasi Indonesia

Oleh Nazalea Kusuma dan Dina Oktaferia
28 Oktober 2025
Cover buku We are Eating the Earth: The Race to Fix Our Food System and Save Our Climate oleh Michael Grunwald. Bagaimana Memberi Makan Sembilan Miliar Orang Sembari Mendinginkan Langit?
  • GNA Knowledge Hub
  • Kolom Penasihat GNA
  • Resensi Buku

Bagaimana Memberi Makan Sembilan Miliar Orang Sembari Mendinginkan Langit?

Oleh Jalal
27 Oktober 2025

Tentang Kami

  • Surat CEO GNA
  • Tim In-House GNA
  • Jaringan Penasihat GNA
  • Jaringan Author GNA
  • Panduan Artikel Opini GNA
  • Panduan Laporan Akar Rumput GNA
  • Layanan Penempatan Siaran Pers GNA
  • Program Magang GNA
  • Ketentuan Layanan
  • Kebijakan Privasi
© 2021-2025 Green Network Asia