Mengulik Isu Penurunan Muka Tanah Pesisir Jawa
Foto: Krisna Putra Pratama di Unsplash.
Penurunan muka tanah telah menjadi ancaman nyata di pesisir Pulau Jawa. Fenomena ini tidak hanya memicu banjir rob dan kerusakan infrastruktur, tetapi juga memperlihatkan rapuhnya keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan daya dukung lingkungan. Eksploitasi air tanah yang berlebihan menjadi salah satu penyebab utamanya. Kini, seluruh pihak dihadapkan pada tuntutan baru untuk mengubah cara mengelola sumber daya air.
Penurunan Muka Tanah di Pesisir Jawa
Penurunan muka tanah atau land subsidence merupakan fenomena geologi ketika permukaan tanah mengalami penurunan secara perlahan dalam jangka waktu tertentu. Meski sering kali tidak terlihat secara kasat mata, dampaknya dapat menyebabkan kerusakan serius pada infrastruktur, lingkungan, dan kehidupan masyarakat. Selain itu, fenomena ini turut memperparah banjir rob dan mempersempit wilayah daratan yang layak huni.
Di berbagai wilayah pesisir Indonesia, terutama di kawasan Pantai Utara Jawa, penurunan muka tanah telah menjadi ancaman yang serius. Di pesisir Jakarta, misalnya, penurunan tanah bahkan mencapai 2-15 sentimeter per tahun, dengan kecenderungan yang terus meningkat. Saat ini, lebih dari 90 persen wilayah pesisir Jakarta telah berada di bawah rata-rata permukaan air laut. Sementara di wilayah Pantai Utara Jawa lainnya, seperti Demak dan Pekalongan, laju penurunan tanah berkisar antara 4-12 sentimeter per tahun.
Fenomena penurunan muka tanah ini bisa terjadi karena berbagai faktor, baik alami maupun akibat aktivitas manusia. Secara alami, penurunan muka tanah bisa dipicu oleh aktivitas tektonik, vulkanik, atau adanya rongga di bawah permukaan tanah yang runtuh. Namun, penyebab yang paling umum di daerah padat penduduk adalah eksploitasi air tanah secara berlebihan. Selain itu, pembangunan infrastruktur berat di atas tanah yang tidak stabil juga memperparah kondisi ini.
Eksploitasi Air Tanah sebagai Akar Masalah
Penurunan muka tanah bukan hanya masalah geoteknik, melainkan juga terkait krisis tata kelola air tanah yang kompleks. Beberapa studi dan laporan menunjukkan bahwa penarikan air tanah oleh aktivitas industri dan komersial berkontribusi signifikan pada penipisan cadangan air bawah tanah di kota-kota besar, meskipun proporsi kontribusi berbeda antara satu wilayah dan wilayah lain. Eksploitasi yang masif membuat cadangan air tanah menipis jauh lebih cepat daripada kemampuan alam untuk mengisinya kembali. Ketika rongga tanah di bawah permukaan kehilangan tekanan, lapisan tanah menjadi padat dan akhirnya mengalami penurunan.
Krisis ini diperburuk oleh hilangnya kawasan resapan air di daerah hulu. Antara tahun 1990–2020, luas tutupan hutan di Pulau Jawa menyusut sekitar 9 persen, digantikan permukiman dan lahan industri. Artinya, air hujan yang seharusnya terserap ke dalam tanah justru mengalir langsung ke sungai dan laut. Akibatnya, cadangan air tanah tak pernah benar-benar pulih.
Lemahnya regulasi juga turut berperan dalam kasus eksploitasi air tanah. Selama dua dekade terakhir, kawasan industri di sepanjang pantai utara Jawa berkembang pesat tanpa pengendalian pemanfaatan air tanah melalui regulasi yang memadai. Sebuah kajian hukum mengungkap bahwa regulasi yang ada saat ini masih berfokus pada izin pemanfaatan air tanah, tanpa pengaturan detail mengenai perencanaan, pemantauan, konservasi, serta pengendalian kerusakan. Ketidakseimbangan ini menyebabkan eksploitasi air tanah terus meningkat, memicu krisis air dan penurunan kualitas lingkungan di banyak wilayah industri.
Kemudian, masalah ketimpangan layanan publik turut membuat persoalan ini semakin kompleks. Laporan Bank Dunia mengungkapkan bahwa eksploitasi air tanah juga turut terjadi karena layanan air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang kurang memadai, baik dari segi cakupan wilayah maupun kualitas pelayanan. Akibatnya, baik rumah tangga maupun industri sama-sama menarik air dari lapisan tanah dalam, sehingga memperparah penurunan muka tanah dan penurunan kualitas air bawah permukaan.
Pada akhirnya, akar dari semua persoalan ini bukan semata pada teknis eksploitasi, melainkan juga pada ketidakhadiran tata kelola lingkungan yang terpadu, transparan, dan berbasis data ilmiah. Selama mekanisme izin, pemantauan, dan penegakan hukum masih berjalan parsial, krisis air tanah akan terus menjadi bom waktu ekologis bagi wilayah pesisir.
Membangun Tata Kelola yang Berkelanjutan
Fenomena penurunan muka tanah dan krisis air tanah di Jawa menegaskan pentingnya reformasi tata kelola sumber daya air yang berkelanjutan. Solusinya tidak bisa hanya bersandar pada pendekatan teknis seperti pembangunan tanggul atau pengendalian banjir, tetapi harus dimulai dengan pembenahan sistem manajemen air tanah secara menyeluruh. Pemerintah perlu memperkuat pengawasan terhadap izin pengambilan air tanah, khususnya untuk sektor industri dan komersial, serta memastikan adanya sanksi yang tegas bagi pelanggar.
Selain itu, perusahaan-perusahaan pengguna air dalam skala besar juga harus mengambil peran lebih besar dalam keberlanjutan lingkungan. Praktik tanggung jawab sosial dan lingkungan mestinya tidak berhenti sebatas dalam laporan tahunan, tetapi diwujudkan melalui investasi pada teknologi konservasi dan sistem daur ulang air.
Penggunaan air permukaan, misalnya melalui proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Regional Karian Serpong, serta pengelolaan air perkotaan yang lebih efisien dapat menjadi alternatif nyata untuk menekan ketergantungan pada air tanah. Upaya restorasi ekosistem hulu seperti rehabilitasi daerah tangkapan air, peningkatan ruang terbuka hijau, dan konservasi mangrove di wilayah pesisir juga diperlukan untuk menjadi bagian dari strategi jangka panjang.
Akhirnya, keberhasilan menghadapi krisis penurunan muka tanah di Pulau Jawa bergantung pada komitmen dan kemampuan seluruh pemangku kepentingan. Pemerintah, sektor industri, dan masyarakat memiliki tanggung jawab bersama untuk memastikan air dan lahan tetap tersedia, serta layak digunakan oleh generasi saat ini dan generasi mendatang.
Editor: Abul Muamar
Join Green Network Asia – Ekosistem Nilai Bersama untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Belajar, berbagi, berjejaring, dan terlibat dalam gerakan kami untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Jadi Member Sekarang
Kebangkitan Pertanian Permakultur Lokal di India
Menilik Dampak Proyek LNG di Tengah Pusaran Transisi Energi
Memanfaatkan Limbah Makanan Laut sebagai Peluang Ekonomi Biru yang Berkelanjutan
Menilik PLTN Terapung: Potensi dan Tantangan Energi Nuklir di Indonesia
Mengintegrasikan Keberlanjutan dalam Upaya Gastrodiplomasi Indonesia
Bagaimana Memberi Makan Sembilan Miliar Orang Sembari Mendinginkan Langit?