Pentingnya Pengembangan AI yang Sadar Karbon
Ilustrasi: Irhan Prabasukma.
Kecerdasan buatan (AI) seharusnya membuat hidup lebih mudah, “lebih cerdas”. Namun, persaingan untuk melatih model yang semakin besar telah menghasilkan jejak lingkungan yang tak kasat mata namun terus meluas. Setiap generasi baru AI membutuhkan lonjakan daya komputasi eksponensial, dan setiap kemajuan komputasi menelan ongkos tersembunyi—penggunaan energi yang sangat besar dan peningkatan emisi karbon. Apa yang dimulai sebagai revolusi digital diam-diam telah menjadi beban skala industri bagi bumi.
Kelindan AI dan Emisi Karbon
Penelitian terbaru telah memberikan angka yang cukup akurat. Sebuah studi menyeluruh oleh Universitas Tsinghua, OpenCarbonEval: Emisi Karbon Model AI (2024), mengungkapkan bahwa emisi karbon AI meningkat secara proporsional dengan komputasi yang dibutuhkan untuk melatih sebuah model. Berdasarkan data dari 56 model besar, korelasi antara pelatihan komputasi dan emisi karbon yang setara sangat mendekati linear. Kesimpulannya sederhana namun cukup mengkhawatirkan: komputasi dua kali lipat, emisi dua kali lipat.
Linearitas ini memiliki implikasi yang luas. Melatih model mutakhir saat ini dapat menghasilkan karbon sebanyak emisi ratusan mobil seumur hidup. Terlebih lagi, tren ini semakin meningkat. Proyeksi emisi AI diperkirakan akan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2031, dengan asumsi tingkat pertumbuhan tahunan 40% saat ini dalam komputasi AI terus berlanjut. Peningkatan yang diproyeksikan dari sekitar 1.000 menjadi 4.500 ton CO₂eq menggambarkan bahaya penskalaan yang tidak terkendali. Dunia sedang menyaksikan pengulangan sejarah industri, hanya saja kali ini polusinya tidak berasal dari cerobong asap, melainkan dari ambisi algoritmik.

Dampak yang Tidak Proporsional
Lebih lanjut, secara etis ini bukan hanya soal jumlah total emisi, tetapi juga proses yang tidak berwujud. Polusi bersifat digital, tersebar, dan biasanya dialihdayakan ke pusat data di negara-negara yang listriknya sebagian besar masih dihasilkan dari bahan bakar fosil.
Lebih dari sekadar emisi, dampak lingkungan AI menjangkau jauh ke dalam ekonomi material dan spasial. Ledakan pembangunan pusat data didorong oleh akuisisi lahan skala besar yang seringkali “mengalihfungsikan” hutan dan habitat alami di negara-negara berkembang atau wilayah yang biayanya lebih murah. Di sana, ekosistem dan mata pencaharian lokal tergusur oleh infrastruktur digital yang boros energi. Ekspansi ini mengakibatkan deforestasi serius, fragmentasi habitat, dan penggusuran masyarakat dalam beberapa kasus.
Selain itu, penggunaan air yang sangat besar untuk mendinginkan server-server ini semakin meningkatkan tekanan di wilayah-wilayah yang memang sudah gersang. Sementara itu, permintaan mineral tanah jarang yang digunakan dalam GPU dan semikonduktor memicu praktik penambangan yang merusak lingkungan, termasuk di area yang seharusnya dilindungi dan tanah-tanah adat.
Dalam hal ini, jejak lingkungan dari AI dibayar secara tidak proporsional. Keuntungan dan prestise jatuh ke tangan raksasa teknologi di Global North, tetapi biaya lingkungan cenderung ditanggung oleh kawasan-kawasan miskin. Hal ini menggemakan pola ekstraktivisme dan ketidakadilan yang sama seperti pada ledakan industri sebelumnya yang pernah dijanjikan untuk diatasi. Kini, ketimpangan tersebut terjadi di seluruh lapisan digital dan ekologi planet ini.
Pajak Karbon-Komputasi untuk AI
Lantas, muncul pertanyaan mendesak tentang etika dan kebijakan: Haruskah perusahaan AI tunduk pada kriteria lingkungan yang sama seperti industri berat? Haruskah ada pajak karbon atau komputasi untuk AI?
Konsepnya mungkin tampak ekstrem, tetapi alasannya bukanlah hal baru. Pemerintah telah mengenakan pajak karbon pada industri seperti penerbangan, produksi baja, dan manufaktur selama beberapa dekade agar mereka menanggung sebagian biaya polusi. Hal yang sama dapat diterapkan pada sektor digital yang emisinya sama nyatanya.
Pajak komputasi karbon akan menghubungkan perpajakan dengan daya komputasi yang digunakan dalam pelatihan model. Karena komputasi dapat diaudit dan diukur, ia menyediakan metode terbuka untuk menilai emisi. Dengan demikian, perusahaan yang skalanya melebihi ambang batas tertentu—misalnya, 10²⁴ FLOP—akan diwajibkan membayar pajak tambahan yang bergantung pada perkiraan intensitas karbon bauran energi. Hal ini tidak hanya akan mencegah penskalaan model yang berlebihan, tetapi juga akan memberikan penghargaan atas efisiensi algoritmik, mendorong perusahaan untuk berkembang dalam batasan yang berkelanjutan, alih-alih mengejar ekspansi parameter yang tak terbatas.
Kebijakan, Akuntabilitas, dan Transparansi
Namun, perpajakan saja tidak cukup. Semua laboratorium AI harus diwajibkan, di bawah kerangka tata kelola yang lebih luas, untuk melaporkan emisi mereka dari pelatihan sebagai bagian dari pelaporan ESG rutin. Sebagaimana halnya laporan karbon perusahaan, setiap model besar akan memiliki “label karbon” publik yang memuat total komputasi yang dikonsumsi, persentase energi terbarukan yang digunakan, dan emisi yang dihasilkan. Pengungkapan semacam itu akan membuat akuntabilitas lebih demokratis, memungkinkan investor, pembuat kebijakan, dan konsumen untuk membuat keputusan etis yang bertanggung jawab. Tentunya, transparansi adalah awal dari tanggung jawab.
Selain perpajakan dan pengungkapan, argumen untuk audit lingkungan pada model-model fondasi besar sebelum penerapannya juga sangat penting. Meskipun perusahaan memiliki audit keuangan, pengembang AI dapat diminta untuk menjalani audit lingkungan pihak ketiga yang mempertimbangkan emisi pelatihan dan biaya energi karena selalu aktif. Undang-Undang AI Uni Eropa yang sedang dalam proses, yang telah memberlakukan penilaian risiko pada sistem “berdampak tinggi”, dapat dengan mudah memasukkan intensitas karbon sebagai salah satu metrik penentu.
Namun, regulasi tidak akan cukup. Yang benar-benar dibutuhkan dunia adalah perubahan budaya menuju apa yang dapat digambarkan sebagai “efisiensi etis”. Alih-alih membangun model yang semakin besar untuk menunjukkan kemajuan, “para ahli teknologi” dan perusahaan perlu mencari inovasi yang menghasilkan lebih banyak dengan sumber daya yang lebih sedikit. Teknologi seperti kelangkaan parameter, pembangkitan daya yang ditingkatkan dengan pengambilan data, pembelajaran gabungan, dan penjadwalan yang sadar karbon dapat memangkas konsumsi energi secara signifikan tanpa mengurangi kapabilitas. Beberapa perusahaan progresif seperti DeepMind dan Hugging Face saat ini sedang menguji coba pendekatan tersebut. Namun, adopsi yang lebih luas membutuhkan dorongan kebijakan yang tegas dan kesadaran publik.
Mewujudkan AI yang Berintegritas
Argumen tentang perpajakan dan pengawasan AI bukanlah soal membatasi inovasi—melainkan tentang menyelaraskan kecerdasan dengan integritas. Era industri telah belajar dengan cara yang sulit: pertumbuhan finansial yang tidak diatur oleh batasan lingkungan dan sosial mengakibatkan kerugian yang tak terelakkan. Oleh karena itu, era digital perlu belajar lebih baik dan lebih awal. Pada akhirnya, pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup kita, menciptakan masa depan yang lebih baik bagi semua orang dan planet Bumi.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Join Green Network Asia – Ekosistem Nilai Bersama untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Dukung gerakan Green Network Asia untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Jadi Member SekarangPartha adalah seorang peneliti, penulis, dan tutor independen dalam studi etika dan sosial yang aktivitasnya mencakup penyelidikan filosofis, akurasi editorial, dan kemajuan teknologi. Dengan latar belakang akademis di bidang ekonomi dan manajemen perdagangan luar negeri, ia mengembangkan karier profesional multidisiplin yang melibatkan anotasi data dan desain prompt. Melalui tulisannya, ia mendorong inovasi etis dan pertumbuhan inklusif di era mesin cerdas.

Tubuh yang Sakit di Bumi yang Sekarat: Sebuah Refleksi atas Antropologi Kesehatan Planet
Menilik Potensi dan Tantangan Pengembangan Biofuel dari Limbah Pertanian
Kemajuan dan Kesenjangan Energi Terbarukan Dunia sebagai Sumber Listrik
Menurunnya Kadar Oksigen Sungai-Sungai di Dunia
Bagaimana Kampung Nelayan Merah Putih dapat Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir?
(Bukan Sekadar Kisah) Miliarder yang Mewakafkan Seluruh Hartanya bagi Bumi