Skip to content
  • Tentang
  • Bermitra dengan Kami
  • Beriklan
  • GNA Internasional
  • Jadi Member
  • Log In
Primary Menu
  • Terbaru
  • GNA Knowledge Hub
  • Topik
  • Wilayah
    • Dunia
    • Jawa
    • Kalimantan
    • Maluku
    • Nusa Tenggara
    • Papua
    • Sulawesi
    • Sumatera
  • Kabar
  • Ikhtisar
  • Infografik
  • Video
  • Opini
  • Akar Rumput
  • Muda
  • Siaran Pers
  • Corporate Sustainability
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Rehabilitasi Mangrove Berbasis Komunitas dengan Silvofishery

Sistem silvofishery menawarkan solusi terintegrasi untuk memulihkan ekosistem mangrove dan tambak yang rusak. Seperti apa?
Oleh Niken Pusparani Permata Progresia
13 Oktober 2025
Beberapa orang berada di dalam air untuk memasang kerangka jaring persegi berwarna hijau, sementara lainnya berdiri di pematang tambak dengan pagar bambu sederhana di bagian belakang.

Foto: Penjaga Pulau.

Tambak yang terbengkalai seringkali menjadi salah satu penyebab utama kerusakan lingkungan di kawasan pesisir. Lahan yang semula dibuka untuk budidaya, ketika ditinggalkan, seringkali berubah menjadi ruang terbuka yang rusak dan tidak lagi mampu mendukung fungsi ekologisnya. Pada saat yang sama, pembukaan tambak sendiri menimbulkan kehilangan pada hutan mangrove, padahal ekosistem ini memiliki peran vital sebagai pelindung alami dari abrasi, tempat hidup berbagai biota, serta penopang produktivitas perikanan. Terkait hal ini, sistem silvofishery menawarkan solusi terintegrasi untuk rehabilitasi mangrove sekaligus memulihkan tambak yang rusak.

Degradasi Tambak dan Hilangnya Hutan Mangrove

Pembukaan tambak di wilayah pesisir sering terjadi melalui konversi hutan mangrove menjadi kolam budidaya udang atau ikan. Di Asia Tenggara, area tambak mengalami perkembangan pesat antara tahun 1980 sampai 1990-an dengan laju perkembangan sebesar 20-30% per tahun. Dengan kecepatan ini, tambak memiliki porsi tanggung jawab sebesar 54% terhadap total kehilangan mangrove di Asia Tenggara. Sementara di Indonesia sendiri, diperkirakan kurang lebih 800.000 hektare mangrove telah hilang dalam jangka waktu 30 tahun akibat konversi lahan untuk tambak sejak tahun 1970-an.

Konversi ini tidak hanya menghilangkan vegetasi mangrove, tetapi juga melepaskan banyak karbon yang sebelumnya tersimpan di biomassa dan tanah. Hutan mangrove merupakan ekosistem dengan kapasitas penyimpanan karbon yang tinggi, rata-rata mencapai sekitar 950 ton unsur karbon per hektare atau 2,5–5 kali lipat lebih besar dibandingkan hutan temperate, boreal, maupun hutan tropis daratan.

Sebagian besar karbon ini tersimpan dalam tanah bawah permukaan yang kaya bahan organik dan dapat bertahan selama berabad-abad jika tidak terganggu. Total simpanan karbon mangrove secara global, yakni sekitar 4-20 miliar ton karbon, bahkan setara lebih dari dua kali emisi CO₂ antropogenik tahunan dunia. Namun, konversi mangrove menjadi tambak dapat menghilangkan 70% cadangan karbon ekosistem ini, sekaligus melemahkan peran penting mangrove sebagai penyerap karbon alami.

Selain itu, tambak yang gagal atau terlantar menyimpan masalah jangka panjang. Sebagian besar tambak yang dikonversi dari hutan mangrove cenderung tidak produktif dan akhirnya ditinggalkan karena masalah tanah sulfat masam (acid sulfate soils/ASS). Tanah jenis ini awalnya terbentuk di lingkungan mangrove yang tergenang dan mengandung pirit (FeS₂) yang aman selama kondisi tetap anaerob. Namun, saat mangrove dibuka dan tanah terekspos udara, pirit yang teroksidasi dapat menghasilkan asam sulfat sehingga tanah menjadi sangat asam dan melepaskan ion beracun seperti Fe dan Al ke air. Kondisi ini membuat tambak sulit dikelola, menurunkan kualitas air, serta memicu kerusakan ekosistem pesisir sehingga pemulihannya memerlukan biaya dan waktu yang besar.

Hilangnya hutan mangrove dan semakin luasnya lahan tambak terbengkalai menciptakan kombinasi tekanan yang melemahkan ketahanan ekosistem pesisir, sekaligus mengancam keberlanjutan sumber daya yang bergantung pada keseimbangannya. Kondisi seperti ini menciptakan masalah yang harus dibayar melalui restorasi aktif.

Silvofishery untuk Rehabilitasi Mangrove: Studi Kasus Inisiatif Komunitas Penjaga Pulau

Silvofishery merupakan sebuah metode integratif yang memadukan rehabilitasi mangrove dengan budidaya perikanan tambak. Metode ini pertama kali diterapkan di Indonesia pada tahun 1978. Sebagai bentuk restorasi berbasis ekosistem, pendekatan ini mengkombinasikan pemulihan fungsi ekologis mangrove dengan sistem akuakultur berinput rendah.

Saat ini, praktik silvofishery telah diimplementasikan di berbagai wilayah pesisir, termasuk oleh komunitas Penjaga Pulau bersama masyarakat Desa Labuhan Bajo, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Model yang digunakan berlandaskan prinsip zonasi 60% area dialokasikan untuk mangrove dan 40% untuk tambak, dengan penanaman mangrove di bagian tengah kolam. Desain ini tidak hanya memulihkan fungsi ekologis mangrove, tetapi juga tetap memberi ruang untuk produksi perikanan secara berkelanjutan.

Dalam implementasinya, Penjaga Pulau bersama kelompok lokal Kabete Bajo dan pemerintah desa memulai dengan rekonstruksi tambak lama, termasuk memperbaiki sistem pengelolaan air. Untuk mendukung rehabilitasi, dilakukan pembibitan mangrove multi-spesies dengan menggunakan tujuh jenis mangrove khas sekitar desa. Dengan metode ini, tingkat keberhasilan hidup bibit di tambak bisa mencapai 90 persen, salah satunya karena masyarakat terlibat langsung dalam pemantauan rutin dan mengganti bibit yang mati.

Keunggulan model silvofishery di Labuan Bajo tidak hanya terletak pada teknis rehabilitasi, tetapi juga pada tata kelola berbasis masyarakat. Penjaga Pulau bersama kelompok lokal menerapkan Adaptive and Integrated Management System (AIMS) yang menggabungkan pengetahuan ilmiah sederhana seperti analisis kualitas air dengan kearifan lokal masyarakat. Dengan demikian, komunitas berfungsi sebagai pelaksana sekaligus pengelola utama, memastikan kegiatan budidaya dan rehabilitasi berlangsung adaptif terhadap kondisi lingkungan. Kerja kolektif ini juga memastikan bahwa rehabilitasi mangrove tidak hanya berhasil secara teknis, tetapi membangun sistem pengelolaan bersama yang berkelanjutan pula.

Langkah untuk Keberlanjutan dan Replikasi

Silvofishery oleh komunitas Penjaga Pulau memperlihatkan bahwa pendekatan berbasis komunitas dapat menjadi strategi efektif untuk mempercepat rehabilitasi mangrove di kawasan tambak yang rusak. Keberhasilan ini membuka peluang lebih luas untuk pengembangan model serupa di wilayah pesisir lain yang menghadapi tekanan yang sama. Namun, potensi replikasi hanya akan berhasil jika ditopang oleh dukungan lintas sektor yang konsisten. Dukungan ini penting untuk memastikan bahwa silvofishery tidak berhenti pada tahap rehabilitasi teknis, tetapi juga terintegrasi dalam tata kelola pesisir yang lebih luas.

Selain itu, keberhasilan jangka panjang sangat dipengaruhi oleh adanya evaluasi dan riset rutin. Pemantauan berbasis data dapat menjadi dasar ilmiah untuk menilai efektivitas intervensi, memperbaiki kelemahan teknis, serta menyesuaikan strategi dengan dinamika lingkungan setempat. Dengan evaluasi yang berkelanjutan, silvofishery dapat berkembang dari sekadar metode rehabilitasi lokal menjadi model pengelolaan pesisir adaptif yang relevan bagi berbagai kondisi ekosistem di Indonesia.

Editor: Abul Muamar

Dukung Green Network Asia dan terlibat dalam gerakan kami untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.

Jadi Member Sekarang

Continue Reading

Sebelumnya: Menghidupkan Kembali Warisan Budaya Bersama di Asia Tenggara

Lihat Konten GNA Lainnya

Dua perempuan menampilkan tarian Bali di hadapan penonton. Menghidupkan Kembali Warisan Budaya Bersama di Asia Tenggara
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Menghidupkan Kembali Warisan Budaya Bersama di Asia Tenggara

Oleh Attiatul Noor
13 Oktober 2025
perempuan yang duduk di batang pohon besar, laki-laki berdiri di sampingnya dan dikelilingi rerumputan; keduanya mengenakan pakaian tradisional Papua Deklarasi Sira: Memperjuangkan Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Deklarasi Sira: Memperjuangkan Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat

Oleh Seftyana Khairunisa
10 Oktober 2025
stasiun pengisian daya dengan mobil listrik yang diparkir di sebelahnya. Proyeksi Pengembangan dan Peluang Transportasi Energi Terbarukan
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Proyeksi Pengembangan dan Peluang Transportasi Energi Terbarukan

Oleh Kresentia Madina
10 Oktober 2025
seorang pria tua duduk sendiri di dekat tembok dan tanaman Mengatasi Isu Kesepian di Kalangan Lansia
  • GNA Knowledge Hub
  • Ikhtisar

Mengatasi Isu Kesepian di Kalangan Lansia

Oleh Abul Muamar
9 Oktober 2025
seseorang memegang sejumlah uang kertas Memastikan Distribusi Pendapatan yang Adil sebagai Pilar Keadilan Sosial
  • GNA Knowledge Hub
  • Soft News

Memastikan Distribusi Pendapatan yang Adil sebagai Pilar Keadilan Sosial

Oleh Kresentia Madina
9 Oktober 2025
bagian atas dari donat yang berjamur Donat yang Semakin Pahit: Peringatan Keras dari Fanning dan Raworth
  • GNA Knowledge Hub
  • Kolom Penasihat GNA
  • Opini

Donat yang Semakin Pahit: Peringatan Keras dari Fanning dan Raworth

Oleh Jalal
8 Oktober 2025

Tentang Kami

  • Surat CEO GNA
  • Tim In-House GNA
  • Jaringan Penasihat GNA
  • Jaringan Author GNA
  • Panduan Artikel Opini GNA
  • Panduan Laporan Akar Rumput GNA
  • Layanan Penempatan Siaran Pers GNA
  • Program Magang GNA
  • Ketentuan Layanan
  • Kebijakan Privasi
© 2021-2025 Green Network Asia