Revitalisasi Rawa Pening dan Dampaknya bagi Masyarakat Setempat

Papan penanda status tanah milik desa di tepi Danau Rawa Pening. | Foto: Fahran Wahyudi.
Jawa Tengah memiliki danau alami yang luasnya mencakup empat kecamatan di Kabupaten Semarang–Rawa Pening namanya. Bagi masyarakat setempat, danau ini bukan sekadar danau. Selama puluhan tahun, danau ini telah menjadi sumber air utama yang mengairi sawah dan menopang perikanan skala kecil mereka—mata pencaharian utama mereka. Bahkan, eceng gondok yang tumbuh liar di danau ini pun disulap menjadi kerajinan tangan oleh para pengrajin lokal.
Namun, Rawa Pening kini tak lagi sama. Ekosistem lahan basah tersebut telah menunjukkan tanda-tanda degradasi akibat penumpukan sedimentasi, gulma invasif, dan pencemaran. Syahdan, pada tahun 2021, pemerintah meluncurkan proyek revitalisasi Rawa Pening sebagai bagian dari program prioritas nasional untuk menyelamatkan danau-danau prioritas yang kritis. Proyek ini meliputi pengerukan sedimen dan pembuangan eceng gondok invasif untuk memulihkan kapasitas penampungan air. Langkah ini dimaksudkan untuk mencegah banjir sekaligus mengamankan pasokan air bersih dan potensi hydropower.
Pada dasarnya, tujuan-tujuan ini penting untuk melestarikan fungsi ekologis danau dan mendukung keberlanjutan jangka panjang. Namun kenyataannya, proses revitalisasi justru membawa petaka bagi masyarakat desa setempat.
Dampak Revitalisasi Rawa Pening dan Munculnya Patok-patok Batas Tanpa Dialog
Saya berkesempatan menyaksikan langsung keadaannya ketika menjadi bagian dalam tim peneliti yang mengkaji dampak proyek revitalisasi Rawa Pening terhadap warga Desa Asinan, salah satu desa yang berada di kawasan Rawa Pening, Kecamatan Bawen. Selama penelitian berlangsung, kami bertemu dengan beberapa penduduk desa setempat untuk mendengar seperti apa perjuangan dan permasalahan yang mereka hadapi terkait proyek tersebut.
Kenyataannya sungguh memprihatinkan. Mereka menghadapi banjir parah akibat penutupan pintu air Tuntang. Banjir tersebut menyebabkan hampir 2.000 petani di 14 desa sekitar tidak dapat menggarap sawah mereka yang luasnya sekitar 500 hektare. Pariyono, salah satu petani di Desa Asinan, bercerita bahwa sawahnya telah terendam selama tiga tahun berturut-turut, menyebabkan gagal panen berulang kali.

Selain itu, sebagai bagian dari proyek revitalisasi, pemerintah juga telah membuat patok-patok batas baru di sekitar Rawa Pening yang melintasi rumah dan sawah warga—semuanya dilakukan tanpa pemberitahuan. Menurut Suwandi, seorang petani kecil yang sawahnya telah lama bersertifikat, patok kayu dan besi di lahan sawahnya tiba-tiba sudah terpacak tanpa ada konsultasi terlebih dahulu. Mereka terkejut ketika tahu bahwa tanah mereka yang memiliki sertifikat resmi kini dianggap sebagai bagian dari zona penyangga milik negara. Lantas, patok-patok ini digunakan sebagai titik acuan untuk pengerukan, lagi-lagi tanpa melibatkan pemilik lahan.
Menegakkan Keadilan
Akibat proyek revitalisasi tersebut, masyarakat yang tinggal di sekitar Rawa Pening mengalami banyak hal buruk, mulai dari kerugian ekonomi hingga tekanan psikologis. Secara umum, warga yang kami wawancarai sepakat bahwa danau tersebut memang harus dipulihkan. Namun, mereka menuntut keadilan dan transparansi dalam pelaksanaan proyek revitalisasi. Beberapa dari mereka dengan tegas menentang perluasan batas danau, yang akan terus merampas lahan pertanian mereka.
Sementara itu, Forum Petani Rawa Pening Bersatu (FPRPB) telah mengajukan tiga tuntutan. Pertama, pemerintah harus mencabut keputusan yang menyebabkan naiknya permukaan air dan banjir. Kedua, mereka menuntut pemerintah untuk memberikan kompensasi kepada petani atas kegagalan panen selama tiga tahun. Terakhir, mereka meminta pemerintah menjamin bahwa penduduk desa dapat terus bercocok tanam dua kali setahun di lahan tepi danau yang subur.
Di tengah perjuangan ini, semangat solidaritas warga Desa Asinan menjadi kekuatan penting. Para petani dan nelayan membentangkan spanduk penolakan proyek revitalisasi di sepanjang jalan utama. Mereka juga menulis surat, menggelar demonstrasi di kantor-kantor Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Provinsi, bahkan membawa kasus ini ke forum nasional. Warga desa saling mendukung dalam mengorganisir protes dan berbagi informasi.
Masyarakat Desa Asinan dan para pendukungnya mengingatkan bahwa partisipasi masyarakat adalah kunci dalam pembangunan. Pada akhirnya, revitalisasi Rawa Pening harus sejalan dengan keadilan sosial, yang melibatkan partisipasi inklusif dari masyarakat yang paling terdampak. Hanya dengan dialog terbuka, kompensasi yang adil, dan penghormatan terhadap kearifan lokal, revitalisasi ini dapat benar-benar memulihkan ekosistem Rawa Pening tanpa mengorbankan warga yang menganggapnya sebagai rumah.
Editor: Abul Muamar dan Nazalea Kusuma
Terbitkan laporan lapangan dan cerita dari akar rumput dalam lensa isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development), utamanya dengan perspektif yang melayani kebutuhan komunitas akar rumput dan kepentingan publik. Pelajari Panduan Laporan Akar Rumput GNA.

Dukung Green Network Asia dan terlibat dalam gerakan kami untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Jadi Member Sekarang
Fahran adalah seorang relawan, peneliti sosial, dan community organizer yang berpengalaman di bidang industri konstruksi dan pendidikan alternatif. Ia memiliki minat yang kuat terhadap pembangunan berkelanjutan, pemberdayaan masyarakat, dan diplomasi.