Sejauh Mana Capaian Perkembangan Anak Usia Dini di Indonesia?

Foto oleh jcomp di Freepik.
Usia dini kerap disebut sebagai masa emas pertumbuhan anak, baik dari aspek kognitif, emosi, dan sosial. Pada usia dini, otak akan sangat responsif terhadap berbagai stimulasi sehingga anak akan menyerap beragam informasi dari setiap pancaindranya. Terkait hal ini, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah meluncurkan Indeks Perkembangan Anak Usia Dini (Early Childhood Development Indeks/ECDI) tahun 2024 yang berguna dalam mengukur kesiapan anak memasuki jenjang pendidikan dan tahap perkembangan berikutnya.
Indeks Perkembangan Anak Usia Dini (ECDI)
Indeks Perkembangan Anak Usia Dini (ECDI) diintegrasikan ke dalam Survei Pendataan Keluarga tahun 2024 (PK-24) yang dilakukan oleh Bappenas, BKKBN, dan mitra pembangunan UNICEF Indonesia dan Tanoto Foundation. Pengukuran ECDI melibatkan 15.122 anak umur 24-59 bulan dari 1.500 desa sampel yang tersebar di berbagai daerah.
Pengukuran tersebut didasarkan pada modul ECDI2030 yang dikembangkan oleh UNICEF yang menggunakan 20 pertanyaan yang diajukan kepada ibu atau pengasuh utama. Pertanyaan tersebut dikategorikan ke dalam tiga domain utama, yaitu domain pembelajaran, kesejahteraan psikososial, dan kesehatan.
Hasil perhitungan ECDI Indonesia pada tahun 2024 mencatat bahwa 87,7% anak usia dini memiliki perkembangan yang optimal sesuai dengan tahapan usianya. Secara keseluruhan, terdapat perkembangan yang pesat dan konsisten dalam berbagai indikator pertanyaan dalam setiap domain. Hanya saja, beberapa diantaranya memiliki skor yang rendah sehingga dinilai sebagai hal yang paling sulit untuk dicapai anak, misalnya indikator menawarkan bantuan dalam domain kesejahteraan psikososial dan menulis nama sendiri untuk domain pembelajaran.
Dokumen ECDI juga bisa digunakan untuk melihat bagaimana faktor ekonomi dan sosial berpengaruh terhadap perkembangan anak usia dini. Misalnya, angka ECDI akan semakin tinggi pada keluarga dengan orang tua yang berpendidikan tinggi, memiliki akses makanan bergizi seimbang, hingga anak dibesarkan dalam rumah layak huni dengan sumber air minum serta sanitasi yang layak.
Catatan Kritis terhadap ECDI
Namun, ECDI bukanlah alat pengukuran yang sempurna. ECDI dinilai terlalu singkat dan tidak cukup responsif budaya untuk mengukur perkembangan anak secara bermakna. Oleh karena itu, penggunaan hasil ECDI untuk mengevaluasi kebijakan, program atau penelitian terkait perkembangan anak harus dilakukan dengan lebih cermat dan hati-hati. Pendekatan ECDI yang menghitung skor gabungan dari beberapa domain juga dinilai tidak ideal untuk pemantauan tujuan pembangunan berkelanjutan karena mengaburkan perbedaan antar-dimensi.
Selain itu, bias budaya dalam pengukuran ECDI dapat membuat indikator yang ada tidak sesuai dengan konteks lokal. Misalnya, domain pembelajaran memiliki indikator mengenali angka dan menghitung hingga 10. Akan tetapi, beberapa suku di Indonesia memiliki cara menghitung yang berbeda, seperti Suku Koiwai di Papua Barat yang hanya mengenal 5 bilangan satuan dan 5 bilangan puluhan atau Masyarakat Kosarek di Papua yang menghitung hingga 27 bilangan dengan menggunakan seluruh tubuh alih-alih hanya 10 jari.
Kolaborasi untuk Mendukung Perkembangan Anak
Investasi terhadap perkembangan anak usia dini merupakan hal penting untuk membangun keterampilan dan pengetahuan di tahap selanjutnya. “Untuk itu, dibutuhkan kolaborasi yang sangat erat antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, mitra pembangunan, pakar, akademisi, dan masyarakat. Mari kita satukan langkah, perkuat sinergi, dan berkomitmen membangun fondasi kokoh bagi generasi masa depan, demi Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045,” ujar Febrian Alphyanto, Wakil Kepala Bappenas.
Editor: Abul Muamar
Nisa adalah reporter dan asisten peneliti di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Sarjana Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada. Ia memiliki minat di bidang penelitian, jurnalisme, dan isu-isu seputar hak asasi manusia.